This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday 27 August 2014

Desakralisasi Gelar Akademik


Oleh Dian Marta Wijayanti, SPd
Lulusan Terbaik Jurusan PGSD Unnes pada April 2013,
CPNS Formasi Guru SD Kota Semarang, Mahasiswi Pascasarjana Unnes
Dimuat Solopos, 07/03/2014.

Gelar akademik hakikatnya sakral dan tidak sekadar permainan, polesan dan “hasil membeli”. Sayangnya, dewasa ini banyak yang menyalahartikan gelar tersebut. Bahkan, tidak jarang menggunakan “gelar akademik” sebagai alat kejahatan, politik dan “ajang narsis” belaka.

Fenomena itu terjadi karena gelar hanya dijadikan sebagai “tujuan”, bukan alat untuk melakukan kebaikan lebih banyak lagi. Karena hanya dianggap sebagai tujuan, banyak orang yang menempuh berbagai cara untuk mendapatkan gelar yang dikehendaki. Pihak yang tidak bertanggungjawab juga banyak memanfaatkan “candu gelar” dengan menjual gelar akademik kepada orang-orang yang membutuhkan.

Gelar yang diperoleh dengan cara tidak semestinya tentu tidak akan barokah. Penyalahgunaan penggunaan gelar sering kali terjadi. Bahkan yang sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini adalah kasus Raja Dangdut Rhoma Irama. Gelar profesor yang disematkan kepada pedangdut Rhoma Irama seharusnya diuji penyetaraan terlebih dulu di dalam negeri. Jika ternyata gelar Rhoma tidak terbukti valid, menurut Mendikbud M Nuh, bisa saja Rhoma dipidana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Solopos, 27/02/2014).
Baru-baru ini, kasus Anggito Abimanyu yang mengundurkan diri sebagai dosen UGM atas kasus plagiarisme juga dapat dijadikan peringatan. Sebagai teladan, hendaknya dosen memberikan contoh baik, bukan sebaliknya seperti ini. Kasus tersebut mengisyaratkan bahwa gelar dosen pun harus disakralkan. Sehingga memperoleh gelar “doktor” dan “profesor” tidak dapat disamakan seperti proses pembuatan “mie instan” yang sekali rebus langsung jadi.
Pemerolehan titel tentu melalui proses panjang. Tidak tiba-tiba seseorang hadir sebagai “tokoh” dengan gelar yang tidak jelas asal-usulnya. Apalagi jika gelar tersebut diperoleh dari perguruan tinggi luar negeri. Tentu tanda tanya besar akan muncul di benak masyarakat. Kapan tokoh itu kuliah? Di mana beliau kuliah? Sudah baikkah akreditasi perguruan tinggi tempat tokoh itu belajar? Hal itu harus jelas legitimasi dan payung hukumnya.
Kasus lainnya, kenyataan “gila gelar” juga terjadi pada calon legislatif (caleg) Pemilu 2014. Dari baliho di pinggir jalan terlihat dari mereka yang memperlihatkan rentetan gelar. Bahkan, kelucuan terjadi ketika ada caleg yang menuliskan “kandidat doktor” pada balihonya. Kesombongan, kedangkalan berpikir dan ajang narsis dan terlihat dari  fenomena ini. Mereka yang jelas-jelas belum dinyatakan lulus berani-beraninya memamerkan gelar yang belum resmi untuk menarik suara masyarakat.
Gelar Akademik dan Amanah
Kondisi gelar dagelan sangat kontras dengan kondisi zaman dulu. Gelar akademik adalah sesuatu yang sakral dan mengandung amanah besar. Bahkan, banyak orang yang merasa takut ketika gelar sudah diberikan. Berani menggunakan gelar berarti siap mempertanggungjawabkan kompetensi sesuai bunyi gelar. Sehingga gelar yang digunakan seharusnya tidak hanya “gengsi-gengsian”, melainkan sebagai wujud kesiapan mengabdi pada bangsa dan negara.
Gelar tidak bisa terlepas dari amanah. Para tokoh dengan gelar tinggi seharusnya bisa menjadi teladan bagi masyarakat pada umumnya. Di negara ini, tokoh dianggap sebagai seseorang yang “luar biasa”. Dari kemampuan, tentu mereka yang bergelar tinggi mempunyai kemampuan lebih dibandingkan orang lain. Tapi, kenyataan menyalahgunaan gelar yang marak terjadi dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap perguruan tinggi. Ibarat pepatah “karena nila setitik rusak susu sebelanga”, tokoh-tokoh nakal telah menodai hakikat dan nilai sakral suatu gelar.
Andai saja semua yang bergelar “sarjana”, “magister”, “doktor”, dan “profesor” dapat menyatu dan bertanggungjawab pada masyarakat, tentu rakyat akan sangat menghargai gelar yang melekat. Sebenarnya bukan masalah “dihargai” atau “tidak dihargai”, tapi kepercayaan masyarakat terhadap kesakralan gelar perlu dihidupkan kembali. Jangan sampai amanah yang tertulis dan menyatu pada nama hanya sebatas “pantas-pantasan” atau “formalitas” saja.
Kualitas dari gelar itu yang harus diperbaiki. Tidak mustahil jika yang lulusan SMA lebih mahir dibandingkan lulusan sarjana maupun magister. Semua itu sangat mungkin terjadi karena adanya “keuletan” dan “kemauan keras” untuk menjadi lebih baik. Hal yang tidak ditinggalkan adalah “pertanggungjawaban” terhadap gelar yang dimiliki.
Harapan
Semakin banyaknya perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, diharapkan dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Dengan berbagai gelar di bidang pendidikan, ekonomi, hukum, humaniora dan sebagainya dari jenjang sarjana, magister, dan profesor diharapkan semuanya bertanggungjawab di bidangnya masing-masing. Tidak ada kesalahan ketika ahli pendidikan, ekonomi, hukum, budaya, seni mencalonkan diri sebagai perwakilan kursi legislative, namun mereka siap bekerja dan berjuang untuk aspirasi rakyat.
Penghayatan terhadap nilai-nilai spiritual perlu dikembangkan untuk menjadi manusia berkualitas. Dengan nilai spiritual, tentu manusia akan lebih menyadari bagian-bagian yang menjadi tugasnya. Karakter dapat berkembang sesuai lingkungan. Bisa jadi diawal seseorang memiliki karakter baik. Namun, ketika jabatan berada di genggaman, mata pun silau untuk menguasai hal-hal yang tidak menjadi haknya. Sehingga kejahatan akademik dengan penipuan gelar pun dilakukan, maka hal itu harus dicegah sedini mungkin.
Indonesia adalah negara besar dengan keanekaragaman. Nilai-nilai perbedaan yang mendasari jiwa kebangsaan hendaknya melekat pada sanubari orang-orang terdidik dengan gelar akademik yang disandangnya. Dengan menjadikan gelar sebagai alat menuju kebaikan, Indonesia akan menjadi negara unggul dengan SDM yang revolusioner. Gelar akademik akan tetap menjadi perihal yang “sakral” asal nilai spiritual menjadi bagian di dalamnya. Menjaga kesakralan gelar akademik adalah tanggung jawab kita bersama!

Masukkan Saja Pendidikan Seks dalam Kurikulum



Oleh Dian Marta Wijayanti SPd
Guru SDN Sampangan 01 Kota Semarang, Lulusan Terbaik PGSD Unnes 2013,
Direktur SMARTA School Semarang
Dimuat Koran Barometer 23 Mei 2014

Sebagai bahan refleksi, selama ini tak ada mata kuliah pendidikan seks untuk mahasiswa program kependidikan di kampus pencetak calon guru. Pasalnya, yang terjadi baru parsial dan sporadik, tersebar secara acak dan informal pada beberapa aktivitas diskusi, seminar dan sejenisnya.

Kasus pelecehan seksual yang banyak terjadi di sekolah memang menggelitik untuk dikritisi. Salah satunya adalah sudah siapkah para “aktor” di sekolah mengayomi dan mendidik siswa? Sementara banyak kelainan menggerogoti para pelaku nakal di sekolah.

Tampaknya hal seperti ini harus segera mendapat tanggapan dari Kemdikbud. Khususnya untuk memasukkan “pendidikan seks” di kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Pasalnya, pendidikan seks harus dipahami calon guru sebelum mereka terjun dan berhubungan intens dengan siswa di sekolah.
Tidak ada yang “tiba-tiba” untuk calon pencetak generasi penerus bangsa. Calon guru harus dicetak matang sampai tahap afeksi agar terhindar dari kasus yang akhir-akhir ini mencoreng wajah pendidikan Indonesia. Meskipun tampak agak berlebihan, pada kenyataannya “pendidikan seks” memang penting untuk diberikan. Bukan mengajari bagaimana cara mahasiswa (calon guru) memainkan seks, melainkan membuka mata hati calon guru untuk mengenal dan menanggapi seks secara “cerdas”.
Pendidikan Seks
Sebelum mendidik siswa di sekolah, calon guru harus mengenal dirinya terlebih dahulu. Calon guru harus paham bagaimana cara bersikap yang baik dan sopan tanpa membuat batasan berarti antara guru dan siswa. Jika hubungan antara guru dan siswa terlalu jauh tentu kurang baik. Guru dan siswa harus memiliki kedekatan batin agar tercipta kenyamanan selama pembelajaran. Namun, “kedekatan” dalam hal ini memiliki batasan-batasan tertentu. Terutama jika ada perbedaan gender antara guru dan siswa.
Guru harus paham sejauh mana dan dalam hal apa kedekatan antara guru dan siswa “boleh” dijalin. Pasalnya, hal itu sering dilalaikan ketika interaksi sudah terjalin. Maka dari itu pendidikan seks urgen diberikan di LPTK. Guru juga harus tahu bagaimana cara menjaga ucapan dan tindakan agar “pelecehan seksual” tidak terjadi di lingkup sekolah. Mengingat guru seharusnya menjadi contoh dan cahaya terang bagi siswa. Sangat tidak etis jika guru justru menjerumuskan masa depan siswa ke dalam lembah hitam.
Pendidikan seks di LPTK memang sudah terintegrasi dalam mata kuliah. Namun, belum ada mata kuliah khusus untuk konsentrasi pembahasan ini. Hanya beberapa dosen yang sudah menyentuh pendidikan seks di tengah perkuliahan. Selayaknya pendidikan kewirausahaan dan pendidikan antikorupsi yang dianggap urgen untuk direalisasikan, mata kuliah “pendidikan seks” juga dinantikan implementasinya.
Banyaknya orang tua yang mulai “was-was” merasa tidak tenang meninggalkan anaknya yang masih kecil di sekolah, jelas menunjukkan kepercayaan orang tua terhadap sekolah telah berkurang. Ujaran orang tua melarang anak-anaknya dekat dengan guru “laki-laki” (misalnya), merupakan “benteng” yang dibangun orang tua untuk menjaga anak-anaknya.
Jika kondisi seperti ini terus berlanjut, yang dikhawatirkan akan terjadi adalah tujuan pembelajaran tidak tercapai. Celah antara guru dan siswa menyebabkan guru “tidak bebas” mendidik anak-anak di sekolah. Artinya, peran guru dalam membimbing siswa menjadi serba terbatas karena tingkat “kecurigaan” orang tua yang terlalu tinggi. Padahal, tidak semua guru menjadi monster. Ibarat dibuat perbandingan, dari seribu guru belum tentu ada satu guru yang menderita “pedofilia”. Maka untuk menyelamatkan kepercayaan orang tua kepada sekolah, calon guru perlu mendapat pendidikan seks di LPTK.
Harapan
Indonesia butuh calon guru yang yang tidak hanya cerdas tapi juga beretika. Salah satu etika yang penting dimiliki untuk saat ini adalah menjauhkan diri dari tindakan pelecahan seksual. Berbagai kasus dapat dijadikan refleksi bagi calon guru dan guru atas pribadi masing-masing.
Meskipun terdengar agak “tabu”, ada harapan besar jika “pendidikan seks” dapat dimasukkan ke dalam kurikulum LPTK. Meskipunn hanya 2 atau 4 sks tentu mata kuliah “pendidikan seks” lebih berarti dibandingkan tidak ada sama sekali. Jika pendidikan seks telah dilaksanakan di LPTK, tentu calon guru telah memiliki bekal agar menghindarkan dirinya dari berbagai perilaku tidak layak.
Sebagai pelindung bagi anak didik, guru harus mampu menjauhkan diri dari status “pelaku pelecehan seksual”. Selain itu, guru juga dapat mengarahkan siswa agar terhindar dari monster-monster pedofilia. Karena bagaimana pun, seringkali “kesempatan” lebih banyak memancing para “pelaku” dibandingkan hanya sebatas “niat pelaku”.
Memberikan bekal kepada siswa untuk bersikap sopan dan menghargai diri sendiri harus ditanamkan sejak dini. Dengan menghargai diri sendiri, siswa agar menjaga ucapan, cara berbicara, cara berpakaian, serta polah perilaku.
Inti dari sebuah “pancingan” adalah ketika “kail” yang dilemparkan menarik tanpa pandang ukuran. Begitupula dengan pengidap pedofilia. Jika ada yang menarik, tentu mereka tertarik. Namun jika objek sasaran yang ada mampu menjaga diri tentu kesempatan untuk bersikap nakal akan berkurang.
Banyaknya kasus yang terungkap, membawa para aktivis pendidikan untuk segera mengambil tindakan agar tidak ada kasus-kasus serupa yang baru di negeri ini. Indonesia butuh “tindakan”, tidak hanya sekadar “rancangan”. Peran dari tokoh-tokoh ternama di negeri tentu akan membuat kebijakan-kebijakan baru dapat segera terealisasikan. Maka dari itu, perlu adanya dukungan agar pendidikan seks di LPTK dapat dipraktikkan dan membentuk generi calon pendidik yang berkualitas.
Pendidikan seks di LPTK merupakan salah satu alternatif solusi untuk secuill permasalahan yang dihadapi negara ini. Tetap bertahan dan melihat pelecehan seksual anak, atau melakukan usaha reseptif untuk mengurangi kasus-kasus pelecehan seksual di sekolah. Pendidikan seks di LPTK adalah harapan baru untuk pendidikan Indonesia.

Solusi Kekerasan dalam Pendidikan




Oleh Dian Marta Wijayanti, SPd
Guru SDN Sampangan 01 Semarang, Tim Assesor USAID Prioritas Jawa Tengah
Dimuat Koran Barometer 17 Mei 2014
Kekerasan di sekolah/kampus semakin meprihatinkan. Anak-anak sudah merasa jagoan seperti yang ada di dalam film dan ponsel mereka. Kekerasan paling rentan, selama ini adalah kekerasan di sekolah atau kampus, seperti kekerasan pada masa orientasi siswa (MOS) dan orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek). Meskipun MOS dan Ospek bersifat tahunan, namun sampai detik ini belum ada solusi cerdas menuntaskan kekerasan dalam pendidikan. Padahal, kekerasan dalam pendidikan hukumnya haram dan sangat dilarang tegas.

Kekerasan di dunia pendidikan harus dihentikan. Pemicu kekerasan bukan karena kegagalan pendidikan karakter saja, namun banyak faktor pemicu kekerasan. Arif Rohman (2005) menjelaskan kekerasan merupakan tindakan merugikan, seperti pembunuhan, penjarahan dan pemukulan. Kekerasan di sekolah/kampus biasanya musiman, seperti saat MOS dan Ospek.

Inti dari kekerasan adalah kerusakan bahkan kematian. Karena itu, semua sekolah dan kampus sangat mewanti-wanti para pelajar agar tidak bertindak anarkis. Pasalnya, sampai detik ini masih banyak kekerasan pelajar yang terjadi dengan berbagai bentuk dan modus.

Kekerasan dalam Pendidikan
Secara umum, kekerasan dibagi tiga macam, yakni kekerasan fisik, psikis, dan simbolik, baik terjadi secara kultural maupun struktural. Kekerasan di kampus tergolong kekerasan struktural. Artinya, dalam hal ini sekolah/kampus memberi kesempatan dan wewenang resmi kepada senior/panitia melakukan kekerasan kepada yunior. Maka, tak ayal jika senior melakukan kekerasan kepada yuniornya sebagai wujud eksistensi mereka.
Thomas Hobbes mengartikan kekerasan sebagai sesuatu alamiah yang dialami manusia. Menurutnya, manusia merupakan makhluk yang dikuasai dorongan irasional, anarkis, iri, serta benci, sehingga ia menjadi jahat, kasar, dan berpikir pendek. Jika kita lihat pemicu kekerasan di dunia pendidikan, Elmore dan Fuhrman (2001) menjelaskan karena tidak adanya sinergi antara lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat, maka terjadilah kekerasan. Padahal, tri pusat pendidikan ada tiga, yaitu pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga entitas itu harus bersinergi dalam mendidik, membangun karakter anak, dan mencegah kekerasan.
Kekerasan di sekolah ternyata tak hanya terjadi ketika masa orientasi, namun sepanjang tahun dengan beragam modus, intensitas, dan pelaku. Data yang dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukkan bahwa dari 1.026 responden, 87,6 persen anak mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah. Dari data itu, 29,9 persen kekerasan dilakukan guru, 42,1 persen teman sekelas, dan 28,0 persen oleh teman lain kelas (Kompas, 11/8/2012). Karena itu, kurang bijak jika hanya menghimpun problema tanpa menawarkan solusi atas kekerasan di dunia pendidikan.
Solusi
Azyumardi Azra (2002) menjelaskan bahwa lembaga pendidikan telah gagal membentuk karakter anak bangsa. Faktanya, banyak pelajar mengalami “demoralisasi” perilaku. Nilai-nilai moral kemanusiaan dialpakan dalam kehidupan. Tak mengherankan, jika kekerasan pelajar, pergaulan bebas, ketidakjujuran, makin marak terjadi. Di luar sekolah, banyak pemuda terlibat kekerasan, kerusuhan, tawuran antar-pelajar, kriminalitas dan aksi-aksi anarkis lainnya. Fenomena ini harus segera diselesaikan.
Menurut penelitian yang dilakukan Rahmad H (2010), menjelaskan 67,9 persen pelajar SMA terlibat aksi kekerasan. Dari 100 remaja usia sekolah, 8 di antaranya menggunakan narkoba dan obat-obat terlarang. Sedangkan 32 persen remaja usia 14-18 tahun di tiga kota besar di Indonesia sudah terlibat hubungan seks di luar nikah.
Untuk itu, ada beberapa solusi yang perlu dilakukan. Pertama, sinergi antara keluarga, sekolah dan masyarakat. Selama ini, banyak orang tua yang “apatis” terhadap pendidikan anaknya, mereka hanya pasrah kepada lembaga pendidikan. Padahal, peran orang tua dan masyarakat sangat vital dalam pembentukan karakter anak.
Kini kahadiran keluarga sangat dibutuhkan. Ketika lembaga pendidikan tak lagi kondusif bagi penanaman nilai moral pelajar, maka keluarga harus segera mengambil peran. Derasnya arus demoralisasi akibat gerak dinamika sosial budaya, teknologi komunikasi dan informasi membawa efek negatif bagi pelajar. Karena itu, keluarga harus agen untuk mencipakan kondisi ramah bagi penanaman nilai-nilai moral anak.
Kedua, maksimalisasi sistem dan implementasi pendidikan karakter. Pasalnya, selama ini banyak lembaga pendidikan yang “magel(setengah matang) dalam menerapkan pendidikan karakter. Prasetyo dalam buku Guru: Mendidik Itu Melawan (2005), menjelaskan kesuksesan pendidikan karakter tergantung pada maksimalisasi pembelajaran di kelas, serta peran guru dalam membangun pendidikan karakter.
Ketiga, pengendalin media massa atas tontonan yang berbau “kekerasan”, seperti tawuran, demo anarkis, dan tayangan kekerasan lainnya. Karena itu, komisi penyiaran Indonesia (KPI) harus bersinergi dengan kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud)
Selain itu, pihak sekolah harus melakukan sosialisasi tentang bentuk kekerasan, dampak, dan penanganannya pada orang tua dan siswa. Pemerintah juga harus mendorong sekolah berperan aktif mencegah, menangani, dan membuang kekerasan. Karena sesungguhnya, kekerasan, kekejaman, anarkisme bukanlah budaya bangsa Indonesia.

Optimalisasi Pendidikan dalam Keluarga




Oleh Dian Marta Wijayanti, SPd
Guru SDN Sampangan 01 Kota Semarang,
Tim Assesor EGRA USAID Prioritas Jawa Tengah
Dimuat Koran Barometer, Jumat 16 Mei 2014

Di acara puncak peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-21 pada 14 Juni 2014, Wakil Presiden Boediono menyatakan kualitas keluarga menunjukkan dan menentukan kualitas manusia. Kualitas manusia inilah nantinya yang akan menentukan kualitas bangsa Indonesia (Kompas, 15/6/2014). Ini penting dicermati. Khususnya bagi ibu dan bapak sebagai guru di keluarga. Mereka harus tahu bahwa di dalam keluarga itu terbentuk sistem pendidikan dalam keluarga yang perannya sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Menurut Wapres, berhasil atau tidaknya suatu bangsa sangat ditentukan oleh berhasil atau tidaknya membangun manusia keluarga yang berkualitas, sedangkan kualitas manusia ditentukan keterampilan dan pengetahuannya. Wapres juga mengajak kepada seluruh keluarga di Indonesia untuk memantapkan langkah menggerakkan kembali sejumlah program seperti Program Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga di Tanah Air.
Hal itu harus diteguhkan kembali. Pasalnya, jika program-program itu diarahkan untuk pengendalian jumlah penduduk dan pengaturan jarak kelahiran, peningkatan kualitas penduduk, hingga peningkatan pendapatan keluarga sejahtera dan pemberdayaan ekonomi keluarga melalui kegiatan bina keluarga yang meliputi balita, anak remaja dan lansia. Tak kalah penting adalah penerapan pendidikan dalam keluarga. Pasalnya, selama ini sekolah bernama keluarga masih dipandang sebalah mata.
Kak Seto atau Seto Mulyadi pernah menjelaskan bahwa pendidikan dalam keluarga dan peran orang tua sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Ini ilmu sederhana, namun jarang orang memahaminya. Karena saat ini, masyarakat hanya mengandalkan pendidikan formal saja. Padahal, pendidikan itu terbagi tiga, yaitu pendidikan dalam keluarga, di sekolah dan pendidikan di masyarakat.
Memang logis, selain faktor kesibukan dan pengetahuan, orang tua memang lebih simpel dan mudah mendidik anaknya lewat pendidikan formal. Kebiasaan para orangtua dalam memberikan pendidikan bagi anaknya sejak kecil, akan berdampak langsung bagi perkembangan daya pikir dan karakter sang anak kelak. Sebab setiap manusia pasti akan mengingat dan selalu melakukan hal pertamakali ia kenal, terutama apa yang diajarkan orangtuanya di rumah.
Pendidikan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan bagi manusia untuk pertama kali mengenal interaksi dengan manusia lain. Pendidikan informal ala keluarga, senantiasa diberikan orangtua kepada anaknya agar sang anak kelak memiliki bekal ketika menginjak pendidikan formal yang diajarkan di sekolah. Banyak hal diberikan orangtua kita tentang yang wajar kita ketahui dan lakukan sejak kita kecil. Membaca doa, berhitung, mengenali benda di sekitar kita, hingga baca tulis juga kerap dikenalkan orangtua kepada anaknya meskipun sang anak masih berusia belia.
Adolf Hitler (1889-1945) juga menyarankan bahwa ketika ada kediktatoran pemerintah maupun birokrat, maka rakyat harus mendaulatnya sendiri. Artinya, jika pemerintah tak mampu menyekolahkan anak, maka merekalah yang harus siap menjadi guru bagi anak-anaknya. Jika didikan dari kecil kepada anak diberikan dengan baik dan sesuai dengan apa yang seharusnya mereka dapatkan, niscaya hal itulah yang akan menjadi cerminan baginya ke depan dalam menjalani kehidupan di tengah masyarakat.
Jika didikan yang diberikan orangtua kepada anaknya jauh dari norma kesopanan, kesusilaan, bahkan norma agama, percayalah, si anak kelak akan kurang terbiasa dalam menjalani kehidupan yang berorientasi pada kesopanan maupun nilai-nilai agama. Apabila  kita cermati lebih jauh lagi, sesungguhnya karakter yang selalu dimiliki oleh manusia merupakan cerminan bagaimana mereka dididik oleh orangtuanya jauh sebelum mereka menginjak bangku sekolahan.
Memang tidak bisa kita pungkiri, peran guru juga berpengaruh dalam memberikan pengetahuan kepada siswanya dalam menunjang kecerdasan dan membantuk karakter siswa, namun yang tidak boleh kita lupakan adalah pendidikan ala keluarga yang sebenarnya lebih dominan dalam membentuk karakter anak di masa datang. Ketika anak sewaktu kecil senantiasa dihadapkan pada keributan yang dilakukan oleh orangtuanya, maka mental pembangkang dan bengal akan terpatri dalam jiwanya karena ia kurang mengenal dunia kasih sayang akibat orangtuanya selalu bertengkar. Baginya, pertengkaran merupakan hal yang lumrah dan dibenarkan karena orang terdekatnya saja selalu melakukan hal itu bahkan di hadapannya.
Akan tetapi, apabila orang tua selalu menunjukan sikap harmonis dan penuh kasih sayang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, maka anak tersebut akan memiliki mental yang penuh dengan cinta kasih dalam menjalankan kehidupannya kerana ia menganggap hanya dengan kasih sayanglah kehidupan ini harus dilalui sebagaimana yang ia lihat kehidupan keluarganya dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap kejujuran yang ditanamkan oleh orangtua sejak si anak kecil, juga akan berdampak panjang dalam hidupnya karena baginya melakukan kebohongan merupakan hal yang tabu karena tidak pernah diajarkan dan sangat takut pada sanksi yang akan didapat karena memang tidak pernah melakukan sebelumnya. Menanamkan sikap jujur inilah yang sangat berat dilakukan sebagian orangtua kepada anak karena orangtua terkadang masih suka silap sehingga harus melakukan kebohongan kepada anak.
Sikap tidak terpuji ini sangat mungkin dilakukan juga oleh si anak, karena mereka menganggap, ternyata kebohongan juga sudah menjadi hal lumrah dilakukan orangtuanya dan tidak ada sanksi yang besar yang akan didapat orang yang melakukan kebohongan. Di sini, memang kelihaian orangtua dalam mendidik anak benar-benar diuji. Apalagi, jika orangtua tersebut tidak terbiasa dalam melakukan hal positif dalam hidupnya, maka akan sangat berat untuk mananamkan karakter positif kepada anak.
Optimalisasi
Dalam menjalani kehidupan, kita pasti dihadapkan dengan lingkungan yang dihuni oleh manusia dengan beragam karakter. Karakter itu terbentuk sejak ia masih kecil dan merupakan cerminan dari didikan dalam lingkungan keluarga. Apabila seorang anak selalu diajak beribadah secara rutin oleh orangtuanya, sangat kecil kemungkinan anak tersebut akan menjadi manusia yang jauh dari nilai-nilai agama. 
Namun, apabila si anak tidak pernah diajak orangtua mengingat Tuhan dengan cara beribadah secara rutin, atau bahkan tidak pernah melihat orangtuanya beribadah, kelak anak tersebut akan menganggap, beribadah kepada Tuhan bukanlah kewajiban yang harus dilakukan secara mutlak meskipun telah dianjurkan sewaktu ia duduk di sekolah karena ia menganggap meninggalkan ibadah adalah hal yang wajar sebagaimana yang dilakukan orang tuanya di rumah.
Bahkan, hal terkacil mengenai nilai kesopanan, juga harus ditanamkan keluarga dalam membentuk karakter anak. Memberikan salam kepada orang lain atau jika hendak masuk rumah hari ini sudah tidak lagi populer di lingkungan kita, karena penanaman nilai kesopanan memang perlahan semakin minim diberikan para orangtua masa kini.
Sangat urgen pengaruh dari pendidikan dalam lingkungan keluarga dalam membentuk karakter dan sifat anak dalam menjalankan kehidupan. Terkadang, kita sering sepele dengan apa yang kita lakukan terhadap anak yang masih belia dan bagaimana cara kita mendidik mereka. Kita tidak sadar bahwa didikan lingkungan keluarga sejak kecil itulah yang akan mendominasi pembentukan sikap dan karakter setiap manusia.
Kita masih ingat jika dahulu, budaya mengaji masih sangat kental diterapkan kepada anak-anak. Maka wajar jika nilai-nilai agama sangat kuat tertanam hingga ke tataran pemerintahan, karena sejak kecil mereka yang menjadi penerus peradaban memang sudah akrab dengan nilai agama. Sudah saatnya pendidikan dalam keluarga dilakukan dengan optimal

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More