This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Monday 25 November 2013

WAJIB BELAJAR TK

Usulan Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono tentang wajib belajar TK kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), menarik untuk dikaji. Usulan ini diwacanakan pada pembukaan Rakornas Bunda PAUD Indonesia baru-baru ini. Kita sama-sama tahu, usia 0 - 6 tahun sangat penting dalam pembentukan karakter anak. Golden age seorang anak, menurut Freud, berada di usia sebelum lima tahun. Pada usia ini anak mengalami fase keemasan dalam perkembangannya.

Namun, dalam pendidikan dasar di Indonesia, usia PAUD justru masih berada pada lingkup pendidikan nonformal. PAUD lebih banyak dikelola yayasan-yayasan swasta. Peran pemerintah masih begitu kecil jika dibandingkan peran PAUD dalam mempersiapkan anak-anak menuju usia sekolah. Karena itu, inilah alasan logis jika TK dijadikan wajib belajar. Wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah tampaknya masih perlu direvisi.

Sisi Positif

Usulan memasukkan TK ke dalam wajib belajar tentunya memiliki dampak positif ataupun negatif. Beberapa dampak positif yang akan muncul adalah adanya keseragaman keterampilan siswa kelas 1 (SD). Banyak guru kelas 1 mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada siswa yang berbeda. Ada siswa berasal dari PAUD, ada juga siswa yang langsung masuk terdaftar di sekolah dasar.

Kondisi demikian menyebabkan keterampilan siswa tidak merata, sehingga kemampuan menerima pelajaran di awal menjadi berbeda. Sebagai makhluk pribadi dan sosial, anak membutuhkan komunitas. Salah satu komunitas yang dimaksudkan adalah sekolah. Meskipun anak dapat belajar interaksi dari keluarga, namun dengan mengenal orang lain di luar keluarga, tentu memberikan pengalaman bagi anak. Anak akan semakin banyak tahu keberagaman karakter di luar kondisi keluarganya.

Lingkungan sekolah dapat menguatkan kemampuan berpikir anak. Ketika usia prasekolah anak terbiasa bermanja-manja, maka di sekolah anak akan diarahkan guru untuk mandiri. Anak akan diajak mengenal lingkungan dengan cara berinteraksi positif. Pembiasaan interaksi ini merupakan modal bagi anak untuk mengembangkan interaksi pada masa-masa berikutnya. Jenjang pendidikan anak dapat dikategorikan menjadi prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Dalam posisi prasekolah inilah, PAUD mengambil peran.

Hambatan

Ada beberapa hambatan merealisasikan wajib belajar TK. Pertama, setiap daerah memiliki perbedaan kondisi alam dan sosial, apalagi di daerah pedalaman di luar Jawa. Kedua, belum maksimalnya wajib belajar 12 tahun. Selama ini, wajib belajar 12 tahun yang dimulai dari jenjang SD pun belum berjalan optimal. Banyak SD di Indonesia belum mendapatkan kesamaan perlakuan.

Beberapa sekolah belum memiliki bangunan layak untuk belajar. Jika PAUD dimasukkan ke dalam wajib belajar, bukan tidak mungkin, akan mengalami perlakukan sama. Ketiga, meskipun sudah banyak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) meluluskan guru PAUD, tapi ketersediaan guru PAUD di Indonesia masih kurang. Tidak semua LPTK membuka jurusan PGPAUD, sehingga lulusan guru PAUD sangat terbatas. Hal itulah yang menyebabkan banyak guru amatir dan ”abal-abal” yang mengajar PAUD.

Keempat, rendahnya kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya di PAUD. Di ranah perkotaan, lulus PAUD sudah banyak menjadi prasyarat untuk lanjut belajar di jenjang SD. Namun di desa, tidak demikian. Wacana wajib belajar TK ini perlu mendapat sambutan serius dari berbagai pihak dengan beberapa alasan. Pertama, dampak pemberian pendidikan dini kepada anak sangat baik bagi perkembangannya.
Kedua, dengan kebijakan wajib belajar TK, maka akan membuka kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak.

Ketiga, pemerintah harus menyiapkan tenaga pendidik berkompeten, sarana dan prasarana, serta adanya payung hukum yang melindungi keberlangsungan jenjang pendidikan ini. Kita tunggu saja kebijakan wajib belajar TK ini. Yang jelas, pendidikan di PAUD bukan segalanya, namun segala-galanya bisa berasal dari sana. Saatnya wajib belajar TK!

—Dian Marta Wijayanti SPd, guru Homeschooling ANSA School Semarang.

Monday 4 November 2013

MENGEMBALIKAN KEMURNIAN PROFESI GURU


Oleh: Dian Marta Wijayanti
Dimuat di Opini Koran Barometer 31 Oktober 2013

Guru adalah profesi yang mampu mengnatarkan seseorang menuju puncak keemasannya. Guru zaman dulu dan sekarang memiliki perbedaan signifikan. Jika dulu guru hanya dipandang sebelah mata, namun sekarang profesi guru seakan mampu menjadi impian semua orang. Hampir setiap orang ingin menjadi guru, baik itu guru SD, SMP, SMA, maupun gurunya calon guru alias dosen. Namun sudahkah semuanya memahami apa makna guru sejati?
Ungkapan dalam bahasa Jawa bahwa guru itu harus bisa digugu lan ditiru seakan sudah banyak dilupakan. Apalagi ditambah kata-kata bijak Ki Hajar Dewantara Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Dapat dikatakan saat ini profesi guru hanya dianggap sebagai tujuan bukan alat. Ketika guru hanya dianggap sebagai tujuan, maka setelah menjadi guru, pasti hanya status itu didapatkan. Namun jika guru dianggap sebagai alat, maka perilaku untuk melakukan pekerjaan baik lebih banyak akan terwujud. Suatu fenomena di masyarakat memperlihatkan kemurnian profesi guru luntur. Masih adakah guru murni, sejati dan berkualitas?

Guru Ideal
Guru harus ideal, berkualitas, dan murni dalam menjalankan tugas pendidikannya. Menjadi guru tidak cukup hanya menguasai empat kompetensi pendidik dan delapan keterampilan mengajar. Tapi, guru juga harus mampu membuat siswa merasa nyaman dan rindu akan ilmu pengetahuan. Kenyamanan siswa terhadap guru akan menunjukkan bahwa guru tersebut telah mampu menjadi guru dirindukan. Ketika siswa sudah rindu terhadap gurunya, dapat dipastikan mereka akan dengan senang menerima materi yang diberikan guru. Kenyamanan seorang siswa tentu membuat siswa lebih mudah memahami daripada baru mendengar nama gurunya saja sudah merasa takut.
Guru sejati akan mendidik dengan hati. Kemurnian seorang guru memang tidak mudah terlihat. Namun secara umum dapat diketahui dalam sikap guru-guru dalam menjalankan tugasnya. Guru mendidik dengan hati tidak akan menghabiskan durasi baginya untuk memberikan materi dan soal-soal latihan saja. Guru cerdas akan  mengajarkan siswa bagaimana cara menghidupkan keinginan untuk aktif berprestasi. Apalagi, setiap anak memiliki hak untuk tumbuh menjadi orang besar dan sukses. Tugas guru di sini adalah membantu mereka untuk menemukan jalan termudah sesuai aturan yang ada. Bukan malah membuat siswa merasa sekolah itu hanya formalitas yang di dalamnya tersimpan kesulitan-kesulitan dunia, kesulitan mengerjakan PR, tugas-tugas sekolah, tes, praktikum, dan lainnya.
Guru sejati menjadi teladan bagi siswanya. Cara pandang siswa terhadap guru yang mengajar tentu banyak makna. Guru yang dicintai siswanya akan dinanti-nantikan kehadirannya di dalam kelas. Sedangkan guru yang tidak diinginkan siswa biasanya hanya dianggap pajangan di ruang belajar. Bukan berarti siswa itu tidak sopan. Tapi hal tersebut merupakan respon langsung siswa terhadap gurunya. Siswa memiliki hak untuk menilai karena bagaimanapun mereka lah yang merasakan dampak pembelajaran dari guru. Pada dasarnya siswa menyukai pembelajaran serius tapi santai. Mellaui pembelajaran menyenangkan, siswa akan lebih banyak mendapatkan pengalaman bermakna.

Guru Abal-Abal
Dewasa ini banyak ditemukan “guru abal-abal” di lingkungan pendidikan. Bagaimana tidak dikatakan sebagai guru abal-abal, setiap hari Senin mereka datang ke sekolah dengan gagah berbaju keren. Setiap awal bulan mereka mendapatkan gaji cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan ketika menilik para guru yang sudah mendapatkan sertifikasi, pergi ke sekolah dengan mengendarai mobil sudah menjadi hal biasa. Jika dikalkulasi, sepasang suami istri dengan profesi guru memiliki gaji pokok Rp 2.800.000 per bulan. Jika keduanya sudah bersertifikasi, maka dapat diketahui dalam waktu sebulan gaji diterima pasangan tersebut kurang lebih 11.200.000. sangat mudah bagi mereka untuk berganti kendaraan bermotor dalam dua bulan sekali. Namun sudah sesuaikah dengan keterampilan dimiliki?
Sertifikasi adalah penghargaan bagi mereka yang profesional dengan profesinya. Begitu pula dengan sertifikasi guru. Dari proses penilaian portofolio sampai sampai sekarang muncul program PLPG. Terlihat sekali hampir semua guru antusias untuk mengejar sertifikat sertifikasi tersebut. Namun sangat disayangkan ketika antusias mengejar materi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan kompetensi. Bahkan di antara para guru yang telah lulus tersertifikasi, banyak sekali kecurangan yang terjadi. Kecurangan yang dimaksudkan disini adalah kecurangan dalam menipu penghargaan negara.
Sudah selayaknya seorang yang mendapatkan sesuatu, berarti mau melakukan sesuatu untuk orang lain yang membantunya. Namun yang terjadi justru berbanding terbalik. Ketika sudah mendapatkan sertifikasi, banyak guru malah ongkang-ongkang kaki seakan berada di puncak kejayaannya. Padahal justru sertifikasi yang diperoleh seharusnya bisa mnejadi pemacu untuk meningkatkan kinerja kerja.

Solusi
Mengembalikan kemurnian profesi seorang guru tidaklah mudah. Semuanya telah bercampur dalam sistem yang sulit untuk dipecah satu per satu. Namun usaha preventif tetap bisa dilakukan minimal dari pribadi masing-masing individu. Pertama, melakukan profesi sesuai disiplin ilmu. Banyak sekali guru-guru abal-abal yang mendeklarasikan diri sebagai guru luar biasa. Padahal jika dilihat dari latar belakang pendidikan, banyak guru tidak linier. Misalnya, sarjana muda dari Jurusan Pendidikan Ekonomi mengajar siswa SD. Guru lulusan Pendidikan Matematika mengajar Bahasa Inggris. Tentu terlihat adanya kesenjangan di sini. Materi memang bisa dipelajari. Tapi kemampuan menguasai kelas dan mempelajari psikologis siswa tentu akan berbeda.
Kedua, setia dengan ilmu yang dipelajari. Banyak kondisi guru tidak setia dengan ilmu yang dipelajari. Sebagai contoh sarjana lulusan jurusan manajemen sampai jangka waktu yang lama tidak segera mendapatkan pekerjaan. Karena orangtuanya guru SD, lulusan tersebut diajak orangtuanya mengajar di SD dengan pengetahuan yang dimiliki. Cukup jelas hal tersebut mengorbankan siswa sebagai subjek belajar di sekolah.
Ketiga, mempertegas peraturan pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pemerintah perlu lebih selektif dalam menyeleksi calon pegawai negara. Salah satu caranya adalah dengan menghilangkan money politic di tengah seleksi CPNS seperti sekarang ini. Namun hal yang menjadi kunci dari guru ideal adalah hakikat kembali kekemurnian sebagai pendidik di dalam masyarakat. Semoga para guru sadar untuk selalu menjadi guru murni, berkualitas dan mencerdaskan Indonesia dengan spirit heroik bukan pecundang.

Wisudawan Terbaik Jurusan PGSD Unnes April 2013
Mahasiswa Pascasarjana Unnes
Guru Homeschooling ANSA School Semarang


Sunday 3 November 2013

Mencegah Kemunculan Guru Abal-Abal

Oleh Dian Marta Wijayanti SPd
Guru Homeschooling ANSA School Semarang, Mahasiswa Pascasarjana Unnes

Saya tertarik membaca tulisan berjudul “Mengembalikan Khitah Guru” yang ditulis Fauzul Andim di rubrik ini (SM, 12/10/2013). Tulisan tersebut memberikan pencerahan bahwa guru harus menjadi teladan bagi siswa maupun masyarakat. Namun, apakah guru cukup menjadi teladan? Menurut penulis tidak. Mengapa? Karena guru harus sejati dan revolusioner. Artinya, yang perlu disoroti di sini juga spirit guru dalam menjalankan tugas pendidikannya.
Secara implisit, kita bisa menyimpulkan bahwa ada “guru sejati” dan “guru abal-abal”. Guru sejati adalah mereka yang mengajar dengan penuh keikhlasan dan semangat revolusioner mendidik bangsa ini. Sedangkan guru abal-abal adalah mereka yang hanya berorientasi pada “recehan” belaka, mengajar tanpa mendidik, serta hanya memenuhi presensi tanpa menjadi motivator sejati bangi siswa di sekolah.
Era global seperti ini memang menuntut guru untuk menjadi pragmatis. Artinya, guru butuh kesejahteraan dan kemakmuran. Dan hal itu salah satunya didapat dari gaji atau honor yang diperolah dari lembaga pendidikan. Di sisi lain, munculnya kebijakan sertifikasi menjadikan guru semakin salah niat dalam mengajar. Padahal, seharusnya kebijakan itu menjadikan semangat untuk mencerdaskan bangsa, bukan justru mengejar recehannya saja. Karena itu, hal ini harus segera diluruskan.
Dicegah
Yang jelas, guru abal-abal harus dihentikan dan dicegah dengan langkah preventif. Karena, apa artinya recehan, jika guru tak mampu menjalankan tugas sucinya. Maka, sebagai insan pendidikan, hal itu haurs disikapi guru dengan arif. Salah satunya adalah dengan mencegah munculnya guru abal-abal dengan beberapa solusi dan terobosan efektif. Setidaknya, ada beberapa cara untuk mencegah guru abal-abal dalam pendidikan. Pertama, memperketat penerimaan guru, baik sekolah berstatus swasta maupun negeri. Mengapa demikian? Karena, selama ini banyak orang masuk sekolah dan menjadi guru hanya “berbasis nepotisme”.  Artinya, asalkan punya kenalan pihak sekolah, maka akses masuk menjadi guru juga mudah.
Kedua, mempertegas aturan dan kriteria atau syarat menjadi guru. Selama ini, penerimaan guru tidak ketat dan kriterianya juga tak jelas. Maka, setidaknya guru memiliki empat kompetensi pendidik, yaitu pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Selain itu, guru juga harus menguasai delapan keterampilan mengajar, mulai dari keterampilan menjelaskan, bertanya, menggunakan variasi, memberi penguatan, membuka dan menutup pelajaran, mengajar kelompok kecil dan perseorangan, mengelola kelas, dan membimbing diskusi kelompok kecil.
Ketiga, guru harus linier, sesuai jurusannya. Artinya, jika guru itu lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), maka yang diajar harus SD, bukan SMP apalagi SMA. Namun, hal ini masih belum jelas, banyak fakta di lapangan, guru mengajar tidak sesuai bidangnya. Misalnya, lulusan Pendidikan Biologi mengajar materi Ekonomi, lulusan IPA mengajar Bahasa Indonesia, dan sebagainya.
Yang jelas dan utama adalah guru harus memenuhi kualifikasi akademik dan memenuhi kriteria plus-plus. Artinya, selama ini banyak guru pandai secara akademik saja, tapi dia tidak menjadi pendidik yang mampu memberikan motivasi dan spirit bagi siswanya. Inilah yang disebut “kemampuan plus-plus” yang jarang dimiliki guru. Bahkan, banyak guru killer yang ditakuti siswa. Jangankan ketemu dan diajar di kelas, para siswa melihat motornya di tempat parkir pun sudah merasa takut. Inilah yang harus dibenahi. Jangan sampai guru abal-abal menjadi perusak pendidikan di negeri ini.
Guru Revolusioner
Apakah cukup hanya dengan itu, agar guru menjadi penentu pendidikan di negeri ini? Tentu tidak. Yang tak kalah penting adalah perlunya guru revolusioner yang mengajar penuh motivasi tinggi dengan spirit memajukan pendidikan Indonesia. Menurut penulis, guru revolusioner memiliki beberapa ciri.
Pertama, dia selalu ikhlas mengajar tanpa pamrih. Artinya, dia tetap butuh kesejahteraan, tapi bukan itu tujuannya. Mengapa? Karena menjadi guru bukanlah tujuan, karena posisi guru hanyalah alat untuk berbuat baik lebih banyak lagi dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia yang masih jauh dari harapan.
Kedua, memiliki jiwa heroik tinggi. Jika guru yang lain berangkat ke sekolah jam 7 pagi, maka dia datang di awal, bahkan sebelum para guru datang ke sekolah.
Ketiga, selalu menjadi dambaan siswa dan memberikan motivasi kepada siswa agar semangat dalam mencari ilmu, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Keempat, mampu mengajarkan kepada siswa, bahwa hidup tak sekadar menjadi manusia berilmu, tapi juga beriman dan beramal untuk bangsa.
Kelima, selalu mengajarkan kepada siswa bahwa hidup bukan sekadar “menjadi apa” (to be), tapi yang terpenting adalah “berbuat apa” (to do).
Inilah yang harus ditanamkan di hati para siswa. Dengan demikian, wajah pendidikan kita akan semakin berseri-seri, jika para gurunya sejati dan revolusioner, bukan abal-abal. Maka dari itu, jadilah guru sejati dan revolusioner, bukan abal-abal.


Artikel ini pernah dimuat di Rubrik Suara Guru harian Suara Merdeka tanggal 19 Oktober 2013.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More