This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday 30 March 2014

Jangan Takut "Skripsi"

Oleh Dian Marta Wijayanti SPd

Pahit, itu yang dirasakan mahasiswa tingkat akhir ketika tidak beruntung  proses "skripsinya". Ada yang merasa mendapat dosen "killer", penelitian susah, sering revisi sebagai cambuk menuju gelar sarjana. Padahal, itu semua adalah asam manis semester. Memang besarnya rasa pahit berbeda, tapi sesungguhnya semua itu akan nikmat jika dijalani dengan senang hati.

Tidak salah menangis ketika hati kita merasa tersiksa. Tapi, "jangan lama-lama". Terlalu menghayati penderitaan hanya akan membuang waktu dan membuat hidup tidak produktif. Begitu pula dengan tahap skripsi. 

Ketika dosen meminta mahasiswanya "revisi", itu hal yang "wajar" yang dilalui semua mahasiswa. Meski tingkatnya beda-beda. Tapi yang perlu disoroti adalah langkah apa yang diambil ketika kejadian itu menghampiri mahasiswa skripsi. 

Pertama, tetaplah bersikap tenang. Ketenangan akan memberikan pengaruh positive pada psikis seseorang. Jika ia tenang, maka otaknya dapat berpikir dengan baik. Berbeda jika pikirannya "kemrungsung", bukan solusi yang diperoleh tapi "masalah baru" lah yang datang.

Kedua, jangan takut. Jangan takut ketika dosen bersikap "tidak enak" atau "memarahi" kalian. Semua itu hanya respon sesaat yang tidak mungkin berangsur-angsur terjadi. Dosen adalah pendidik yang memiliki tujuan baik terhadap peserta didiknya (mahasiswa). Jika dosen marah, bisa jadi karena kesalahan ada pada diri kita. Mungkin kita yang tidak patuh dan mengulang kesalahan berulang kali. Tetap hormat dan membuang rasa takut sangat pending dimiliki mahasiswa skripsi. Jika ia terlalu takut, yang terjadi adalah tidak adanya keberanian untuk melakukan bimbingan kembali. Mahasiswa melakukan kesalahan adalah hal yang wajar. Segera memperbaiki adalah solusi yang tepat.

Ketiga, patuhi keinginan dosen. Setiap dosen memiliki karakter yang berbeda-beda. Mengenal karakter dosen dengan baik sangat penting dimiliki mahasiswa skripsi. Mahasiswa harus tau yang disuaki dan tidak disukai dosen pembimbingnya. Jangan sampai membuat dosen tersinggung. Kalau pun ada pendapat yang berbeda, menjelaskan dengan lembut dan menyampaikan alasan-alasan yang tepat adalah jalan yang dapat ditempuh.

"Skripsi bukan penyakit yang harus ditakuti", tapi skripsi adalah tantangan awal untuk menuju tantangan hidup yang sebenarnya. Semangat untuk kalian mahasiswa tingkat akhir.

Wawasan Hakikat Manusia dan Pendidikan


A.  Hakikat Manusia
Manusia  merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna. Oleh karena itu, manusia perlu menyadari eksistensi dan tujuan penciptaannya. Socrates menyatakan bahwa hakikat manusia terletak pada budinya, yang memungkinkan untuk menentukan hikmah dan kebaikan. Sementara Plato menonjolkan peran pikir yang dapat melahirkan budi baik, dengan demikian hakikat manusia terletak pada idenya. Sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa hakikat manusia terletak pada pikirnya tetapi perlu dilengkapi dengan hasil pengamatan indera (Munib, 2011: 4).
Adapun terminologi manusia dalam  Al Qur’an, terbagi ke dalam empat pengertian; (1) An-Nas, yang berarti manusia ditinjau dari sudut pandang kesusilaan, moralitas, baik dan buruk; (2) Al Insan, yang berkaitan dengan hubungan sosiologis manusia sebagai makhluk sosial (zone politican); (3) Al Basyr, artinya manusia berbeda dengan binatang. Manusia diberi akal yang dapat berpikir sedangkan hewan tidak; (4) Bani Adam, berarti manusia merupakan keturunan Nabi Adam AS.
Dimensi-dimensi hakikat manusia serta potensi, keunikan, dan dinamikanya terbagi menjadi empat yaitu:
a.         Dimensi Keindividualan
Keindividualan seringkali dikaitkan dengan individualitas seseorang. Sementara individualitas pada dasarnya hanyalah sebuah paham. Menurut Mallarangeng (2008: 47) konsepsi terhadap paham penting ini memang sering disalahpahami. Padahal, sebenarnya paham ini sangat sederhana. Ia mengakui fakta yang alamiah bahwa setiap manusia dalam memandang dunia di sekitarnya selalu memakai kacamata atau persepsi dirinya sendiri. Tidak ada orang yang mencoba melihat dunia ini lewat pikiran dan mata orang lain. Selain karena memang tidak mungkin demikian berdasarkan bangunan fisik manusia. Menurut Langeveld menyatakan bahwa setiap anak memiliki dorongan untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun di sisi lain pada anak terdapat rasa tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain (pendidik) yang dapat dijadikan tempat bergantung untuk memberi perlindungan dan bimbingan (Tirtarahardja, 2005: 18).
b.         Dimensi Kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas. Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang memiliki keinginan untuk bertemu dengan sesamanya. Bantuan dari orang lain itu tetap diperlukan pada masa anak, remaja, setelah dewasa, bahkan sampai kepada sisa-sisa usia dalam kehidupan seseorang.
c.         Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena itu maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam kenyataan hidup ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai, yaitu kesadaran dan pemahaman terhadap nilai dan kesanggupan melaksanakan nilai.
Manusia memiliki akal yang mampu berpikir untuk mengambil suatu keputusan. Jika manusia tidak mau menggunakan akalnya dengan baik dan benar jelas ia akan tersesat. Oleh karena itu, jika manusia yakin kalau ia bisa menjadi kaya tanpa menghalalkan berbagai cara dan dengan tujuan yang mulia untuk membantu sesama, maka ia boleh menjadi kaya. Namun jika sebaliknya, maka ia boleh menjadi kaya. Namun jika sebaliknya, maka kaya bukanlah sebuah pilihan yang baik. Begitupun dengan pilihan miskin, jika ia miskin dan menyusahkan orang lain maka pilihan miskin pun bukanlah yang terbaik (Bois, 2012: 16).
d.        Dimensi Keberagamaan
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa di luar alam yang dapat dijangkau dengan perantauan alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos. Misalnya untuk meminta sesuatu dari kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan bermacam-macam upacara, menyediakan sesajen-sesajen, dan memberikan korban-korban. Sikap dan kebiasaan yang membudaya pada nenek moyang kita seperti itu dipandang sebagai embrio dari kehidupan manusia dalam beragama.

B.  Hakikat Pendidikan
1.      Batasan Pendidikan
Pendidikan, seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks., atau karena falsafah yang melandasinya. Menurut Tirtaraharja dan Sulo (2005: 33) batasan pendidikan terdiri atas:
a.        Pendidikan sebagai Proses Transformasi Budaya           
Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain. 
b.       Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi           
Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematik dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik.           
c.       Pendidikan sebagai Proses Penyiapan Warga Negara     
Pendidikan sebagai penyiapan warga negara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik.
d.       Pendidikan sebagai Penyimpanan Tenaga Kerja
Pendidikan sebagai penyimpanan tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar untuk bekerja. Ini menjadi misi penting dari pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia.
2.      Konsepsi Pendidikan
a.       Konsep dasar pendidikan
Pendidikan adalah proses pengembangan potensi manusia ke tingkat optimal untuk menuju kehidupan yang produktif dan bahagia dalam masyarakat (Lohithakshan, 2002: 67). Menurut GBHN 1973 pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan peserta didik di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Ada beberapa konsepsi dasar tentang pendidikan yang akan dilaksanakan yaitu:
1)   Bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup (life long education).
2)   Bahwa tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
3)   Bagi manusia pendidikan itu merupakan suatu keharusan, karena pendidikan, manusia akan memiliki kemampuan dan kepribadian yang berkembang.
b.      Pendidikan hanya berlaku bagi manusia
Pendidikan mengandung suatu pengertian yang sangat luas, menyangkut seluruh aspek kepribadian manusia. Hanya manusia yang dapat dididik dan mungkin untuk menerima pendidikan, karena manusia memang dilengkapi dengan akal budinya (Munib,2007:27-28).
c.       Manusia perlu dididik
Ada beberapa asumsi yang memungkinkan manusia perlu mendapatkan pendidikan:
1)      Manusia dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya.
2)      Manusia lahir tidak langsung dewasa.
3)      Manusia pada hakikatnya adalah mahluk sosial.
4)      Manusia pada hakikatnya dapat dididik dan dapat mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat.
d.      Tujuan dan Proses Pendidikan
Menurut Munib (2007: 29) tujuan pendidikan merupakan suatu gambaran dari falsafah hidup atau pandangan hidup manusia, baik secara perorangan maupun secara kelompok (bangsa dan negara). Karena itu tujuan pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.

3.      Unsur-Unsur Pendidikan
Proses pendidikan melibatkan banyak hal, yang akan diuraikan sebagai berikut:
a.       Subjek yang dibimbing (Peserta didik)
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern ini cenderung menyebut demikian oleh karena peserta didik adalah subjek yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah :
a)      Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik.
b)      Individu yang sedang berkembang.
c)      Individu yang memerlukan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
d)     Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
b.      Orang yang Membimbing (Pendidik)
Pendidik ialah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pimpinan program pembelajaran, latihan, dan masyarakat/ organisasi.
c.       Interaksi Edukatif antara Peserta Didik dengan Pendidik
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antarpeserta didik dengan pendidik yang terarah pada tujuan pendidikan.
d.      Materi/isi pendidikan
Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah diramu dalam kurikulum yang disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan.

e.       Konteks yang mempengaruhi pendidikan
Konteks yang mempengaruhi pendidikan meliputi alat dan metode pendidikan serta lingkungan pendidikan.
4.      Asas-Asas Pendidikan Indonesia
Pendidikan nasional adalah suatu sadar untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan mengusahakan perkembangan kehidupan beragama, kehidupan berkepercayaan, nilai budaya, pengetahuan, keterampilan, daya estetis dan jasmaninya membangun masyarakat serta membudayakan alam sekitar (Munib, 2007: 69).
Pendidikan nasional dilaksanakan dengan memperhatikan asas-asas pelaksanaan sebagai berikut:
a.       Asas semesta, menyeluruh, dan terpadu yang berarti bahwa pendidikan nasional terbuka bagi setiap manusia indonesia.
b.      Asas pendidikan seumur hidup.
c.       Asas tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
d.      Asas pendidika berlangsung dalam linkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat.
e.       Asas keselarasan dan keterpaduan dengan Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara.
f.       Asas Bhineka Tunggal Ika.
g.      Asas keselarasan, keserasian, dan keseimbangan.
h.      Asas manfaat, adil, dan merata
i.        Asas ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
j.        Asas mobilitas, efisiensi, dan efektivitas yang memungkinkan pengadaan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap manusia Indonesia.
k.      Asas kepastian hukum yang berarti bahwa sistem pendidikan nasional dilaksanakan atas dasar peraturan perundang-undangan.

C.      Hubungan Hakikat Manusia dengan Pendidikan
Manusia mengemban tugas dan mempunyai tujuan untuk menjadi manusia atau bertugas mewujudkan berbagai aspek hakikat manusia. Sampai disini kiranya dapat dipahami bahwa manusia belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia. Adapun untuk menjadi manusia  ia memerlukan pendidikan atau harus dididik. “Man can become man through education only” (Wahyudin, 2008: 1.22).
Manusia merupakan subjek dan objek dalam pendidikan. Dengan mengetahui hakikat manusia yang sebenarnya, sistem pendidikan akan mengalami kesesuaian fungsi sehingga pembiasaan untuk belajar akan berjalan dengan nyaman dan menyenangkan.

DAFTAR PUSTAKA
Lohithakshan, P.M. 2002. Dictionary of Education. New Delhi: Printed in India.
Mallarangeng, Rizal. 2008. Dari Langit Kumpulan Esai tentang Manusia, Masyarakat, dan Kekuasaan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Munib, Ahmad, dkk. 2007. Pengantar Ilmu Pendidikan . Semarang : UNNES Press.
Tirtarahardja, U. Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Wagner, Andreas. 2009. Paradoxical Life Meaning, Matter, and the Power of Human Choice. London: Yale University Press.

Wahyudin, Dinn, dkk. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.





Saturday 29 March 2014

Menjadi Guru SD adalah Pilihan

Oleh Dian Marta Wijayanti SPd
Memiliki kakek seorang guru SD. Memiliki bapak seorang kepala SD. Bukanlah satu-satunya alasan bagiku menjalani profesi ini. Awalnya aku pun tidak sedikit pun memiliki minat untuk menjadi guru SD. Bahkan ketika namaku sudah jelas tercatat sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Universitas Negeri Semarang, aku masih menyimpan harapan untuk bisa mendapat profesi selain guru SD.

Mengisi hari-hari mahasiswa PGSD dengan berbagai kegiatan organisasi dan kepenulisan membuatku semakin yakin akan ada jalan untukku memilih profesi lain. Bahkan tak jarang aku mencari celah agar ada profesi selain guru SD yang bisa ku jalani di masa depan. Memperbanyak relasi tanpa harus menyepelekan studiku. Tetap belajar dan mempersembahkan yang terbaik agar bapak dan ibu bangga anaknya bisa menjadi yang terbaik di bangku perkuliahan.

Hingga saat hari itu tiba. Aku diwisuda dengan predikat lulusan terbaik jurusan PGSD Unnes April 2013 dengan IPK 3,82. Membuat bapak ibu bangga menyaksikan penerimaan transkrip nilaiku di hotel Patrajasa Semarang. Membuat Bapak bisa duduk di baris depan yang sengaja disiapkan panitia untuk orang tua wisudawan terbaik bagi masing-masing lulusan terbaik di Fakultas Ilmu Pendidikan. Yang memberi kesempatan bapak bisa berdiri di depan mendampingiku bersalaman dengan pak dekan beserta jajarannya membuatku semakin termotivasi untuk meningkatkan kompetensiku.

Terbesit keinginan untuk bisa menjadi dosen PGSD. Melanjutkan jenjang S2 adalah pilihan yang langsung ku ambil setelah memperoleh ijazah. Dengan harapan bisa menjadi dosen di perguruan tinggi ku pilih Prodi Pendidikan Dasar konsentrasi Bahasa Indonesia sebagai langkah belajarku 4 semester di pascasarjana Unnes. Namun, skenario Tuhan memang luar biasa. Pembukaan formasi tes CPNS formasi guru SD kota Semarang telah dibuka. Demi bapak dan ibu yang ingin melihat anaknya bisa menjadi "Guru SD" aku mengikuti seleksi itu. Dari sekitar 1300 peserta, namaku masuk menjadi salah satu dari 35 nama yang diterima pemerintah kota Semarang.

Dilema yang luar biasa muncul. Ketika studiku baru akan merangkak menuju semester 2, harus ambil satu pilihan besar. "Meninggalkan studiku" atau memilih "menjadi guru SD". Berbagai macam pertimbangan ku susun demi masa depanku. Hingga ku dapati bahwa "siap mengikuti tes, maka harus siap diterima atau ditolak". 

"Tuhan memberikan yang dibutuhkan oleh hambaNya". Ya, itulah yang menjadi penguatku. Hingga aku yakin bahwa "menjadi guru SD" adalah keniscayaan yang tak setiap orang bisa mendapatkannya. Banyak keberuntungan yang telah ku dapat. Lulus 7 semester, menjadi lulusan terbaik, bisa merasakan bangku S2, dan yang terakhir saat ini adalah menjadi CPNS Kota Semarang yang banyak diidamkan oleh orang-orang di luar sana.

Tuhan telah berencana untuk kehidupanku. Mungkin Tuhan ingin mengirimku untuk mencari pioner-pioner hebat dari anak-anak di negeri ini. Langsung menyentuh akar kehidupan mereka adalah cara Tuhan memberikan kebahagiaan itu padaku. Toh "dosen" dan "guru" sama-sama seorang "pendidik". Dengan menjadi "guru" justru aku bisa lebih punya banya waktu untuk suami dan anak-anakku kelak.

Menjadi guru yang hebat adalah janjiku. Bukan hebat dari rentengan prestasi. Tapi sejauh mana aku bisa bermanfaat untuk anak didik dan dunia pendidikan. Tetap menulis adalah janjiku, dan melaksanakan penelitian adalah pengabdian yang akan senantiasa ku lanjutkan. 

"Menjadi Guru SD adalah Pilihan"
Mengabdikan diri pada bangsa dan negara dalam keikhlasan semoga menjadi jalan ibadahku kepada Tuhan. Tuhan telah memberikan yang terbaik bagi diriku.

Alhamdulillahirobbil'alamiiin

Monday 24 March 2014

Membumikan Homeschooling



Tulisan ini dimuat di Radar Tegal  24-03-2014
Oleh Dian Marta Wijayanti, SPd
Guru Homeschooling ANSA School Semarang,
Lulusan Terbaik Jurusan PGSD Unnes pada April 2013

Selama ini, anak-anak yang belajar dengan metode homeschooling dianggap kurang mampu bersosialisasi dengan baik, karena tidak bersosialisi dengan teman sebaya sebagaimana di sekolah formal pada umumnya. Dalam konteks ini, sebagian orang tua menyiasati kelemahan tersebut dengan melakukan aktivitas luar ruangan, seperti berolahraga, bakti sosial, ataupun kegiatan kepanduan.
Dalam hal ini, Saya sebagai guru salah satu homeschooling di Kota Semarang, Jawa Tengah ingin memberikan pendapat beda. Menurut Saya, kurang tepat jika homeschooling dianggap tidak mampu membuat anak bersosialisasi selayaknya di sekolah formal. Selama ini banyak yang menyalahartikan makna homeschooling.
Meskipun home memiliki arti “rumah”, bukan berarti homeschooling hanya dilaksanakan di rumah. Homeschooling merupakan salah satu bentuk dari pendidikan nonformal. Yang namanya sekolah, anak-anak juga dihadapkan pada kurikulum dan pelajaran layaknya di pendidikan formal. Anak-anak masuk sekolah dan berkumpul dengan komunitas kelasnya.
Hanya saja, kelas yang ditentukan tidak sebanyak jumlah siswa pada sekolah formal. Anak juga memiliki modul yang telah disesuaikan dengan kurikulum pada kelas mereka. Jadi, tidak tepat jika homeschooling dianggap tidak memberikan kesempatan bagi anak bersosialisasi dengan teman sebayanya.
Sosialisasi Siswa
Siswa homeschooling juga bersosialisasi dengan teman sebayanya, guru dan orang tua. Artinya, sangat keliru jika siswa homeschooling dikatakan tidak mampu bersosialisasi. Namun letak perbedaan sekolah formal dengan homeschooling salah satunya pada “kuantitas tatap muka,” karena tidak setiap hari siswa masuk sekolah.
Pasalnya, homeschooling memberikan jadwal khusus pada siswa. Selama di sekolah, siswa akan berinteraksi dengan teman sekelasnya. Homeschooling juga memiliki jenjang kelas seperti sekolah formal, seperti SD terdiri dari 6 kelas, SMP 3 kelas, dan SMA 3 kelas, sehingga sosialisasi akan tetap terjalin baik antara siswa dengan teman sebaya maupun siswa dengan guru/tutor.
Homeschooling juga memberikan fasilitas visit (belajar tambahan) bagi siswa dan orang tua yang merasa belum puas akan materi pelajaran. Fasilitas ini biasa dilaksanakan satu tutor satu siswa. Bentuk visit juga berbeda, ada yang di sekolah, ada juga yang berada di rumah. Melalui visit, siswa akan didampingi lebih intens dengan memperhatikan potensi siswa.
Pengembangan potensi dapat dikembangkan sambil kegiatan pembelajaran. Misalnya, siswa yang memiliki potensi menggambar akan diajak mewarnai dan menggambar yang berhubungan dengan materi. Hal ini bertujuan agar siswa merasa nyaman dan potensi dapat dikembangkan. Karena semudah-mudahnya materi jika siswa tidak merasa nyaman, maka akan kesulitan memahami materi tersebut.
Homeschooling juga tidak hanya mengedepankan materi tapi juga “pendidikan karakter”. Siswa homeschooling harus bertanggungjawab atas dirinya sendiri, karena ketika jam belajar dimulai, siswa harus siap mengikuti pembelajaran sampai kesempatan yang diberikan selesai. Siswa juga harus mengikuti pembelajaran yang diberikan tutor dengan baik. Karena meskipun homeschooling, regulasi pendidikannya juga hampir sama seperti sekolah formal lainnya.
Selain tanggung jawab, karakter lain yang dikembangkan adalah kedisiplinan dan kemandirian. Siswa harus disiplin mematuhi peraturan sekolah. Siswa juga diajarkan untuk tidak manja. Mereka harus mandiri, seperti membuang sampah sendiri, merapikan peralatan sekolah dan membersihkan kotoran sendiri ketika buang air kecil maupun buang air besar dengan pendampingan dari tutor.
Homeschooling sebagai Alternatif
Homeschooling adalah cahaya belajar masa kini. Tidak dipungkiri, Tuhan menciptakan manusia dalam kondisi berbeda. Baik kondisi fisik, mental, lingkungan keluarga, maupun ekonomi. Hal itulah yang melatarbelakangi homeschooling menjadi suatu pilihan. Setiap anak memiliki hak untuk belajar dan menjadi manusia seutuhnya. Karena belum lengkap identitasnya sebagai manusia, jika makhluk itu belum belajar. Namun kondisi itu menjadi pertimbangan bagaimana agar anak tetap bisa belajar dengan kondisi nyaman.
Banyak orang tua yang mulai tidak nyaman dengan kondisi pembelajaran di sekolah formal. Salah satu alasannya karena jumlah siswa terlalu banyak di dalam kelas sehingga guru tidak sepenuhnya menguasai. Beberapa orang tua merasa kekurangan anak mereka tidak tersentuh guru. Padahal, jika kekurangan itu dibiarkan begitu saja tanpa segera dicarikan solusi, anak tidak bisa mengikuti pembelajaran dengan baik.
Stigma yang muncul nanti anak mendapat nilai jelek dan dianggap berprestasi buruk di sekolahnya. Padahal bukan masalah pandai atau tidak pandai permasalahannya, tetapi, sudahkah materi tersebut tersampaikan dengan baik kepada anak? Sementara beberapa anak memiliki kekhususan tertentu untuk disentuh seperti kesulitan konsentrasi. Sebenarnya mereka memiliki potensi sama, namun hanya butuh tindakan khusus agar bisa mengikuti pembelajaran dengan baik.
Setiap orang tua ingin anak-anaknya mendapat perhatian dari guru sebagai orang tua di sekolah. Sehingga kehadiran homeschooling di era digital ini menjadi alternatif untuk mendidik anak. Apalagi ketika homeschooling sudah dilengkapi dengan fasilitas e-learning, orang tua dapat memantau perkembangan anak serta materi-materi yang bisa dipelajari anak.
Homeschooling juga menawarkan program unggulan. Biasanya tidak hanya anak yang diikutsertakan dalam program unggulan, tapi peran orang tua juga diharap bisa bersinergi di sini. Hal tersebut dapat menjalin komunikasi yang baik antara pihak sekolah dan orang tua. Jangan khawatir jika anak dianggap tidak dapat bersosialisasi di homeschooling. Anak sangat bisa bersosialisasi layaknya belajar di sekolah formal.

Friday 21 March 2014

Membaca "kata" lebih mudah daripada "Huruf"


Melalui survey yang dilakukan oleh penulis dari beberapa sekolah dasar di beberapa kabupaten di Jawa Tengah melalui program Early Grade Reading Assessment, penulis menyimpulkan anak-anak lebih mudah membaca "kata" daripada membaca "huruf".
Dengan waktu yang sama, siswa terlihat lebih nyaman membaca kata daripada huruf. Siswa terlihat gugup ketika harus membacakan deretan huruf. Bahkan, meskipun sudah berada di jenjang kelas 2 atau 3, siswa masih banyak melakukan kesalahan. Seperti salah menyebut huruf "V" menjadi "F", dan huruf "d" menjadi "b". Hal ini sering kali terjadi di beberapa wilayah.
Sementara kondisi berlainan terjadi. Untuk membaca "kata", siswa dapat melakukan dengan mudan dan santai. Mereka dapat membaca lebih cepat dan benar.

Monday 17 March 2014

Urgensi Kontrak Kerja untuk GTT

Tulisan ini dimuat di Harian Bhirawa, koran Surabaya 16 Maret 2014
Oleh :
Dian Marta Wijayanti, SPd
 CPNS Formasi Guru SD Pemkot Semarang 2013, Direktur Eksekutif SMARTA School Semarang, Tim Asesor USAID Prioritas Jawa Tengah

Problem pengawai negeri sipil (PNS) memang menarik dikaji. Hal ini senada dengan tulisan Nuning Rodiyah berjudul “Misteri Rekrutmen CPNS K-2″ di rubrik ini (Harian Bhirawa, 6/3/2014). Tulisan tersebut menggambarkan adanya “kecurangan” penerimaan CPNS K2 di Jawa Timur. Sebenarnya, kecurangan tidak hanya di Jawa Timur saja, namun di Jawa Tengah dan Jawa Barat bahkan se-Indonesia juga demikian.
Pasalnya, sejak pengumuman CPNS K2 banyak unjuk rasa dilakukan guru honorer ke Balai Kepegawaian Daerah (BKD) setempat. Ini menjadi menarik dan harus segera dicari solusinya, salah satunya adalah solusi lewat “kontrak kerja”.
Wacana kontrak kerja bagi guru tidak tetap (GTT) kategori 2 (K2) yang belum lolos CPNS 2013 menjadi urgen direalisasikan. Pasalnya, sampai saat ini pemerintah belum ada formula cerdas menjawab “kegalauan” GTT. Apalagi, banyak tenaga honorer sudah mengabdi tanpa status PNS selama 5 bahkan 10 tahun lebih.
Kontrak kerja sangat solutif mengingat posisi GTT terkesan dimarginalkan. Mereka sama-sama mengajar dengan tugas dan jam sama, namun nasibnya tidak jelas karena “tidak setara” dengan gaji PNS. Karena itu, salah satu jawaban jitu menyejahterakan GTT adalah “kontrak kerja”.
Nasib GTT di beberapa kabupaten/kota sudah diumumkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Sebanyak 369 pegawai honorer K2 di Pemkot Semarang dinyatakan lolos seleksi CPNS tahun 2013. Lolosnya 369 tenaga honorer itu tertuang di situs internet Kemenpan-RB di http://cpns.menpan.go.id/.
Namun Pemkot Semarang belum memutuskan nasib honorer K2 yang tidak lolos CPNS. Pemerintah hanya membiarkan mereka untuk sementara akan tetap bertugas di instansi tempatnya bekerja. Nasibnya masih “terkatung-katung” dan ini tentu menjadi beban pemerintah dan menambah kekecewaan GTT yang belum lolos CPNS.
Banyak ketua BKD seluruh Indonesia belum ada gambaran mengenai nasib honorer K2 yang dinyatakan tidak lolos seleksi. Urusan gaji juga diserahkan kepada instansi tersebut, karena mereka tdak dibayar APBD. Seperti contoh, dari total 1.063 honorer K2 peserta tes CPNS Kota Semarang, ada 369 orang yang lolos tes atau sekitar 30%. Ini berbeda dengan hasil peserta yang lolos di kabupaten/provinsi lain yang jumlahnya di atas 500 lebih.
Syarat Baru Gelar Gr
Pemerintah selalu mendorong peserta yang tidak lolos untuk mengikuti tes seleksi CPNS lagi jalur umum. Namun, lagi-lagi pemerintah membuat kebijakan baru gelar “Gr” yang terkesan “menjegal” GTT untuk menjadi PNS.
Jika lewat jalur umum, maka GTT mau tidak mau harus memenuhi syarat gelar Gr. Artinya, GTT harus mengikuti pendidikan profesi guru (PPG) selama 1-2 tahun. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 87 Tahun 2013. Sesuai Pasal 9 Permendikbud tersebut, selama pendidikan profesi, calon guru akan menjalani lokakarya pembelajaran dan akan berlatih mengajar melalui pembelajaran pengayaan lapangan.
Tuntutan PNS guru semakin tinggi. Syarat CPNS untuk formasi guru juga semakin tinggi dan jlimet. Tak cukup hanya bergelar SPd (sarjana pendidikan) saja, tetapi juga harus bergelar guru profesi (Gr). Menurut Mendikbud Mohammad Nuh, guru baru disebut guru profesi jika sudah mengantongi gelar Gr. Artinya, lulusan Fakultas Kependidikan tanpa gelar Gr, belum diizinkan melamar menjadi CPNS guru.
Hal ini disamakan dengan profesi dokter, yang menuntut gelar profesi dokter (dr) dan tidak bermodalkan sarjana kedokteran (SKed) saja. Tetapi, M. Nuh menyatakan jika aturan ini belum akan diterapkan pada seleksi CPNS tahun ini. Seperti diberitakan, rencananya tes CPNS tahun ini digelar antara Juni hingga Juli 2014 (Kompas, 17/2/2014).
Kontrak Kerja
Selain nasib belum jelas dan menunggu kepastian, gaji tenaga K2 juga masih menjadi masalah yang belum ada solusinya. Kemen PAN-RB juga belum menerbitkan landasan hukum terkait nasib tenaga K2 yang gagal lolos CPNS. Kemen PAN-RB belum memberikan solusi resmi terkait penanganan tenaga honorer yang gagal dalam seleksi CPNS yang lalu. Mereka hanya menyampaikan bahwa instansi/pemda agar lebih lunak terhadap para tenaga honorer. Tetapi belum ada petunjuk teknis yang jelas mengenai penanganannya.
Maka, kontrak kerja menjadi penting dan urgen dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama; pemerintah/Kemen PAN-RB harus mengintegrasikan kebijakan GTT dengan undang-undang aparatur sipil negara (ASN) agar nasib tenaga honorer jelas. Pasalnya, dalam UU ASN tidak ada lagi istilah tenaga honorer. Dalam UU yang belum lama ini disahkan itu, pegawai pemerintah hanya ada dua jenis, yakni PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Intinya, status GTT dihapus dan diganti PPPK. Kedua; penanganan tenaga honorer yang tidak diterima CPNS jika memenuhi persyaratan di masing-masing instansi, mereka bisa tetap bekerja. Tetapi, Kemen PAN-RB meminta supaya mereka mendapatkan perlakuan seperti PNS, yakni mendapatkan gaji layak serta tunjangan sosial. Jika GTT tak mendapat gaji layak dan resmi seperti PNS, maka lebih baik mereka diangkat menjadi PPPK, bukan tenaga honorer. Ketiga; sampai saat ini masih banyak bupati/wali kota bahkan gubernur belum menemukan formula untuk GTT Semarang yang tak lolos CPNS. Maka, kontrak kerja bagi GTT harus segera direalisasikan, karena sistem kerja tenaga honorer bisa mengacu pada UU ASN. Dalam aturan itu pemerintah bisa membuat perjanjian kontrak kerja. Maka, sudah saatnya pemerintahan setempat se-Indonesia menerapkan sistem “kontrak kerja” bagi tenaga honorer. Keempat; dengan kontrak kerja sesuai UU ASN, pemerintah bisa menganggarkan dana dari APBD untuk gaji. Nasib tenaga honorer semakin jelas dan mendapat gaji layak daripada gaji GTT. Namun bagi GTT yang tidak mau mengikuti sistem kontrak kerja, mereka bisa mengikuti seleksi CPNS jalur umum.
Sistem kontrak kerja menjadi jalan terang dari “abu polemik GTT”. Sudah saatnya pemerintah menerapkan kontrak kerja sesuai payung hukum UU ASN. Jika tidak sekarang, kapan lagi?

Apakah Guru Harus PNS?


T
ulisan ini dimuat di Opini Harian Barometer 20 Februari 2014

Oleh Dian Marta Wijayanti, SPd
Pemerhati Masalah Pendidikan, Direktur Eksekutif SMARTA School Semarang

Tanggal 24 Desember 2013 Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah mengumumkan hasil seleksi CPNS, baik formasi umum maupun K2 (tenaga honorer). Namun untuk formasi K2 sebagian besar belum diumumkan di beberapa kabupaten/kota yang diselaraskan bulan Februari 2014 tak lama ini.
Semua peserta pasti ingin lolos. Meskipun harapannya kecil, tapi optimisme peserta cukup besar untuk menjadi PNS. Terlepas isu kecurangan tes CPNS, di sini yang perlu dikaji adalah orientasi guru menjadi PNS. Karena hakikatnya, menjadi abdi negara, guru, hakim tak harus menjadi PNS.
Status PNS sebenarnya tak terlalu penting. Karena yang substansial sebenarnya bukan sekadar to be (menjadi apa), namun guru harus berpikir to do (berbuat apa) untuk bangsa ini. Intinya, apakah mengabdi, berjuang dan mencerdaskan bangsa harus menjadi PNS? Tentu tidak. Karena tidak mungkin semua guru di Indonesia menjadi PNS.
Kagalauan Guru
            Banyak guru galau menunggu pengumuman hasil CPNS. Bahkan, mereka banyak yang berdoa dan mencari “wangsit” di berbagai tempat agar lolos tes. Inilah ambisius guru untuk menjadi PNS. Situasi ini terjadi karena kurangnya kesejahteraan dan harapn sejahtera dengan menjadi PNS. Guru merasa kurang puas atas materi yang telah didapat meskipun sudah ada sertifikasi, gaji dari sekolah dan berbagai tunjangan.
Kemurnian seorang guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa tak dapat diartikan mentah. Pahlawan butuh makan, tempat tinggal dan pemenuhan kebutuhan lain. Maka, wajar jika banyak guru menuntut kesejahteraan dan berorientasi PNS. Apalagi, mereka yang sudah mengabdi lebih dari 10 tahun tapi belum menjadi PNS, tentu sangat galau dan spirit berjuangnya surut. Inilah penyebab kegaluan guru non-PNS.
Diangkatnya guru sebagai PNS adalah wujud penghargaan pemerintah terhadap guru. Hal itu tak dapat disalahkan, karena guru sudah mengabdi pada negeri ini. Mereka harus berjuang, dari bangun pagi untuk segera bertemu siswa di sekolah, menyiapkan materi ajar, membuat RPP, mendidik siswa, sampai membantu pelajar menyelesaikan masalah pribadi.
Guru adalah insan akademis sepanjang hayat. Setiap hari guru belajar cara memahami siswa. Pada saat itulah setiap hari wawasan guru bertambah. Karena itu, tuntutan pengangkatan guru honorer menjadi bertambah besar. Tidak hanya guru honorer, pendaftar jalur umum yang didominasi lulusan fresh graduated berlomba meraih kesuksesan. Hal ini menunjukkan status PNS sangat digandrungi masyarakat. Namun, apakah menjadi guru sejati harus menjadi PNS?
Tak Harus PNS
Menjadi PNS atau swasta sebenarnya bukan alasan untuk tidak berjuang dan mengabdi. Yang jelas, guru sejati pasti mengutamakan “mengabdi tanpa pamrih” daripada sekadar mengejar “recehan”. Jika guru tak menjadi PNS bukan berarti tak sejahtera. Mengapa? Karena sudah terbukti banyak guru non-PNS masih bisa hidup sejahtera dan tidak kelaparan.
Memandang kondisi Indonesia saat ini, sangat konyol jika harus memaksa pemerintah mengangkat semua guru menjadi PNS. Meskipun hal itu akan mengecewakan calon guru PNS, tapi ini kenyataan yang terjadi harus diterima. Guru harus sadar bahwa PNS bukan puncak “kejayaan pendidik”. Namun, puncak kejayaan guru adalah ketika sukses mencerdaskan pelajar dan mencetak generasi bangsa menjadi cerdas dan bermoral.
Di kota Semarang, jumlah pendaftar CPNS SD sebanyak 1.332 untuk memperebutkan 40 formasi yang terdiri atas 35 tenaga guru SD dan 5 formasi guru STM Permesinan (SM, 31/10/2013). Dengan perbandingan 1:33, pendaftar harus sabar dan legawa jika belum lolos CPNS. Ini sangat tidak logis jika semua guru menjadi PNS, karena kesempatannya sangat kecil dan harus bersaing ketat.
Lolos atau tidak lolos seleksi bukan akhir dari segalanya, justru mereka harus menyiapkan diri ketika pengumuman. Hal ini dipersiapkan agar tidak terjadi “kekecewaan tingkat tinggi” jika hasilnya tak sesuai harapan. Artinya, menjadi PNS bukanlah tujuan tertinggi dalam pendidikan, karena hal itu hanya “alat” untuk mengabdi pada bangsa.
Dalam hal ini yang terpenting adalah spirit dan keihklasan guru mendidik. Dalam falsafah pendidikan Islam, metode diyakini lebih utama daripada materi. Guru lebih utama daripada metode. Tapi ada hal lebih utama lagi, yaitu ruh guru.  Karena jika guru tak memiliki ruh, spirit berjuang, motivasi mendidik, maka mereka pasti “setengah hati” dalam menjalankan tugasnya. Ruh guru adalah hal paling penting. Entah menjadi PNS atau tidak, tapi ruh/spirit guru tak boleh surut.
Abdi Negara
Menjadi PNS atau tidak, yang terpenting guru harus mencerdaskan dan berjuang untuk pendidikan. Sedangkan PNS adalah penghargaan pemerintah untuk meningkatkan etos kerja dan etos juang guru. Dengan status PNS, diharapkan guru semakin semangat mengabdikan dirinya pada negara. Tapi bukan berarti semangat guru non-PNS kendor. Karena guru adalah teladan. Jiak guru tidak memiliki ruh mengajar, bagaimana nasib pendidikan? Tentu semrawut.
Siswa tidak peduli guru di depannya PNS atau belum. Mereka cukup bahagia ketika guru mengajar menjadi sosok teladan, pemberi motivasi dan mampu menjadi pahlawan. Guru seperti inilah yang selalu dirindukan siswa dan masyarakat.
Jika tujuan utama PNS, dikhawatirkan guru lupa tujuan awal mendidik. Karena mendidik adalah perjuangan yang membutuhkan tenaga, pikiran dan harta, bukan justru berorientasi mendapatkan recehan. Karena guru bukanlah profesi untuk mendapatkan kekayaan, melainkan alat untuk berjuang. Menjadi guru adalah panggilan hati. Jika guru ikhlas, hal itu tidak terbayar dengan apapun, melainkan kepuasan batin dan kemulyaan di hadapan Tuhan. Meskipun ada gaji perbulan dan sertifikasi, namun perjuangan guru paling utama.  Keikhlasan guru akan memberi manfaat kepada semua kalangan. Itulah pahlawan abdi negara sejati yang mengutamakan pengabdian dan perjuangan, bukan sekadar recehan dan status PNS.
Yang penting, guru harus ikhlas, tanpa pamrih dan rela berjuang untuk umat. Guru yang ikhlas menjalankan kewajibannya berarti senantiasa mengalirkan kebahagiaan, tidak hanya pada peserta didik, tapi juga orang-orang di sekitarnya. Indonesia membutuhkan guru sejati.
Lalu, apakah PNS menjadi tujuan utama Anda? Ataukah tetap menjadi guru sejati dan berjuang dengan ikhlas tanpa status PNS? Anda punya pilihan!

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More