Dzaujak Ahmat dalam sebuah artikelnya yang belum lama terbit pernah mengungkapkan penelitian seorang barat
yang menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia dalam bekerja cenderung
menginginkan menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Penelitian
itu benar adanya, kenyataan yang berkembang ditengah masyarakat memang
demikian. Bahkan ada anggapan kalau menjadi PNS hidup sudah tenang, ada
pegangan yang merasa terpandang. Tidak heran kemudian setap tahun bila ada
pembukaan CPNS ribuan dan mungkin jutaan serjana di negeri ini berlomba-lomba
untuk mendaftar.
Ada beberapa alasan mengapa orang ingin menjadi pegawai pemerintah(PNS).
Adanya perasaan aman dan nyaman karena jika di swasta dianggap tidak akan
dipakai orang. Motivasi ini jelas bibit dari sifat PGPS (pinter goblok
pendapat sama). Mereka merasa kalau PNS adalah pekerjaan yang aman dan
tidak akan dipecat. Selain itu gaji purna tugas(pensiun) menempati posisi yang
cukup membawa daya tarik bagi masyarakat. Padahal sekarang sudah banyak
perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki program dana pensiun. Namun daya
tarik masyarakat untuk beralih ke swasta masih sangat rendah.Menurut Alm Romo
Mangun, sistem kependidikan dan banyaknya minat menjadi PNS (birokrat) rupanya
masih mewarisi mental inlander dari zaman kolonial dulu. Orang dididik
untuk menjasi patuh dan taat pada pemerintah sehingga bisa menjadi ambtenaar
(PNS di zaman kolonial). Menjadi ambtenaar itu jabatan terhormat di
masyarakat waktu itu dan rupanya masih terbawa hingga sekarang. Bagian yang
meresahkan adalah paradigma bahwa mereka adalah bagian dari kekuasaan
(penguasa), bukan pelayan rakyat atau pembayar pajak.
Penduduk Indonesia pada tahun 2007 berjumlah 224.904.900 orang dan
berdasarkan survey Tenaga Kerja Nasional sekitar 10 juta resmi tercatat menganggur
yang 41% diantaranya berasal dari lulusan sekolah lanjutan atas. Selain itu
terdapat 30,4 juta orang masuk dalam kategori setengah pengangguran yaitu orang
yang bekerja kurang dari 35 jam per minggunya (ILO, http://www.ilo.org/global/), dan 11.47%
terdiri dari lulusan sekolah lanjutan atas. Sisa dari para penganggur terbuka
dan dan setengah pengangguran berasal dari sekolah dasar, SMP dan SMU/SMK, dan
lulusan perguruan tinggi. Khusus untuk Jawa Barat jumlah penduduk tahun
2007 adalah 41 juta orang, jumlah tenaga kerja 18,24 juta orang, dengan jumlah
penganggur terbuka 1,1 juta orang, dan setengah penganggur sebanyak 5 juta
orang (Jabarprov.go.id), atau sekitar 15% populasi penduduk. Dikarenakan
keterbatasan kapasitas perguruan tinggi untuk menyerap lulusan sekolah lanjutan
atas di samping keterbatasan kesempatan kerja, mereka yang tidak bisa
meneruskan sekolah akan semakin menambah jumlah penganggur setiap tahunnya.
Kurikulum yang ada sekarang di SMU turut memberikan kontribusi kepada
ketidaksiapan lulusan untuk memilih karir kerja mandiri (self-employment)
atau berwirausaha karena mereka hanya disiapkan untuk melanjutkan atau masuk
perguruan tinggi. Demikian pula lulusan perguruan tinggi pada umumnya dipersiapkan
untuk bekerja menjadi karyawan. Memilih karir berwirausaha merupakan
kasus luar biasa, kecuali bagi mereka yang memiliki latar belakang keluarga
wirausaha terutama dari kalangan warga etnis keturunan. Oleh sebab itu
pendidikan kewirausahaan mungkin merupakan bagian dari solusi mengatasi masalah
pengangguran melalui. Menurut Global Entrepreneurship Monitor’s (GEM, 2008)
proses kewirausahaan mencakup tahap konsepsi, kelahiran usaha, dan tahap
bertahan. Demikian pula peserta didik dalam pendidikan kewirausahaan berada
pada tahap konsepsi sebagai calon entrepreneur yang mampu mengidentifikasi
peluang, mempunyai pengetahuan dan keterampilan. Kemudian difasilitasi
berbagai program pemerintah sepanjang karir kerja mandirinya, para lulusan akan
memulai berwirausaha dan menjadi pemilik/manajer usaha baru (tahap kelahiran),
berkembang menjadi pemilik/manajer perusahaan mapan (tahap bertahan).
Kontribusi perguruan tinggi (diploma, akademi dan universitas) pada
penciptaan pengangguran terbuka cukup signifikan. Tahun 2008 pengagguran dengan
pendidikan terakhir perguruan tinggi mencapai 6.936.417 jiwa atau sekitar 7
persen dari total pengangguran (BPS 2010). Ketika ditelusuri lebih dalam, salah
satu sebabnya adalah kurang mendukungnya kurikulum dan kultur pendidikan di
perguruan tinggi itu sendiri. Perguruan tinggi kurang memberikan ruang belajar
bagi mahasiswa untuk praktik bekerja dan menciptakan pekerjaan.
Data Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menunjukkan, hampir
sejuta lulusan dari sekitar 2.900 perguruan tinggi di Indonesia dan berasal
dari berbagai disiplin ilmu, masih belum memiliki pekerjaan alias menganggur. Ada beragam
penyebab yang membuat mereka tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Diantaranya
adalah kompetensi ilmu yang tidak sesuai, lulusan yang tidak terserap, dan para
lulusan dari program studi yang sudah jenuh. Pada periode Februari-Agustus 2008
lalu tercatat tidak kurang dari 1,1 juta penganggur terdidik. Namun,
berdasarkan laporan Maret 2009, terjadi penurunan jumlah penganggur terdidik
menjadi 960 ribu orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 598 ribu merupakan
lulusan S-l, sedangkan 362 ribu lainnya lulusan program diploma.
Sebagian besar lulusan prodi kependidikan nantinya akan
mengarah pada profesi keguruan yang sudah barang tentu menjadi PNS adalah
bagian dari tujuan utama mahasiswa. Padahal telah diketahui bahwa pendaftar PNS
pada tahun terakhir ini mencapai angka yang sangat drastis nilainya, khususnya
pada jalur profesi guru. Sehingga untuk meningkatkan kemampuan calon guru yang
hendak menjadi PNS, pendidikan kewirausahaan sangat diperlukan. Hal ini untuk
mendukung keberhasilan dan kelancaran calon guru dalam menjalankan tugasnya.
Selain itu, penanaman nilai bahwa PNS bukanlah satu-satunya jalan untuk
mendapatkan kesejahteraan dalam hidup perlu diberikan bagi mahasiswa prodi
kependidikan. Karena sebagian besar dari mereka telah berniat untuk
menggantungkan hidup pada gaji PNS tanpa memikirkan tantangan globalisasi yang
semakin berkembang khususnya dalam bidang ekonomi masyarakat.
Tingginya angka pengangguran di kalangan sarjana ini tidak lepas dari
rendahnya keterampilan di luar kompetensi utama mereka sebagai sarjana.
Padahal, untuk menjadi seorang lulusan yang siap kerja, mereka perlu tambahan
keterampilan di luar bidang akademik yang mereka kuasai. Terutama keterampilan
yang berkaitan dengan kewirausahaan.
Pendidikan
di Indonesia membutuhkan mahasiswa yang mampu untuk think locally, act
locally, and do in global way. Maksudnya, mahasiswa diharapkan mampu
berpikir lokal dengan berpijak pada ideologi dan budaya bangsa. Bersikap
sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung moralitas dan kesederhanaan. Namun
bersikap profesional dengan memperhatikan tantangan global yang sedang dihadapi
bangsa Indonesia untuk memenuhi tuntutan zaman khususnya dalam hal ekonomi.
Indonesia membutuhkan kader-kader lulusan perguruan tinggi yang tidak hanya
ahli dalam segi teori. Namun Indonesia membutuhkan sarjana dengan keterampilan
dan jiwa enterpreneur (kewirausahaan). Mengingat kondisi Indonesia
dilihat dari sektor ekonomi yang sangat rendah dibandingkan dengan
negara-negara yang lain. Untuk aspek kurikulumnya, Solomon dan Fernald
(1991) menyarankan bahwa kurikulum yang dirancang harus
memungkinkan mahasiswa memperoleh pengalaman nyata melalui partisipasi
aktif di dalam proses pembelajaran. Jadi, apabila ingin
meningkatkan perilaku kewirausahaan para lulusan sebagai tujuan pendidikan
kewirausahaan, maka ubahlah cara mengajar kewirausahaan dengan
melibatkan teknik belajar yang sinerjis (Smith, 2006).
Menurut Hamdani (2010), jika dibandingkan dengan negara-negara maju di
dunia, jumlah wirausaha di Indonesia masih tergolong sangat rendah. Dari 231,83
juta penduduk Indonesia, baru sekitar 4,6 juta yang berwirausaha atau sekitar
0,2% (1:500). Persentasi ini tergolong sangat rendah jika dibandingkan dengan
negara maju di Asia seperti Jepang dan Taiwan dengan persentase kewirausahaan
penduduk mencapai 5 % (1:20). Rendahnya persentase kewirausahaan penduduk
Indonesia disebabkan oleh rendahnya minat masyarakat menggeluti kewirausahaan.
Rendahnya minat ini, dapat saja disebabkan oleh tidak adanya jiwa
entrepreneurship dan kenyamanan akan kekayaan sumber daya alam yang membentuk
kultur yang kurang kreatif dan produktif.
Oleh karena itu, upaya peningkatan persentase kewirausahaan penduduk di
Indonesia harus ditempuh dengan segala cara. Salah satunya adalah upaya
sistemik yang dilakukan melalui pendidikan kewirausahaan yang terintegrasi
dalam pembelajaran. Pendidikan kewirausahaan yang terintegrasi dapat dilakukan
dalam hal pembentukan nilai-nilai kewirausahaan pada diri mahasiswa yang
menyertai perkembangan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
Semakin banyaknya lulusan SMU yang memilih prodi kependidikan dalam
perguruan tinggi hendaknya mendapat perhatian khusus dari perguruan tinggi
tersebut. Prodi kependidikan yang otomatis diarahkan pada jalur profesi
keguruan menandakan bahwa sebagian besar mahasiswa ingin menjadi pegawai negeri
sipil (PNS) setelah mereka lulus nanti. Bukan berarti merendahkan kedudukan PNS
dalam jaringan profesi. Namun alangkah lebih baiknya jika seorang calon guru
dibekali dengan pengetahuan kewirausahaan sebagai pembentuk jiwa entrepreneur.
Entrepreneur bukan berarti harus menjadi
pengusaha, pedagang, maupun pebisnis. Namun pada hakikatnya jiwa wirausaha (entrepreneurship)
terkait bagaimana cara menghasilkan nilai tambah pada profesi seseorang.
Seseorang dikatakan memiliki jiwa wirausaha jika ia mampu memberikan nilai
tambah pada profesi yang ditekuninya. Tidak terlepas dalam hal ini adalah guru.
Guru adalah pekerjaan profesi yang condong dalam mengajar dan mendidik
siswa untuk belajar menjadi lebih baik dalam ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Di dalam Permendiknas soal Pemenuhan Beban Kerja guru dan
Pengawas Satuan Pendidikan yang disahkan Juli lalu, disebutkan beban kerja guru
harus memenuhi syarat minimal 24 jam mengajar tatap muka, dan maksimal 40 jam
tatap muka. Untuk membantu guru-guru yang tidak dapat memenuhi ketentuan jam
kerja minimal, ada berbagai alternatif kegiatan tambahan yang bisa dipilih
sebagai solusi yang dilaksanakan dalam jangka paling lama dua tahun setelah
berlakunya Permendiknas tersebut.(Kompas,27 September 2009). Jadi jika
dibuat rata-rata guru hanya menghabiskan waktu 6-7 jam di sekolah. Sementara
sisa waktu sehari semalam yang 24 jam, masih bisa dioptimalkan untuk kegiatan
kewirausahaan..
Perkuliahan Pendidikan Kewirausahaan bagi prodi kependidikan dapat
dilaksanakan dengan konsep sebagai berikut, mahasiswa memperoleh 9 SKS mata
kuliah Pendidikan Kewirausahaan dalam 4 semester. Kemudian dibentuk Inkubator
Wirausaha yang menjadi tempat simulasi dan praktek wirausaha mahasiswa. Mereka
mendapatkan pembelajaran tentang teknik wirausaha, pengelolaan dana, pemilihan
keunggulan produk dan jasa, serta strategi promosi. Namun hal itu tetap
tergantung pada soft skill masing-masing mahasiswa, sehingga yang lebih
penting adalah motivasi dan flighting spirit, agar mendidik mahasiswa
pantang menyerah dan tidak mudah putus asa.
Berkenaan dengan prodi yang diambil adalah kependidikan. Maka materi
perkuliahan dapat dikolaborasikan dengan bentuk pembelajaran berbasis
kewirausahaan. Sehingga kurikulumnya tidak hanya membahas tentang
kewirausahaan dalam lingkup usaha bisnis. Namun juga pengajaran tentang
pembentukan jiwa wirausaha (entrepreneurship) dalam menjalankan
pembelajaran.
Konsep Pendidikan Kewirausahaan untuk prodi kependidikan dapat
diarahkan mencakup 2 komponen. Diantaranya adalah entrepreneurship sebagai seni
mengajar dan entrepreneurship dalam dunia usaha.
1.
Entrepreneur sebagai Seni Mengajar
Seorang
guru, seringkali terpaku pada jam mengajar dikelas saja. Sedikit diantaranya
yang mampu mengoptimalkan kemampuan mengajarnya. Padahal, jika digunakan secara
lebih optimal, maka mengajar bukan semata menjadi profesi lagi, namun menjadi
kesenangan. Selain itu, bisa juga memberikan pesan agama dan moral kepada
murid-murid sebagai bekal spiritual mereka. Dengan begitu, bukan hanya
murid-murid yang merasa nyaman. Namun guru juga akan lebih optimal dalam
memberikan pelajaran.
Ini
bisa dilakukan dengan menjadikan para murid sebagai mitra belajar, bukan semata
memandang anak-anak sebagai pihak yang menerima materi. Murid-murid adalah
mitra sekaligus teman profesi. Komunikasi dua arah dalam mengajar, tentu bisa
lebih membuat murid-murid betah dan nyaman berada di kelas. Komunikasi dua arah
dalam mengajar diistilahkan sebagai pembelajaran kelas. Pembelajaran akan
berlangsung efektif jika guru mengadopsi pembelajaran inovatif berbasis PAIKEM
sebagai pelengkap dalam mencapai tujuan pendidikan.
PAIKEM adalah
singkatan dari Pembelajaran Aktif, Inspiratif/Interaktif/Inovatif,
Kritis/Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Dalam PAIKEM digunakan
prinsip-prinsip pembelajaran berbasis kompetensi. Pembelajaran berbasis
kompetensi adalah pembelajaran yang dilakukan dengan orientasi pencapaian
kompetensi peserta didik. Sehingga muara akhir hasil pembelajaran adalah
meningkatnya kompetensi peserta didik yang dapat diukur dalam pola sikap,
pengetahuan, dan keterampilannya.
Pembelajaran berbasis PAIKEM membantu siswa
mengembangkan kemampuan berpikir tahap tinggi, berpikir kritis dan berpikir
kreatif (critical and creative thinking).
Berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur, kecakapan
sistematis dalam menilai, memecahkan masalah menarik keputusan, memberi
keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. Berpikir kreatif adalah
suatu keigatan mental untuk meningkatkan kemurnian (originality), ketajaman pemahaman (insight) dalam mengembangkan sesuatu (generating). Kemampuan memecahkan masalah merupakan kemampuan
berpikir tingkat tinggi.
Sebagai tahapan strategis pencapaian
kompetensi, kegiatan PAIKEM perlu didesain dan dilaksanakan secara efektif dan
efisien sehingga memperoleh hasil maksimal. Berdasarkan panduan penyusunan KTSP
(KTSP), kegiatan pembelajaran terdiri dari kegiatan tatap muka, kegiatan tugas
terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Sekolah standar, beban
belajarnya dinyatakan dalam jam pelajaran ditetapkan bahwa satu jam pelajaran
tingkat SMA/SMK terdiri dari 45 menit, SMP terdiri dari 40 menit, dan untuk SD
terdiri dari 35 menit tatap muka untuk Tugas Terstruktur dan Kegiatan Mandiri
Tidak Terstruktur. Dalam hal ini guru perlu mendesain kegiatan pembelajaran
tatap muka, tugas terstruktur dan kegiatan mandiri.
1. Kegiatan Tatap Muka
Untuk kegiatan tatap muka dilakukan
dengan strategi bervariasi baik ekspositori maupun diskoveri inkuiri. Metode
yang digunakan seperti ceramah interaktif,
presentasi, diskusi kelas, diskusi kelompok, pembelajaran kolaboratif dan
kooperatif, demonstrasi, eksperimen, observasi di sekolah, eksplorasi dan
kajian pustaka atau internet, tanya jawab, atau simulasi. Tapi jika sudah ada
sekolah yang menerapkan sistem SKS, maka kegiatan tatap muka lebih disarankan
dengan strategi ekspositori. Namun demikian tidak menutup kemungkinan
menggunakan strategi diskoveri inkuiri. Metode
yang digunakan seperti ceramah interaktif, presentasi, diskusi kelas, tanya
jawab, atau demonstrasi.
2. Kegiatan Tugas Terstruktur
Bagi sekolah yang menerapkan sitem
paket, kegiatan tugas terstruktur tidak dicantumkan dalam jadwal pelajaran
namun dirancang oleh guru dalam silabus maupun RPP (Rancangan Pelaksanaan
Pembelajaran). Oleh karena itu pembelajaran dilakukan dengan strategi diskoveri
inkuiri. Metode yang digunakan seperti penugasan, observasi lingkungan, atau
proyek.
Kegiatan tugas terstruktur merupakan
kegiatan pembelajaran yang mengembangkan kemandirian belajar peserta didik,
peran guru sebagai fasilitator, tutor, teman belajar. Strategi yang disarankan
adalah diskoveri inkuiri dan tidak
disarankan dengan strategi ekspositori. Metode yang digunakan seperti diskusi
kelompok, pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, demonstrasi, eksperimen,
observasi di sekolah, eksplorasi dan kajian pustaka atau internet, atau
simulasi.
3. Kegiatan Tugas Tidak Terstrukur
Kegiatan mandiri
tidak terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang dirancang oleh guru.
Strategi pembelajaran yang digunakan adalah diskoveri inkuiri dengan metode
seperti penugasan, observasi lingkungan, atau proyek.
PAIKEM
dapat diterapkan pada pembelajaran kontekstual dengan pendekatan
konstruktivisme dipandang sebagai salah satu strategi yang memenuhi prinsip
pembelajaran berbasis kompetensi. Dengan lima strategi pembelajaran kontekstual
(contextual teaching and learning),
yaitu relating, experiencing, applying,
cooperating, dan transferring diharapkan peserta didik mampu mencapai
kompetensi secara maksimal.
Pemilihan
strategi ekspositori dilakukan atas pertimbangan:
a.
Karakteristik
peserta didik dengan kemandirian belum memadai;
b.
Sumber
referensi terbatas;
c.
Jumlah
peserta didik dalam kelas banyak;
d.
Alokasi
waktu terbatas; dan
e.
Jumlah
materi (tuntutan kompetensi dalam aspek pengetahuan) atau bahan banyak.
Langkah-langkah
yang dilakukan pada strategi ekspositori adalah sebagai berikut:
a.
Preparasi,
guru menyiapkan bahan/ materi pembelajaran
b.
Apersepsi
diperlukan untuk penyegaran
c.
Presentasi
(penyajian) materi pembelajaran
d.
Resitasi,
pengulangan pada bagian yang emnjadi kata kunci kompetensi atau materi
pembelajaran
Pemilihan
strategi diskoveri inkuiri dilakukan
atas pertimbangan:
a.
Karakteristik
peserta didik dengan kemandirian cukup memadai;
b.
Sumber
referensi, alat media, dan bahan cukup;
c.
Jumlah
peserta didik dalam kelas tidak terlalu banyak;
d.
Materi
pembelajaran tidak terlalu luas; dan
e.
Alokasi
waktu cukup tersedia.
Langkah-langkah
yang dilakukan pada strategi diskoveri
inkuiri adalah sebagai berikut.
a.
Guru
atasu peserta didik mengajukan dan merumuskan masalah
b.
Merumuskan
logika berpikir untuk mengajukan hipotesis atau jawaban sementara
c.
Merumuskan
langkah kerja untuk memperoleh data
d.
Menganalisis
data dan melakukan verifikasi
e.
Melakukan
generalisasi
Strategi
ekspositori lebih mudah bagi guru namun kurang melibatkan aktivits peserta
didik. Kegiatan pembeljaaran berupa instruksional langsung (direct instructional) yang dipimpin oleh
guru. Metode yang digunakan adalah ceramah atau presentasi, diskusi kelas, dan
tanya jawab. Namun demikian ceramah atau presentasi yang dilakukan secara
interaktif dan menarik dapat meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam
pembelajaran.
Strategi diskoveri inkuiri memerlukan persiapan
yang sungguh-sungguh, oleh karena itu dibutuhkan kreatifitas dan inovasi guru
agar pengaturan kelas maupun waktu lebih efektif. Kegiatan pembelajaran
berbentuk Problem Based Learning yang
difasilitasi oleh guru. Strategi ini melibatkan aktivitas peserta didik yang
tinggi. Metode yang digunakan adalah observasi, diskusi kelompok, eksperimen,
eksplorasi, simulasi, dan sebagainya.
2.
Entrepreneur dalam Dunia Usaha
Longgarnya
waktu yang dimiliki oleh guru di luar jam pelajaran merupakan salah satu daya
tarik mahasiswa prodi kependidikan. Mereka beranggapan bahwa di luar jam
mengajar adalah waktu istirahat karena tugas utama mereka hanya mengajar ketika
pembelajaran berlangsung. Fenomena ini menunjukkan adanya watak atau karakter
sebagai karyawan jauh lebih tinggi daripada menjadi seorang produsen. Mereka
lebih bangga menjadi guru yang istirahat setelah mengajar daripada menjadi guru
yang produktif.
Guru
yang produktif disini adalah guru yang kreatif dan mampu memberikan nilai lebih
baik di dalam maupun di luar kegiatan pembelajaran. Seperti yang telah
diketahui bahwa tunjangan kependidikan untuk guru bergolongan II/a dengan masa
kerja 10 tahun ditetapkan senilai Rp 286.000 per bulan. Dan jika ditambahkan
dengan komponen penghasilan lainnya, maka penghasilan bersih seorang guru
golongan II/a yang belum kawin akan mencapai Rp 2.489.635 per bulan.
Pendidikan
kewirausahaan yang dapat diberikan dalam hal ini adalah membekali mahasiswa
mengenai pentingnya jiwa entrepreneurship sebagai alat untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya dalam bidang ekonomi. Selain itu
membuka jalan pikir mahasiswa bahwa mahasiswa sebagai golongan terpelajar
hendaknya menjadi seseorang yang produktif dan tidak hanya menggantungkan nasib
kepada pemerintah. Karena mempersiapkan diri sebagai wirausahawan sekaligus
abdi negara adalah profesi yang bermanfaat.
Bentuk
penerapan Pendidikan Kewirausahaan dapat dilaksanakan dengan metode “tamu
kunjung”. Tamu kunjung adalah cara yang digunakan dalam pembelajaran
dengan menghadirkan tokoh-tokoh usahawan muda maupun usahawan yang sudah sukses
untuk membagikan pengalamannya secara langsung kepada mahasiswa. Tamu bertindak
sebagai pemateri sekaligus motivator dan fasilitator di dalam kelas. Setelah
pemateri menyampaikan materi dan pengalamannya tentang kewirausahaan, mahasiswa
diberi kesempatan untuk bertanya. Hal ini bertujuan untuk merangsang
keingintahuan mahasiswa mengenai kewirausahaan. Jika pendidikan kewirausahaan
hanya diberikan oleh dosen, terkesan hanya berupa teori tanpa ada wujud nyata.
Namun jika pihak yang berwenang bersedia mendatangkan pemateri yang sudah mapan
dalam profesinya berwirausaha, mahasiswa akan lebih tertarik dan bahkan dapat
termotivasi atas pengalaman yang disampaikan oleh pemateri.
Penyelenggaraan
tamu kunjung dalam perkuliahan Pendidikan Kewirausahaan dapat
dilaksanakan sebanyak 30% dari jumlah pertemuan perkuliahan. Jika jumlah
pertemuan dalam 1 semester ada 12 kali pertemuan, maka setidaknya ada 4 kali
perkuliahan dengan tamu kunjung. Hal ini dikarenakan Pendidikan Kewirausahaan
tidak hanya membutuhkan teori. Namun suntikan motivasi dan pengalaman bermakna
jauh akan lebih terekam dalam memori mahasiswa.
Semakin banyaknya
minat mahasiswa untuk terjun di dunia pendidikan yang secara tidak langsung
adanya niat untuk menjadi PNS, hendaknya dibekali oleh perguruan tinggi dengan
pendidikan kewirausahaan. Hal ini bertujuan agar lulusan perguruan tinggi
nantinya tumbuh menjadi sumber daya manusia yang bermanfaat bagi masyarakat
Indonesia. Salah satunya adalah sebagai wirausaha yang produktif. Keinginan
menjadi PNS hendaknya diimbangi dengan ketrampilan berwirausaha sehingga untuk
kedepannya lulusan perguruan tinggi tidak hanya sebagai karyawan pemerintah.
Namun juga mampu berkontribusi bagi pemerintah.
Langkah yang
diambil oleh universitas dalam hal ini adalah dengan memasukkan Pendidikan
Kewirausahaan di dalam kurikulum perkuliahan di prodi kependidikan. Tujuan
Pendidikan Kewirausahaan tersebut adalah untuk membentuk guru yang berjiwa entrepreneurship
yang mampu menjadi entrepreneur di dalam maupun di luar
pembelajaran. Jadi guru masa depan lebih memiliki nilai tambah yang tidak hanya
bekerja di hadapan peserta didik. Namun juga mampu berkecimpung dalam
masyarakat sebagai entrepreneur.