Lulusan Terbaik Jurusan PGSD
Unnes pada April 2013,
CPNS Formasi Guru SD Kota Semarang, Mahasiswi Pascasarjana Unnes
Dimuat Solopos, 07/03/2014.
Gelar akademik hakikatnya sakral dan tidak sekadar permainan, polesan dan “hasil membeli”.
Sayangnya, dewasa ini banyak yang menyalahartikan gelar tersebut. Bahkan, tidak
jarang menggunakan “gelar akademik” sebagai alat kejahatan, politik dan “ajang narsis” belaka.
Fenomena itu terjadi karena gelar hanya dijadikan sebagai “tujuan”,
bukan alat untuk melakukan kebaikan
lebih banyak lagi. Karena hanya dianggap sebagai tujuan, banyak orang yang menempuh berbagai
cara untuk mendapatkan gelar yang dikehendaki. Pihak yang tidak
bertanggungjawab juga banyak memanfaatkan “candu gelar” dengan menjual gelar
akademik kepada orang-orang yang membutuhkan.
Gelar yang diperoleh dengan cara tidak semestinya tentu tidak akan “barokah”. Penyalahgunaan penggunaan gelar sering
kali terjadi. Bahkan yang sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini adalah kasus
Raja Dangdut Rhoma Irama. Gelar profesor yang disematkan kepada pedangdut Rhoma
Irama seharusnya diuji penyetaraan terlebih dulu di dalam negeri. Jika ternyata
gelar Rhoma tidak terbukti valid, menurut Mendikbud M Nuh, bisa saja Rhoma dipidana sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Solopos, 27/02/2014).
Baru-baru ini, kasus Anggito Abimanyu yang mengundurkan diri sebagai
dosen UGM atas kasus plagiarisme juga dapat dijadikan peringatan. Sebagai
teladan, hendaknya dosen memberikan contoh baik, bukan sebaliknya seperti ini.
Kasus tersebut mengisyaratkan bahwa gelar dosen pun harus disakralkan. Sehingga
memperoleh gelar “doktor” dan
“profesor” tidak dapat disamakan seperti proses pembuatan “mie instan” yang
sekali rebus langsung jadi.
Pemerolehan titel tentu melalui proses panjang. Tidak tiba-tiba seseorang hadir sebagai “tokoh” dengan
gelar yang tidak jelas asal-usulnya. Apalagi jika gelar tersebut diperoleh dari
perguruan tinggi luar negeri. Tentu tanda tanya besar akan muncul di benak
masyarakat. Kapan tokoh itu kuliah? Di mana beliau kuliah? Sudah baikkah
akreditasi perguruan tinggi tempat tokoh itu belajar? Hal itu harus jelas legitimasi dan payung
hukumnya.
Kasus lainnya, kenyataan “gila gelar” juga terjadi pada calon
legislatif (caleg) Pemilu 2014. Dari baliho di pinggir jalan terlihat dari
mereka yang memperlihatkan rentetan gelar. Bahkan, kelucuan terjadi ketika ada
caleg yang menuliskan “kandidat doktor” pada balihonya. Kesombongan, kedangkalan berpikir dan ajang narsis dan terlihat
dari fenomena ini. Mereka yang
jelas-jelas belum dinyatakan lulus berani-beraninya memamerkan gelar yang belum
resmi untuk menarik suara masyarakat.
Gelar Akademik dan Amanah
Kondisi gelar dagelan sangat kontras dengan kondisi zaman dulu. Gelar
akademik adalah sesuatu yang sakral dan mengandung amanah besar. Bahkan, banyak
orang yang merasa takut ketika gelar sudah diberikan. Berani menggunakan gelar
berarti siap mempertanggungjawabkan kompetensi sesuai bunyi gelar. Sehingga gelar
yang digunakan seharusnya tidak hanya “gengsi-gengsian”, melainkan sebagai
wujud kesiapan mengabdi pada bangsa dan negara.
Gelar tidak bisa terlepas
dari amanah. Para tokoh
dengan gelar tinggi seharusnya bisa menjadi teladan bagi masyarakat pada
umumnya. Di negara ini, tokoh dianggap sebagai seseorang yang “luar biasa”.
Dari kemampuan, tentu mereka yang bergelar tinggi mempunyai kemampuan lebih
dibandingkan orang lain. Tapi, kenyataan menyalahgunaan gelar yang marak
terjadi dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap perguruan tinggi.
Ibarat pepatah “karena nila setitik rusak susu sebelanga”, tokoh-tokoh nakal
telah menodai hakikat dan nilai sakral suatu gelar.
Andai saja semua yang bergelar “sarjana”, “magister”, “doktor”, dan
“profesor” dapat menyatu dan bertanggungjawab pada masyarakat, tentu rakyat akan sangat menghargai gelar yang melekat. Sebenarnya bukan
masalah “dihargai” atau “tidak dihargai”, tapi kepercayaan masyarakat terhadap
kesakralan gelar perlu dihidupkan kembali. Jangan sampai amanah yang tertulis
dan menyatu pada nama hanya sebatas “pantas-pantasan” atau “formalitas” saja.
Kualitas dari gelar
itu yang harus diperbaiki. Tidak mustahil jika yang lulusan SMA lebih mahir
dibandingkan lulusan sarjana maupun magister. Semua itu sangat mungkin terjadi
karena adanya “keuletan” dan “kemauan keras” untuk menjadi lebih baik. Hal yang
tidak ditinggalkan adalah “pertanggungjawaban” terhadap gelar yang dimiliki.
Harapan
Semakin banyaknya perguruan tinggi baik negeri maupun swasta,
diharapkan dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.
Dengan berbagai gelar di bidang pendidikan, ekonomi, hukum, humaniora dan
sebagainya dari jenjang sarjana, magister, dan profesor diharapkan semuanya
bertanggungjawab di bidangnya masing-masing. Tidak ada kesalahan ketika ahli
pendidikan, ekonomi, hukum, budaya, seni mencalonkan diri sebagai perwakilan
kursi legislative, namun
mereka siap bekerja dan berjuang untuk aspirasi rakyat.
Penghayatan terhadap nilai-nilai spiritual perlu dikembangkan untuk
menjadi manusia berkualitas. Dengan nilai spiritual, tentu manusia akan lebih
menyadari bagian-bagian yang menjadi tugasnya. Karakter dapat berkembang sesuai
lingkungan. Bisa jadi diawal seseorang memiliki karakter baik. Namun, ketika
jabatan berada di genggaman, mata pun silau untuk menguasai hal-hal yang tidak
menjadi haknya. Sehingga kejahatan akademik dengan penipuan gelar pun dilakukan, maka hal itu harus dicegah sedini
mungkin.
Indonesia adalah negara besar dengan keanekaragaman. Nilai-nilai perbedaan
yang mendasari jiwa kebangsaan hendaknya melekat pada sanubari orang-orang
terdidik dengan gelar akademik yang disandangnya. Dengan menjadikan gelar sebagai alat menuju kebaikan, Indonesia
akan menjadi negara unggul dengan SDM yang revolusioner. Gelar akademik akan
tetap menjadi perihal yang “sakral” asal nilai spiritual menjadi bagian di
dalamnya. Menjaga kesakralan gelar akademik adalah tanggung jawab kita bersama!
0 comments:
Post a Comment