Saturday 27 September 2014

Menolak Pragmatisme Pendidikan



Tulisan ini dimuat di Koran Muria, Jumat 26 September 2014
Oleh : Dian Marta Wijayanti, S.Pd
Tim Asesor EGRA USAID Prioritas Jawa Tengah


Dalam dunia pendidikan, pragmatisme adalah musuh idealisme. Ini harus ditolak bahkan dimusanhkan. Mengapa? Karena pragmatisme menimbulkan benih hedonisme dan melahirkan generasi instan.
Belajar berarti seseorang terlibat di dalam sebuah pemecahan masalah. Dalam teori Epistemologi Eksperimental, murid baik individu maupun kelompok diajarkan penggunaan metode ilmu untuk memecahkan masalah pribadi hingga masalah sosial. Masalah-masalah tersebut tentunya telah disadari bervariasi dalam hal bagaimana peserta didik menanggapi keadaan lingkungannya yang terus berubah.

Tujuan penting dalam metode semacam ini adalah agar para murid sebagai peserta didik akan mendapatkan pemecahan masalah secara cerdas melalui rangkaian proses dan metode sistematis yang telah dirumuskan dan dijalankan. Sedangkan guru sebagai pendamping dalam pembelajaran tidak bertindak dengan cara mendominasi proses belajar, tetapi berusaha untuk memandu dalam perannya sebagai fasillitator pembelajaran. Idiom pragmatisme acapkali sering disalahartikan oleh beberapa kalangan. Misalnya konsep pragmatisme dalam pendidikan yang hanya diartikan sebagai model pendidikan praktis, instan, dan fungsional.
Pragmatisme
Pandangan seperti ini cenderung mendistorsi aspek pragmatisme secara konseptual. Ketika pandangan pragmatisme melihat sekolah sebagai suatu lingkungan khusus yang merupakan bagian dari lingkungan sosial yang lebih umum, pragmatisme sebenarnya tidak memisahkan antara elemen pihak sekolah dan masyarakat. Sekolah sebagai bagian dari masyarakat, bertugas untuk menyederhanakan unsur-unsur budaya yang menjadi kebutuhan individu untuk selanjutnya berpartisipasi dalam masyarakat.
Sebagai suatu lingkungan khusus, pihak sekolah sengaja membawa murid untuk berpartisipasi dalam proses sosial-budaya.  Lembaga sekolah, dalam hal ini memiliki tiga fungsi utama yaitu: menyederhanakan, memurnikan dan menyeimbangkan warisan budaya. Menyederhanakan berarti sekolah memilih unsur dari warisan budaya. Maksudnya, sekolah menyeleksi mana dari unsur-unsur warisan budaya untuk dijadikan unit yang tepat untuk dipelajari.
Memurnikan berarti sekolah memilih elemen warisan budaya yang pantas dan menyingkirkan yang tidak pantas, yaitu yang membatasi interaksi dan pertumbuhan manusia. Menyeimbangkan berarti sekolah mengintegrasikan pengalaman yang telah dipilih dan dimurnikan tadi kedalam sebuah keselarasan.  Pragmatisme mengakui akan adanya suatu kemajemukan kelompok dalam masyarakat, untuk itu sekolah sudah seharusnya membantu murid dari kelompok yang satu untuk memahami kelompok yang lain. Sebagai komunitas belajar yang terintegrasi secara murni dan demokratis, sekolah harus terbuka untuk semua.
John Dewey sebagai tokoh pragmatisme pendidikan Amerika, secara khusus menganjurkan masyarakat untuk terbuka dan berbagi.  Bagi Dewey, kualitas dan kesetaraan bukanlah sesuatu yang saling menyisihkan satu dengan yang lain. Suatu masyarakat dan sistem pendidikan akan mencapai puncak kesuksesan ketika mereka bersedia untuk berbagi seluas mungkin sumber daya di antara semua orang di masyarakat. Berbagi tidak mengurangi kualitas tapi memperkaya.
Dalam istilah Dewey, kualitas dan ekuitas (keseimbangan) mengenai timbal balik dalam berhubungan sosial dan pendidikan adalah prasyarat utama untuk digunakan bersama oleh semua elemen pendidikan. Pragmatisme sebagai sebuah aliran di bidang pendidikan, sebenarnya memiliki kelebihan.
Paradigma pendidikan pragmatisme ini bisa dikatakan memiliki relevansi dengan pemahaman awam mengenai pendidikan di Indonesia karena banyak orang tua yang mengharapkan setelah selesai sekolah anak-anak mereka mendapatkan kerja yang lebih. Oleh karena itu pendidikan pragmatisme, yakni pada Sekolah Menengah Kejujuran (SMK) misalnya, memberikan salah satu tawaran solutif dalam mengembangkan nilai-nilai yang diinginkan dari pendidikan pragmatisme.
Dari segi kekurangannya, pendidikan pragmatisme bila ditinjau dari aspek aksiologi adalah, pertama, pendidikan pragmatisme menafikan dan bahkan meninggalkan nilai-nilai moralitas dan mentalitas siswi, padahal tujuan pendidikan adalah untuk memberikan bekal pada murid. Namun, memberikan pengajaran pada tindakan dan perilaku manusia agar dalam masalah mengedepan keputusan moral dan tindakan yang tepat sesuai pengetahuan yang diperoleh di sekolah.
Karena itu nilai-nilai moralitas dalam pendidikan pragmatisme inilah yang kurang mendapat perhatian. Kekurangan kedua, pendidikan pragmatisme nampak mengabaikan nilai-nilai sosialitas. Kalau dicermati secara kritis, pendidikan pragmatisme akan melahirkan karakter murid yang individualis. Pada akhirnya, pendidikan pragmatisme yang bersifat subyektif di mana nilai-nilai pendidikan hanya dilihat pada diri sendiri tidak akan mampu melihat seluruh persoalan tujuan pendidikan. (*)

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More