Oleh Dian Marta Wijayanti,
SPd
Guru SDN Sampangan 01
Semarang, Tim Assesor USAID Prioritas Jawa Tengah
Dimuat Koran Barometer 17 Mei 2014
Kekerasan di sekolah/kampus
semakin meprihatinkan. Anak-anak
sudah merasa jagoan seperti yang ada di dalam film dan ponsel mereka. Kekerasan
paling rentan, selama ini adalah kekerasan di sekolah atau kampus,
seperti kekerasan pada masa orientasi siswa (MOS) dan orientasi studi dan
pengenalan kampus (Ospek). Meskipun
MOS dan Ospek bersifat tahunan, namun sampai detik ini belum ada solusi cerdas
menuntaskan kekerasan dalam pendidikan. Padahal, kekerasan dalam pendidikan
hukumnya haram dan sangat dilarang tegas.
Kekerasan di dunia pendidikan harus dihentikan. Pemicu kekerasan bukan
karena kegagalan pendidikan karakter saja, namun banyak faktor pemicu kekerasan.
Arif Rohman (2005) menjelaskan kekerasan merupakan tindakan merugikan, seperti pembunuhan,
penjarahan dan pemukulan. Kekerasan di sekolah/kampus biasanya musiman, seperti
saat MOS dan Ospek.
Inti
dari kekerasan adalah kerusakan bahkan kematian. Karena itu, semua sekolah dan
kampus sangat mewanti-wanti para pelajar agar tidak bertindak anarkis.
Pasalnya, sampai detik ini masih banyak kekerasan pelajar yang terjadi dengan
berbagai bentuk dan modus.
Kekerasan dalam Pendidikan
Secara umum, kekerasan dibagi tiga macam, yakni kekerasan fisik,
psikis, dan simbolik, baik terjadi secara kultural maupun struktural. Kekerasan
di kampus tergolong kekerasan struktural. Artinya, dalam hal ini sekolah/kampus
memberi kesempatan dan wewenang resmi kepada senior/panitia melakukan kekerasan
kepada yunior. Maka, tak ayal jika senior melakukan kekerasan kepada yuniornya
sebagai wujud eksistensi mereka.
Thomas Hobbes mengartikan kekerasan sebagai sesuatu alamiah yang
dialami manusia. Menurutnya, manusia merupakan makhluk yang dikuasai dorongan
irasional, anarkis, iri, serta benci, sehingga ia menjadi jahat, kasar, dan
berpikir pendek. Jika kita lihat pemicu kekerasan di dunia pendidikan, Elmore
dan Fuhrman (2001) menjelaskan karena tidak adanya sinergi antara lembaga
pendidikan, keluarga, dan masyarakat, maka terjadilah kekerasan. Padahal, tri
pusat pendidikan ada tiga, yaitu pendidikan dalam keluarga, sekolah dan
masyarakat. Ketiga entitas itu harus bersinergi dalam mendidik, membangun karakter
anak, dan mencegah kekerasan.
Kekerasan di sekolah ternyata tak hanya terjadi ketika masa orientasi, namun
sepanjang tahun dengan beragam modus, intensitas, dan pelaku. Data yang dirilis
Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukkan bahwa dari 1.026 responden, 87,6
persen anak mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah. Dari data
itu, 29,9 persen kekerasan dilakukan guru, 42,1 persen teman sekelas, dan 28,0
persen oleh teman lain kelas (Kompas, 11/8/2012). Karena itu, kurang bijak jika
hanya menghimpun problema tanpa menawarkan solusi atas kekerasan di dunia
pendidikan.
Solusi
Azyumardi Azra (2002) menjelaskan bahwa lembaga pendidikan telah gagal
membentuk karakter anak bangsa. Faktanya, banyak pelajar mengalami “demoralisasi”
perilaku. Nilai-nilai moral kemanusiaan dialpakan dalam kehidupan. Tak
mengherankan, jika kekerasan pelajar, pergaulan bebas, ketidakjujuran, makin
marak terjadi. Di luar sekolah, banyak pemuda terlibat kekerasan, kerusuhan,
tawuran antar-pelajar, kriminalitas dan aksi-aksi anarkis lainnya. Fenomena ini
harus segera diselesaikan.
Menurut penelitian yang dilakukan Rahmad H (2010), menjelaskan 67,9
persen pelajar SMA terlibat aksi kekerasan. Dari 100 remaja usia sekolah, 8 di
antaranya menggunakan narkoba dan obat-obat terlarang. Sedangkan 32 persen
remaja usia 14-18 tahun di tiga kota besar di Indonesia sudah terlibat hubungan
seks di luar nikah.
Untuk itu, ada beberapa solusi yang perlu dilakukan. Pertama, sinergi
antara keluarga, sekolah dan masyarakat. Selama ini, banyak orang tua yang
“apatis” terhadap pendidikan anaknya, mereka hanya pasrah kepada lembaga
pendidikan. Padahal, peran orang tua dan masyarakat sangat vital dalam pembentukan
karakter anak.
Kini kahadiran keluarga sangat dibutuhkan. Ketika lembaga pendidikan tak
lagi kondusif bagi penanaman nilai moral pelajar, maka keluarga harus segera mengambil
peran. Derasnya arus demoralisasi akibat gerak dinamika sosial budaya,
teknologi komunikasi dan informasi membawa efek negatif bagi pelajar. Karena
itu, keluarga harus agen untuk mencipakan kondisi ramah bagi penanaman
nilai-nilai moral anak.
Kedua, maksimalisasi sistem dan implementasi pendidikan karakter.
Pasalnya, selama ini banyak lembaga pendidikan yang “magel” (setengah matang) dalam menerapkan
pendidikan karakter. Prasetyo dalam buku “Guru: Mendidik Itu Melawan” (2005), menjelaskan kesuksesan
pendidikan karakter tergantung pada maksimalisasi pembelajaran di kelas, serta peran
guru dalam membangun pendidikan karakter.
Ketiga, pengendalin media massa atas tontonan yang berbau “kekerasan”,
seperti tawuran, demo anarkis, dan tayangan kekerasan lainnya. Karena itu,
komisi penyiaran Indonesia (KPI) harus bersinergi dengan kementerian pendidikan
dan kebudayaan (Kemendikbud)
Selain itu, pihak
sekolah harus melakukan sosialisasi tentang bentuk kekerasan, dampak, dan
penanganannya pada orang tua dan siswa. Pemerintah juga harus
mendorong sekolah berperan aktif mencegah, menangani, dan membuang kekerasan. Karena sesungguhnya, kekerasan,
kekejaman, anarkisme bukanlah budaya bangsa Indonesia.