PENDAHULUAN
Menurut
UU nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Selain bagian dari definisi pendidikan di Indonesia,
bagian kalimat tersebut juga menggambarkan tujuan pendidikan yang mencakup tiga
dimensi yaitu dimensi ketuhanan, pribadi dan sosial. Artinya, pendidikan bukan
diarahkan pada pendidikan yang sekuler, non individualistik dan nonsosialistik. Tapi dari definisi
pendidikan ini, pendidikan yang diarahkan di Indonesia itu adalah pendidikan
mencari keseimbangan antara ketuhanan, individu dan sosial. Jika dipahami lebih jauh, dalam UU
ini sudah mencakup pendidikan karakter. Misalnya pada bagian kalimat terakhir
dari defenisi pendidikan dalam UU tentang SISDIKNAS ini, yaitu memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
pasal 19 ayat (1) menyatakan “Proses pembelajaran pada satuan pendidikan
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang
yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,
minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik”.
Menurut McCarrol (Megawangi,
2007:5) karakter terbentuk karena latihan setiap hari. Hal tersebut sesuai
dengan arti karakter secara bahasa yaitu “mengukir”, dalam kegiatan mengukir
dibutuhkan proses, keahlian serta ketelitian pengukir sehingga menghasilkan
ukiran yang kokoh begitupun dengan proses pembentukan karakter individu yang
harus dilakukan sejak dini sehingga karakter tersebut melekat kuat dalam diri
individu. Beberapa negara yang telah menerapkan
pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah Amerika Serikat,
Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa
implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak
positif pada pencapaian akademis. Hal ini ditunjukkan pada permasalahan yang
terjadi di Indonesia bahwa sekarang ini generasi muda kurang siap menyikapi
masuknya budaya dan bahasa asing. Akibatnya tren kecintaan terhadap bahasa
nasional kian menurun bahkan memprihatinkan di kalangan muda. Penurunan
tersebut menurut Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan(Agus darma) disebabkan oleh kurangnya penggalian dan
pemanfaatan nilai-nilai bahasa dan sastra.
Berdasarkan
data yang diperoleh dari Sub Bagian Humas Polres Magetan mencatat ada kenaikan
50 persen pelaku tindak kejahatan di Magetan masih berusia anak. Jumlah
tersebut merupakan perbandingan angka antara tahun 2010 dengan medio 2011.
Kasus yang lain adalah tercatat pada tanggal 24 Agustus 2009 dua anak
tertangkap satpam mencuri helm di parkiran RSBT. Menurut pelaku, ini merupakan
aksi yang kedua kalinya. Pada aksi yang pertama helm dijual seharga lima puluh
ribu rupiah. Pelaku mengaku mencuri karena butuh uang jajan. Kemudian pada
tanggal 27 Agustus 2009, remaja putus sekolah tertangkap basah mengambil
makanan ringan, sebungkus rokok dan uang belasan ribu dari sebuah warung di
kelurahan Pintu Air Pangkalpinang.
Beberapa kasus di
atas memperlihatkan bahwa pendidikan karakter sangat penting untuk diberikan
kepada anak sedini mungkin. Salah satu cara menanamkan karakter bangsa kepada
anak didik adalah melalui sastra. Fungsi hakikat sastra adalah menyenangkan dan
berguna: dulce et utile(Pradopo, 2007:61). Sastra dengan
sifatnya yang menyenangkan dan berguna diharapkan mampu ikut berperan aktif
dalam membangun karakter bangsa Indonesia. Melalui bermain, anak memiliki
kesempatan untuk membangun dunianya berinteraksi dengan orang lain dalam
lingkungan sosial, mengekspresikan dan mengontrol emosinya, serta mengembangkan
kecakapan simboliknya.
Pembelajaran sastra di
SD adalah Pembelajaran sastra anak. Sastra anak adalah karya sastra yang secara
khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan
anak-anak, yaitu anak yang berusia antara 6-13 tahun. Sifat sastra anak adalah
imajinasi semata, bukan berdasarkan pada fakta. Menurut Noor (2011:37) Sastra
anak adalah citraan dan atau metafora kehidupan yang disampaikan kepada anak
yang melibatkan baik aspek emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun
pengalaman moral, dan diekspresikan dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang dapat
dijangkau dan dipahami oleh pembaca anak. Hakikat sastra anak harus sesuai
dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas.
Beberapa bentuk sastra anak diantaranya adalah
dongeng. Dalam penelitiannya, McClelland menemukan dongeng
dan cerita anak Inggris abad ke-16 mengandung 'virus' yang menyebabkan pembaca
atau pendengar terjangkit penyakit The
need for Achievement (Kebutuhan Berprestasi) yang kemudian terkenal sebagai
n-Ach. Sedangkan cerita dan dongeng
Spanyol justru meninabobokan rakyatnya. Hal ini berbeda dengan dongeng di
Indonesia. Pro kontra masih saja bergulir seiring menanggapi keberadaan dongeng
tokoh si kancil yang sering diberikan kepada anak baik itu di rumah maupun di
sekolah. Dengan memperhatikan berbagai unsur karakter yang terkandung di dalam
dongeng, kekhawatiran justru terjadi jika dongeng si Kancil masih saja
diberikan kepada anak-anak. Ismail Marahaimin, guru besar Fakultas Ilmu Budaya UI, dalam makalahnya
yang berjudul "Pembekalan pada Bengkel Penulis Cerita Anak,"
mengaitkan antara kepopuleran cerita si Kancil di Indonesia. Kancil adalah
sosok binatang yang licik. Maka dari itu, pengakajian terhadap
karya sastra yang diberikan kepada siswa di Sekolah Dasar masih perlu
diperhatikan terutama dalam menanggapi dongeng si Kancil agar menjadi tokoh
teladan bagi siswa Sekolah Dasar dalam pembentukan karakter.
ANALISIS DAN
PEMBAHASAN
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter
memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan
pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya
menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang
baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik,
dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa,
secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi
oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari
pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan
nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari
budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian
generasi muda.
Berdasarkan
buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter yang diterbitkan oleh badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan (2011), telah teridentifikasi 18
nilai-nilai karakter yang bersumber pada agaman, Pancasila, budaya, dan tujuan
pendidikan nasional, yaitu (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4)
Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa
Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai
Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta damai, (15) Gemar Membaca,
(16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18) Tanggung Jawab.
Jauh sebelum studi anak dilakukan, kenyataan
menunjukkan bahwa tahun-tahun pertama merupakan saat yang kritis bagi
perkembangan anak. Dalam hal ini Milton (dalam Soeparwoto, 2004:31) menyatakan
bahwa “Masa kanak-kanak meramalkan masa
dewasa, sebagaimana pagi hari meramalkan hari baru”.
Studi klinis sejak bayi hingga dewasa yang dilakukan
oleh Erikson (dalam Soeparwoto, 2004:31) menyimpulan bahwa “masa kanak-kanak merupakan gambaran awal manusia sebagai manusia,
tempat dimana kabaikan dan sifat buruk akan berkembang mewujudkan diri,
meskipun lambat tetapi pasti”. Crumley, F.E. dkk, Gagne R.M dan Smith, dkk
(dalam Soeparwoto, 2004:32) menunjukkan bukti bahwa sejarah anak yang mempunyai
kesulitan penyesuaian sejak tahun-tahun prasekolah hingga sekolah menengah atau
universitas telah memperlihatkan bahwa banyak di antara mereka sangat buruk
penyesuaian dirinya pada masa kecil sehingga tidak pernah dalam suatu kelompok
atau mempunyai banyak teman.
Penggunaan dongeng untuk pembentukan karakter bagi
anak sudah lama digunakan. Salah satu dongeng yang paling terkenal di kalangan
anak-anak adalah “Kancil Nyolong Timun” atau dalam bahasa Indonesia artinya
Kancil Mencuri Mentimun. Dalam cerita yang dikisahkan dalam dongeng tersebut
menunjukkan karakter Kancil sebagai pencuri yang licik untuk mendapatkan yang
dia inginkan. Karakter licik dari tokoh Kancil sangat tertanam kuat dalam diri
Kancil. Tidak hanya pada tokoh Kancil, tokoh Pak Tani pun tergambar memiliki
karakter yang kuat. Hal ini ditunjukkan ketika Pak Tani mengetahui mentimunnya
dicuri oleh Kancil. Tanpa memberi ampun Pak Tani menghukum Kancil dengan
memukuli dan mengurung Kancil di dalam keranjang. Tokoh Kancil lebih banyak memperlihatkan karakter
tercela yang ditakutkan dapat dicontoh oleh anak. Hal ini dikarenakan anak
tidak dapat langsung menerima nilai yang sebenarnya terkandung di dalam
dongeng. Melainkan yang nyata terlihat adalah karakter nakal, pembohong, licik,
dan banyak tipu muslihat dari tokoh kancil. Sebagai contoh di dalam dongeng “Si
Kancil dan Buaya”, Kancil dengan liciknya membohongi buaya agar bisa
menyeberangi sungai. Namun dari sisi lain sebenarnya dapat pula diambil pesan
tentang kepandaian Kancil untuk melindungi dirinya dari musuh. Hanya saja, cara
yang digunakan Kancil dapat dianggap kurang sesuai karena merugikan pihak lain.
Keberadaan dongeng Kancil yang pada saat ini sering
menjadi perdebatan akademisi dunia pendidikan perlu mengalami revitalisasi agar
tetap menjadi dongeng yang disukai anak dan mengandung nilai-nilai yang berguna
bagi pembangunan karakter mereka. Proses pengubahan karakter tokoh Kancil dapat
disesuaikan dengan grand design pendidikan
karakter yang akan dibangun pada diri anak.
Khusus bagi anak, dongeng dapat memberikan
rangsangan bagi kecerdasan anak, karena melalui kegiatan bermain, bercanda, dan
berinteraksi, maka kemampuan berpikir logis dan rasional akan terpacu sehingga
membantu percepatan belajar anak (accelerated learning). Dampak
positif yang nyata pada anak adalah munculnya perkembangan dan kemampuan emosi
(emotional quotion) anak dengan sendirinya (tanpa paksaan) sehingga
akan terbentuk sikap kreatif, ramah, mudah bergaul, spontan dalam merespons
sekitarnya, dan terbangun empati pada lingkungan dan orang lain yang ada
disekitarnya.
SIMPULAN
Dongeng merupakan salah satu bentuk
sastra yang memiliki peran besar dalam pembentukan karakter anak. Berbagai
karakter yang terdapat dalam dongeng akan mempengaruhi pemikiran anak untuk
meneladani tokoh tersebut. Namun beberapa dongeng yang menceritakan kisah si
Kancil bagi sebagian pihak merupakan dongeng yang tidak sesuai diberikan kepada
anak. Kancil dengan tingkah nakal dan liciknya dapat mempengaruhi perkembangan
anak yang belum bisa mencerna isi cerita lebih dalam. Kelicikan Kancil untuk
melemahkan musuh-musuhnya dapat dianggap sebagai kepandaian Kancil dalam
mengatur strategi. Padahal hal tersebut merupakan karakter tercela yang tidak
seharusnya ditiru oleh anak. Maka dari itu pemilihan karya sastra apapun
khusunya dongeng bagi anak perlu melalui tahap filtrasi agar tidak semua
dongeng diberikan kepada anak. Hal ini bukan berarti dongeng si Kancil
mengandung makna negatif. Bagi mereka yang sudah mampu mengapresiasi sastra dengan
baik, cerita si Kancil memiliki nilai-nilai positif seperti pandai, kreatif,
inovatif, dan pantang menyerah. Namun bagi anak-anak yang belum bisa
mengapresiasi sastra dengan baik, sikap si Kancil dapat dianggap sebagai tokoh
panutan yang dapat dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan ketika mereka
dihadapkan pada masalah.
DAFTAR
PUSTAKA
Harini, Sri dan Aba Firdaus. 2003. Mendidik Anak Sejak Dini. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Akhir Semester
Mata
Kuliah Penulisan Karya Ilmiah dan Buku Ajar
Dosen
Pengampu Bapak Sukarir Nuryanto