This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, 1 April 2020

Menghidupkan Pilar Literasi


SELAMA ini gerakan literasi menggaung di mana-mana. Apalagi, Kemendikbud sejak awal 2017 mengajak masyarakat menyukseskan gerakan literasi nasional, gerakan literasi sekolah, dan literasi keluarga. Akan tetapi, pemakaian literasi sekadar membaca, padahal menurut Phoenix (2017) terbagi atas tiga pilar literasi, yaitu membaca, menulis, dan pengarsipan. Selain membaca dan menulis, pengarsipan harus diutamakan, baik dari sisi penulisan, percetakan, maupun penyebaran di pelosok-pelosok. Tanpa buku, pilar literasi akan pincang karena buku menjadi 'pengikat' ilmu pengetahuan. April dan Mei menjadi momentum menggerakkan minat baca. Kita merayakan Hari Buku Sedunia (National World Book Day) pada 23 April dan Hari Buku Nasional pada 17 Mei 2017 ini. Momentum ini menjadi refleksi bersama bahwa membaca itu penting. Kedua peringatan ini harus menjadi momentum melestarikan pilar literasi.

Di zaman global sangat susah mengajak anak mencintai buku. Padahal, buku menjadi 'arsip pengetahuan' yang menyimpan ribuan 'mahkota kehidupan'. Jangankan pelajar, para guru juga sedikit yang cinta buku dan literasi. Era digital mendorong masyarakat bermanjaan dengan media sosial, gadget, gim daring, televisi, dan lainnya. Tidak mengherankan jika saat ini sulit ditemukan pelajar dan guru yang benar-benar 'kutu buku'. Padahal, guru benar-benar 'menjadi guru' ketika ia menjadi 'kutu buku' karena memuliakan ilmu pengetahuan.

Minimnya budaya membaca di Indonesia memperburuk kualitas pendidikan. Catatan UNESCO pada 2012 menempatkan indeks membaca bangsa Indonesia hanya 0,001. Artinya, di antara 1.000 orang hanya satu orang yang membaca serius (Kompas, 24/3/2017). Data USAID Prioritas juga menunjukkan minimnya budaya baca karena sampai 2017 RI masih di peringkat 60 dari 61 negara yang minat bacanya rendah.

Ironis jika budaya baca terkikis karena pengaruh modernisasi. Kita sekarang seperti berada di zaman prasejarah di saat orang belum mengenal 'tulisan' dan buta literasi lantaran malas membaca. Padahal, saat ini kita berada di era digital, milenium, modern, tetapi mengapa justru malas membaca? Pergeseran zaman memengaruhi budaya ilmiah. Jika dulu orang bangga punya 'banyak buku' berjubel di rak-rak rumah, saat ini tidak demikian. Orang lebih bangga punya alat-alat modern daripada buku. Tidak hanya kalangan biasa, tetapi juga kaum terdidik.

Di tiap sekolah dan kampus, hampir semuanya berdiri perpustakaan. Namun, isinya monoton, koleksinya tak berganti, katalognya dan pengurusnya tak jelas. Jangankan dikunjungi siswa, pengelolanya saja hanya formalitas. Jika perpustakaan mati, di mana kita bisa mencari referensi? Apakah di internet yang kebenarannya hanya terjamin 75%? Apalagi sekarang semua artikel di internet hanya bergantung pada keyword (kata kunci) dan viewer (pengunjung). Mencintai buku bukan berarti menolak sumber literasi modern seperti medsos. Guru harus tahu porsi kapan bermedsos. Tanpa punya takaran rinci, guru pasti tak bisa cerdas karena kurangnya intensitas membaca ilmiah. Gadget menjadikan manusia seperti mesin. Meski banyak aplikasi bermanfaat, kecenderungan 'berlebihan' selalu dilakukan.

Selain memberi contoh tak baik, hal itu membuat siswa 'menyepelekan guru', terutama di kota-kota besar. Pengalaman penulis, daya kritis anak-anak SD di kota sangat tinggi. Mereka 'dewasa dini' karena pertumbuhan psikis dan mental lebih cepat daripada akselerasi siswa di desa-desa. Jika guru suka main-main gadget di kelas, hal itu justru memperburuk citra guru sebagai sosok yang harus 'digugu' dan 'ditiru'. Guru harus menjadi kiblat budaya baca dan menjadi kutu buku, bukan sebaliknya.

Genjot minat baca

Tidak hanya membaca dan menulis, pengarsipan menjadi hal urgen dalam menjaga ilmu pengetahuan. Lewat arsip berupa buku, majalah, koran, ilmu akan abadi dan menyejarah. Jika kaum terdidik sadar akan pentingnya budaya literasi, penulis yakin kualitas pendidikan kita pasti tidak tertinggal oleh negara sekaliber Finlandia, Jepang, dan AS. Guru harusnya tidak sekadar membaca buku pelajaran, tetapi juga buku-buku literatur ilmiah, buku pemikiran, novel, antologi cerpen/puisi, dan lainnya. Guru itu sumber informasi, ilmu, serta sumber moral. Jika guru wawasannya sempit, bagaimana bisa mencetak generasi cerdas? Tentu susah.

Saat menjadi asesor Early Grade Reading Assessment (EGRA) USAID Prioritas, penulis menemukan intensitas membaca sangat didukung kepemilikan buku dan jadwal baca. Khusus di sekolah, meski ada perpustakaan sekolah, perlu dibuat kebijakan 'jam baca'. Artinya, tiap hari harus ada jam baca bagi anak-anak. Jika maksimal, mereka bisa melahap 30 sampai 50 buku per bulan bahkan bisa ratusan buku. Meskipun ada dokumen daring, secara fisik lebih nyaman membaca buku, koran, dan majalah. Maka memiliki 'banyak buku' bagi guru dan pelajar hukumnya wajib. Bayangkan saja, satu kali membeli kuota internet sebulan, bahkan sebulan dua kali bisa mencapai Rp50 ribu-Rp300 ribu. Jumlah itu jika dibelanjakan buku bisa mendapat puluhan buku.

Buku bagi guru adalah 'kekayaan termahal' daripada harta benda. Mentradisikan budaya baca sangat penting. Selain menambah oasis pengetahuan, membaca bisa mencetak pola pikir yang 'punya karakter'. Apalagi guru sehari-hari dihadapkan dengan siswa yang majemuk. Maka rajin membaca, punya banyak buku, menjadi kutu buku hukumnya wajib bagi guru. Jika guru kualitasnya rendah, bagaimana siswanya? Pasti rendah. Sudah saatnya guru menjadi kutu buku. Tidak perlu jauh-jauh, minimal dimulai dari sendiri untuk mencetak kutu buku. Membaca buku sangat berbeda dengan membaca artikel di internet yang parsial, bahkan datanya tidak valid. Meski saat ini era global, buku tetaplah 'harta' termahal dalam kehidupan. 

Dian Marta Wijayanti  ;   PNS Dinas Pendidikan Kota Semarang;
Mantan Asesor EGRA USAID Prioritas
                                               MEDIA INDONESIA, 17 Mei 2017



                                                           

Gaji Humanis Guru

Gaji Humanis Guru
Dian Marta Wijayanti ;  Guru SDN Sampangan 1 UPTD Gajahmungkur, Semarang
                                                     DETIKNEWS, 13 Juni 2017



                                                           
Saat wawancara seleksi penerimaan guru, hal sensitif dan urgen yang ditanyakan selain latar belakang pendidikan, pengalaman dan komitmen kerja adalah gaji. Tidak hanya berpengaruh terhadap kinerja, gaji juga berdampak pada keikhlasan guru mendidik. Sebab, gaji yang rata-rata diterapkan di sekolah swasta maupun negeri saat ini masih jauh dari standardisasi Upah Minimun Kabupaten/Kota (UMK), kecuali Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Banyak sarjana pendidikan "banting setir" melakoni pekerjaan selain guru lantaran gaji yang "tidak humanis". Tidak hanya yang berstatus Guru Tetap Yayasan (GTY), namun Guru Tidak Tetap (GTT) di sekolah negeri juga sama. Mereka mendapatkan gaji "tidak layak" bahkan jauh di bawah kebutuhan hidup.

Banyak juga sarjana pendidikan bertahan menjadi GTT puluhan tahun karena beberapa hal. Mulai dari "mengejar status" agar tidak dicap "sarjana pengangguran", motivasi diangkat jadi PNS sampai orientasi mendapat sertifikasi.

Kondisi ini sangat kontras dengan tuntutan pemerintah, karena di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini guru dituntut memenuhi standar pendidikan internasional. Ditambah lagi beban guru menerapkan Kurikulum 2013 yang ditargetkan Kemendikbud rampung pada 2020 mendatang. Dengan gaji yang tidak humanis itu, sangat irasional jika tuntutan mereka sama dengan yang PNS.

Standar UMK

Gaji GTT di sejumlah daerah yang belum menerapkan UMK hanya sekitar Rp 500 ribu bahkan Rp 250 ribu per bulan. Uang sebesar itu jika digunakan membeli bensin dan pulsa saja kurang, apalagi untuk kebutuhan sandang, pangan dan papan, tentu sangat kurang.

Tidak heran banyak GTT melakukan "kerja sampingan" demi menyambung kebutuhan hidup. Mereka rela dan tidak malu jualan pulsa, tiket, bisnis baju, makanan, hingga menjadi penjaga warnet. Dikarenakan mereka "nyambi" bisnis, maka pembelajaran di sekolah tidak fokus dan ujungnya pasti pada kualitas pendidikan.

Kondisi ini harus menjadi renungan bersama bahwa kualitas pendidikan Indonesia akan stagnan jika kondisi GTT tidak segera dibenahi. Sebab, gaji mereka tidak sebanding dengan tugas administratif, dan tugas utama sesuai Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) tahun 2005.

Jika dibandingkan dengan upah buruh pabrik sangat jauh rentangnya. Buruh pabrik yang kebanyakan lulusan SMP bahkan SD, digaji sesuai standar UMK, namun guru yang lulusan sarjana hanya digaji di bawah UMK. Padahal, tuntutannya lebih banyak guru dibandingkan dengan buruh.

Buruh pabrik bekerja hanya modal fisik. Guru selain modal fisik, juga pikiran, "jiwa" dan mental. Sebab, sedikit saja guru salah menstranfer ilmu, maka sama saja guru "menyesatkan" anak-anak didik. Namun, mengapa gaji mereka di bawah UMK?

Di Jawa Tengah sendiri sudah banyak yang menerapkan sistem UMK, terutama bagi sekolah negeri. Namun, fakta di lapangan, gaji itu juga menjadi masalah karena cairnya tiga bulan sekali. Kondisi ini membuat sekolah harus nalangi (mengganti) dengan uang dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Padahal tanpa GTT, kegiatan belajar mengajar di sekolah pasti kacau, apalagi jumlah PNS di sekolah semakin berkurang karena banyaknya guru pensiun dan adanya moratorium pengangkatan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Gaji Humanis

Salah satu profesi yang tidak "neko-neko" dan menuntut pemerintah adalah guru. Selain taat aturan, tidak ada guru "membangkang" aturan. Apalagi, ia menjadi anutan yang "digugu" dan "ditiru" bagi anak didik dan masyarakat. Dengan gaji yang "tidak humanis" itu, harus ada solusi dan terobosan baru agar nasib guru semakin baik.

Pertama, penetapan gaji sesuai UMK, baik untuk GTT maupun GTY. Sebab, banyak guru digaji dengan pola "jihad" dan "gaji malaikatan" alias ala kadarnya. Pola seperti ini membuat guru tidak interes dengan pekerjaannya. Padahal, kunci utama guru mendidik adalah "mencintai" pekerjaannya. Jika guru tidak cinta pekerjaannya, pembelajaran pasti setengah hati.

Kedua, sistem pencairan gaji UMK harus per bulan. Sebab, jika rapel tiga bulan akan berdampak pada pengelolaan dan LPJ dana BOS. Para GTT juga kebingungan jika gajinya keluar tiga bulan sekali, karena tiap hari mereka juga butuh makan.

Ketiga, pengangkatan GTT menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) harus diperjelas. Meski target pengangkatan berkala pada kurun 2016-2019, namun sampai saat ini juga masih dipertanyakan. Padahal, PPPK menjadi bagian dari ASN yang sudah diatur UU Nomor 51 tahun 2014.

Apalagi, menurut Kemendikbud di sekolah negeri ada 647.755 GTT. Kemendikbud juga memprediksi, jumlah guru PNS pensiun pada kurun 2016-2020 sekitar 316.535, atau 62.000 guru pensiun per tahun. Sesuai Dapodik 2016, ada kekurangan 550.604 guru tetap di jenjang SD, SMP dan SMA, sementara SMK kekurangan 91.000 guru (Kompas, 21/3/2017). Kondisi ini harus dijawab pemerintah agar rasio kebutuhan guru terpenuhi.

Solusi terakhir adalah "menghapus" moratorium. Syaratnya, menyelenggarakan seleksi CPNS dengan mengutamakan GTT yang berpuluh-puluh tahun mengabdi. Sebab, selama ini perekrutan guru CPNS hanya sekitar 25-50 orang per kabupaten/kota. Artinya, rasio guru pensiun dengan yang diangkat PNS tak seimbang.

Guru harus digaji secara humanis, dan jangan kaitkan antara "gaji humanis" dengan "kesejahteraan". Pasalnya, kesejahteraan posisinya di atas gaji humanis. Tidak ada guru yang "menuntut kesejahteraan", yang ada guru ingin digaji humanis layaknya profesi lain. Adapun kesejahteraan itu hanya "bonus" ketika sudah sertifikasi.

Jika tidak digaji secara humanis, penulis yakin kondisi pendidikan akan tertinggal bahkan makin terbelakang. Sebab, hanya guru yang bisa --dan berada di garda terdepan dalam upaya-- memajukan kualitas SDM dan majunya bangsa.

Keluarga Ramah Gawai




                                                          
Di era milenial ini hampir semua anak, remaja, pelajar usia SD/MI, sampai SMA/SMK/MA terbiasa dengan penggunaan gadget (gawai) seperti ponsel pintar dan tablet. Benda ajaib ini memungkinkan mereka untuk mengakses berbagai informasi, permainan, atau berbagai aplikasi yang bisa mendidik atau membodohkan. Pemakaian gawai akan bermanfaat jika tepat dan benar, begitu juga sebaliknya. Pemakaian gawai berlebihan akan berbahaya jika tidak dikawal serius. Tidak semua keluarga bisa mengelola anak untuk memanfaatkan gawai dengan tepat dan benar. Orangtua kebanyakan cenderung memanjakan anak-anak dengan mengizinkan mereka menghabiskan waktu dengan gawai asalkan mereka diam dan tidak menyulitkan saat berada di rumah.

Tak dapat dimungkiri, keluarga berperan penting menjadi 'rumah belajar' yang tidak sekadar mengajarkan pengetahuan kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Pada titik ini anggota keluarga terutama bapak dan ibu harus bisa menjadikan keluarga ramah gawai. Sudah terlalu banyak korban penggunaan gawai tanpa pengelolaan dan bimbingan yang memadai, hanya mengonsumsi berita hoaks (bohong), palsu, ujaran kebencian, pornografi anak, bahkan perundungan siber. Maka dari itu, sebagai lingkungan pertama untuk mencerdaskan bangsa, keluarga harus ramah gawai dan orangtua harus paham posisi mereka. Dengan kata lain, keluarga tidak sekadar menjadi 'madrasah pertama', tapi juga harus menjadi 'madrasah utama' bagi anak-anak.

Dalam bayangan gawai

Berdasarkan statistik pengguna internet Indonesia, Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) mengklasifikasikan sembilan kategori usia dari anak-anak hingga orangtua. Hasilnya, generasi produktif umur 25-29 tahun teratas dengan jumlah 24 juta. Angka 24 juta tersebut disaingi pengguna internet di kisaran usia 35-39 tahun.

Kemudian disusul 30-34 tahun mencapai 23,3 juta. Di bawahnya usia 20-24 tahun (22,3 juta), 40-44 tahun (16,9 juta), 15-19 tahun (12,5 juta), 45-49 tahun (7,2 juta), 50 tahun ke atas (1,5 juta), dan 10-14 tahun dengan 768 ribu. Dari data tersebut tampak anak-anak usia 10-15 tahun telah menjadi bagian dunia gawai dan internet. Bisa dipastikan, masa depan mereka dalam bahaya jika waktu mereka habis digunakan untuk berselancar di dunia maya tanpa pengawalan yang baik.

Sementara itu, riset Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Unicef mengenai perilaku anak dan remaja dalam menggunakan internet juga harus diperhatikan. Berdasarkan survei terhadap 2.500 orangtua di Singapura, Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Filipina, beberapa temuan yang menarik ialah 98% responden memperbolehkan anak menggunakan ponsel pintar/tablet (Kominfo.go.id, 18/2/2014). Data itu menunjukkan, kebanyakan orangtua masih belum memahami betapa gawai bisa merugikan anak jika tidak dikelola.

Pengelolaan penggunaan gawai tidak berarti keluarga harus antigawai, tapi penggunaan gawai harus dibatasi, dikawal serius dalam rangka menyelamatkan anak-anak dari konten negatif di internet. Penggunaan gawai pada anak-anak, pelajar/mahasiswa harus dikelola dengan baik, apalagi anak-anak di bawah umur seharusnya menghabiskan waktu mereka untuk belajar, membaca buku, atau bermain layaknya anak-anak. Dalam praktiknya, saat berada di rumah, sering kali kita menemukan anak-anak yang menghabiskan waktu dengan bermain gawai tanpa ada kontrol dan batas tertentu sehingga mereka menjadi generasi yang sangat bergantung atau bahkan menunjukkan gejala kecanduan gawai. Dalam situasi semacam ini, keluarga seharusnya menjadi pemutus mata rantai pertama terhadap penggunaan gawai berlebihan.

Ramah gawai

Di era Revolusi Industri 4.0 ini, masyarakat tidak didorong memahami literasi lama yang menekankan keterampilan membaca, menulis, dan matematika, tetapi harus memahami 'literasi baru' yang menekankan aspek literasi data, teknologi, dan literasi sumber daya manusia (SDM). Artinya, pembatasan gawai pada anak sangat mendukung agenda pemerintah yang mendorong penguatan literasi.

Selama ini kita masih menerapkan literasi lama yang sekadar membaca, menulis, dan berhitung. Akan tetapi, literasi baru menjadi gagasan bernas yang harus diimplementasikan dalam keluarga. Sebabnya, keluarga yang peduli terhadap pemakaian gawai ialah mereka yang peduli terhadap masa depan anak. Artinya, perhatian pada masalah gawai tidak hanya urusan konten negatif, tetapi juga pada berbagai dampak lainnya seperti kecanduan gawai, pengaruh radiasi gawai, efek pada mata, dan kesehatan anak pada umumnya.

Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan dalam keluarga sangat ditentukan seberapa lama anak-anak membaca buku, diskusi, berinteraksi dan berdialog dengan keluarga jika dibandingkan dengan bermain gawai. Anak-anak sekarang mulai tercerabut dari permainan tradisional, awam dengan dongeng-dongeng tradisional, serta kisah nabi-nabi dan wali karena mereka 'terasing' dari khazanah budaya tersebut.

Pemerintah, melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Pendidikan, sesungguhnya telah berusaha memberikan perhatian serius untuk mewujudkan iklim keluarga ramah gawai bagi anak-anak. Oleh karena itu, ada beberapa pokok pekerjaan berat yang harus dilakukan.

Pertama, keluarga harus memahami peran, fungsi, dan tugas sebagai 'sekolah pertama' dan 'utama' bagi anak-anak. Namanya sekolah tidak harus berseragam, tapi di rumah, anak-anak harus menemukan surganya. Mereka bisa bebas bermain, belajar, guyonan, dan juga menghabiskan waktu untuk mediasi, curhat, dan bermesraan dengan orangtua tanpa harus menggunakan gawai.

Kedua, harus ada sinergi antara keluarga, sekolah, guru, dan tetangga untuk mendukung anak-anak harus dikawal dalam penggunaan gawai. Ketiga, perlu adanya pemahaman untuk mendesain 'gawai edukasi' yang berorientasi pada sisi positif dalam konsumsi gawai pada anak-anak. Keempat, wacana pemerintah yang akan membatasi penggunaan gawai pada anak untuk mengurangi risiko anak terjerumus hal-hal negatif dan kecanduan gawai harus didukung. Apalagi, wacana pembatasan tersebut akan segera dibuat peraturannya dalam surat keputusan bersama menteri, yaitu Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri PPPA, serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Media Indonesia, 3/3/2018).

Pada intinya, iklim ramah gawai dimulai dari keluarga. Sebab, jika anak-anak terlalu dimanjakan untuk menghabiskan seluruh waktunya dengan bermain gawai, cenderung akan menjadi generasi yang bergantung dan kecanduan gawai. Artinya, sudah saatnya keluarga memahami hal itu untuk mendukung kesuksesan anak-anak dalam belajar. Sebabnya, tanpa ada bimbingan dan pengawalan, sangat ironis jika masa depan mereka direnggut dan dihancurkan gawai yang semestinya juga bisa membawa mereka meraih masa depan.

Keluarga ramah gawai memang bukan satu-satunya solusi bagi segala masalah belajar anak, melainkan kesuksesan anak bisa berawal dari sana. Semua orangtua yang mendukung masa depan anak pasti menjauhkan mereka dari penggunaan gawai yang berlebihan atau mengelola dan membimbing penggunaannya. Bukankah hakikat gawai pintar seharusnya 'mencerdaskan' dan bukan merusak? Jika membiarkan anak dengan gawai tanpa pengelolaan, kontrol, dan bimbingan, apakah itu bukti peduli terhadap anak? 
Tulisan ini pernah dimuat di Media Indonesia 9 April 2018

Sunday, 23 December 2018

Tips Lulus PPG

Tantangan guru semakin besar, termasuk untuk mendapatkan sertifikat pendidik. Jika dulu kita menenal istilah PLPG untuk memperoleh sertifikat pendidik guru, saat ini munculah istilah baru yang disebut PPG. PPG adalah Pendidikan Profesi Guru yang berada di bawah Ristekdikti

Sunday, 2 December 2018

Kembali Setelah 4 tahun Menghilang

Hallo sahabat blogger,
Setelah 4 tahun menghilang dari blog ini. Dian datang lagi nih. Yah, namanya juga sudah 4 tahun. Pastinya sudah banyak yang terlewati dalam kurun waktu selama itu.
Oke sobat, saat ini saya masih mengajar di sekolah yang sama yaitu di SDN Sampangan 01. Saat ini saya mengajar kelas 5 dengan menerapkan kurikulum hebat yaitu kurikulum 2013.
Dalam penerapan kurikulum ini guru memang nggak boleh santai-santai lagi ya. Administrasi kelas semakin banyak, apalagi lembar penilaiannya. Hmmm, pastinya semakin ribet karena harus mencakup ranah koginif, afektif, dan psikomotorik.
Untuk penilaian KD 1 dan KD biasanya saya menggunakan jjurnal harian. Jadi ya hanya yang penting-penting saja yang saya tulis pada jurnal tersebut. Jadi nanti saat mengisi rapor pun nggak ribet apalagi kalau kita pakai aplikasi. Ketika tidak diisi kan otomatis nilai anak akan keluar "B". Sementara anak-anak yang "kurang" maupun yang "hiper" nilainya akan muncul berbeda dari mereka yang kita kosongi nilainya.
Untuk pengetahuan saya buat daftar nilai sendiri. Ya, saya lebih suka pakai buku kwarto yang digrasi-garis. Meskipun dianggap nggak kekinian tapi saya enjoy dengan daftar nilai saya. Nggak mungkin juga kan nilai langsung masuk excel. Kalau ada monitoring masa' iya pengawasnya diminta lihat di laptop. haha ... Atau kalau file kemakan virus kan bakal galau banget tuh nantinya. So, saya tetap pakai manuak. Adapun KD 4 saya menggunakan lembar penilaian menyerupai KD 3. Memang saya tidak membuat penilaian seribet yang di buku guru karena menurut saya ya ... beberapa ada yang susah diikuti apalagi siswa di kelas saya cukup gemuk jumlahnya.
But, bagaimanapun bentuknya menurut saya tidak ada yang salah. yang salah itu kalau si guru nggak punya daftar nilai atau tidak mau menilai. haha
Semangat mengajar Bapak Ibu Guru
Guru Mulia Karena Karya
:-)

Sunday, 15 February 2015

Gladi Bersih Prajabatan Golongan III Angkatan III CPNS Kota Semarang

Ini adalah hari pertama kami memasuki asrama diklat prajabatan bagi CPNS Golongan III Gelombang III Kota Semarang. Bertempat di Jalan Fatmawati No 73 Kota Semarang, kami bersinergi untuk masuk bersama dan lulus bersama.
Kegiatan dimulai pukul 09.00. Dengan seragam atasan berwarna putih polos dan bawahan gelap, dilengkapi dasi hitam di leher kami terlihat layaknya "siswa". Ya, di sini kami memang berstatus sebagai siswa. Maka dari itu, kedisiplinan adalah unsur utama yang harus kami bertanggung jawabkan sampai kegiatan prajabatan ini usai.
Panitia menjadwalkan kegiatan prajabatan dimulai dari tanggal 16 Februari-26 Maret 2015. Kegiatannya memang lebih lama dibandingkan diklat bagi tenaga honorer. Maklum saja, kami yang berasal dari formasi umum memang belum begitu banyak pengalaman dibandingkan para senior yang sudah bertahun-tahun mengabdikan diri di lingkungan kerja.
Sebagai peserta diklat yang hamil tua. Saya sangat bahagia karena teman-teman dan panitia sangat menghargai dan mengerti kondisi saya. Insya Allah saya akan mengikuti kegiatan ini sebaik mungkin. Sesuai slogan yang bersama-sama kami usung "KOMPAK, SEHAT, SUKSES"
Insya Allah dengan rasa bahagia, ikhlas, tidak stres, dan tidak terbebani. semua ini akan menjadi berkah :-)
Sampai jumpa dicerita berikutnya.
:-)
Salam semangat :-)

Saturday, 29 November 2014

Buku Siapkah Saya Menjadi Guru SD Revolusioner?

Guru SD selama saya hidup, masih jarang yang menulis buku. Jangankan guru SD, banyak dosen dan doktor di negeri ini masih miskin karya. Ya, lewat semangat mengubah pola pikir, saya menuangkan ide dalam buku Siapkah Saya Menjadi Guru SD Revolusioner ini dengan berbagai macam sudut pandang.

Bab pertama, berisi PGSD sebagai embrio guru SD. Bab kedua, berisi konsep, wacana dan ciri serta karakter guru SD Revolusioner. Bab ketiga, guru revolusioner sebagai kunci pendidikan.

Sejak SMA, saya memang sudah suka nulis Karya Tulis Ilmiah. Saat duduk di kampus PGSD Unnes, saya juga sering ikut LKTI. Saat lulus dan kuliah di PPs Unnes, saya mencoba menulis di media massa, jurnal dan beberapa penelitian. Kini, buku Siapkah Saya Menjadi Guru SD Revolusioner menjadi buku pertama saya. Selamat membaca!

Jika ingin tahu detail sinopsisnya, baca juga Sinopsis Buku Siapkah Saya Menjadi Guru Revolusioner.

Judul : Siapkah Saya Menjadi Guru SD Revolusioner?
Penulis : Hamidulloh Ibda dan Dian Marta Wijayanti
Tebal : xi + 156 Halaman
Penerbit : Kalam Nusantara
Cetakan : Pertama, 25 November 2014
ISBN : 978-602-97319-9-6
Harga: Rp 25.000 (berhadiah 1 pena cantik)
Harga Belum Termasuk Ongkos Kirim

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More