This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Saturday 29 November 2014

Buku Siapkah Saya Menjadi Guru SD Revolusioner?

Guru SD selama saya hidup, masih jarang yang menulis buku. Jangankan guru SD, banyak dosen dan doktor di negeri ini masih miskin karya. Ya, lewat semangat mengubah pola pikir, saya menuangkan ide dalam buku Siapkah Saya Menjadi Guru SD Revolusioner ini dengan berbagai macam sudut pandang.

Bab pertama, berisi PGSD sebagai embrio guru SD. Bab kedua, berisi konsep, wacana dan ciri serta karakter guru SD Revolusioner. Bab ketiga, guru revolusioner sebagai kunci pendidikan.

Sejak SMA, saya memang sudah suka nulis Karya Tulis Ilmiah. Saat duduk di kampus PGSD Unnes, saya juga sering ikut LKTI. Saat lulus dan kuliah di PPs Unnes, saya mencoba menulis di media massa, jurnal dan beberapa penelitian. Kini, buku Siapkah Saya Menjadi Guru SD Revolusioner menjadi buku pertama saya. Selamat membaca!

Jika ingin tahu detail sinopsisnya, baca juga Sinopsis Buku Siapkah Saya Menjadi Guru Revolusioner.

Judul : Siapkah Saya Menjadi Guru SD Revolusioner?
Penulis : Hamidulloh Ibda dan Dian Marta Wijayanti
Tebal : xi + 156 Halaman
Penerbit : Kalam Nusantara
Cetakan : Pertama, 25 November 2014
ISBN : 978-602-97319-9-6
Harga: Rp 25.000 (berhadiah 1 pena cantik)
Harga Belum Termasuk Ongkos Kirim

Tuesday 7 October 2014

Mengapa Harus 3 atau 4 Titik?

Kesannya sepele dan tidak penting. Tapi sebenarnya ini sangat penting. Banyak yang tidak mempedulikan mengapa ketika memberikan pertanyaan isian singkat bagi siswa, jumlah titik yang digunakan ada 4.
Contohnya:
1. Persamaan kata senang adalah ....
2. Nama lain dari ovipar adalah ....
Sedangkan jika jawaban ada di tengah kalimat, jumlah titik-titiknya hanya 3.
Contohnya:
Contoh hewan yang berkembangbiak secara ovovivipar adalah ... dan ....
Menurut kaidah penulisan soal, jumlah titik yang digunakan "ada" aturannya. Tiga titik dimaksudkan menggantikan kata yang ditanyakan, sedangkan satu titik merupakan penutup kalimat. Maka dari itu, jika jawaban ada di tengah kalimat jumlah titik yang digunakan hanya 3. Namun, jika jawaban ada di akhir kalimat jumlah titik yang digunakan ada 4.
Demikian tadi sedikit ulasan tentang kaidah jumlah titik dalam penulisan soal. Semoga bermanfaat.
Salam berbagi untuk kemajuan pendidikan Indonesia.


Saturday 27 September 2014

Menolak Pragmatisme Pendidikan



Tulisan ini dimuat di Koran Muria, Jumat 26 September 2014
Oleh : Dian Marta Wijayanti, S.Pd
Tim Asesor EGRA USAID Prioritas Jawa Tengah

Saturday 13 September 2014

Do The Best

Selama ini, banyak sekali hal di luar dugaan yang mau tidak mau harus aku jalani. Bahkan mimpi yang bertahun-tahun aku kejar, tak sedikit pula yang kabur begitu saja. 

Kecewa
Jujur, rasa kecewa tentunya ada. Tapi, apa gunanya memelihara "kekecewaan". Bukankah yang pergi itu hanya "sekadar" mimpi, sedangkan yang ku jalani ini adalah "kenyataan".
Ya, pernyataan itulah yang seringkali membangunkanku ketika dada ini terasa sesak menyesali beberapa hal yang telah berlalu. Saya bukanlah manusia yang pintar, saya hanya punya "usaha". Karena saya yakin, setiap hal yang kita dapatkan saat ini hasil hasil tanam di masa lalu. 

Do the Best
Do the best adalah satu-satunya jalan yang bisa dilakukan. Ya, dalam setiap hal. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri kita di hari esok. Melakukan yang terbaik tentu menjadi "kewajiban". Karena yang namanya kesuksesan hanya diri kita dan Tuhan yang dapat menjaminnya. Tidak bagi yang lain. Seberapapun besar orang lain menolong, jika kita hanya berleha-leha tentu kesuksesan "enggan" mendekati kita. Berbeda dengan kondisi ketika seseorang memiliki "secuil potensi" tapi rajin mengasahnya. Tentu setelah do the best ia akan get the best dan Insya Allah be the best pula.

Thursday 4 September 2014

Keniscayaan Guru Menulis



 Tulisan ini dimuat di Koran Muria 4 September 2014

 Oleh Dian Marta Wijayanti, SPd
Tim Asesor EGRA USAID Prioritas Jawa Tengah, Mantan Guru Karya Ilmiah Remaja (KIR) SMP Nasima Semarang

Jika kamu bukan anak raja dan anak ulama besar, maka menulislah. (Imam al  Ghazali). Kalimat tersebut sangat tepat dijadikan motivasi kaum pendidik untuk rajin menulis. Guru hebat tak sekadar memiliki gelar tinggi dan sukses melahirkan generasi berkualitas. Namun, guru berkualitas adalah rajin menulis, baik artikel, karya ilmiah dan buku, serta menularkan spirit dan budaya menulis pada pelajar.
Menulis bagi guru atau kaum akademis adalah “keniscayaan”. Apalagi, hampir setiap hari guru dihadapkan pada tulisan-tulisan. Sangat aneh jika guru tidak bisa menulis. Maka, guru wajib menciptakan tulisan, baik hasil penelitian, pengabdian, modul, buku, artikel di media massa maupun online. Tulisan guru seharusnya bukan hanya berbentuk administrasi kerja, apalagi sekadar SMS dan tulisan di jejaring sosial.
Guru menulis dan melek teknologi sangat diharapkan pemerintah. Namun, sangat lucu jika yang dikuasai hanya facebook, twitter dan jejaring sosial lainnya. Menulis di jejaring sosial sangat tidak bermanfaat di dunia pendidikan. Bahkan, jika tulisan di jejaring itu dihimpun jadi buku, pasti tulisan satu minggu saja sudah menjadi satu buku.
Ironisnya, saat ini guru tak rajin menulis karya ilmiah, namun justru “rajin menulis di jejaring sosial.” Padahal, orientasi mereka hanya “ajang narsis”, eksistensi dan “membual belaka”. Narsisme guru tak cukup di dunia maya, namun lebih bermanfaat jika menulis karya di dunia pendidikan.
Keniscayaan
Selain membaca, mengajar, rapat dan diskusi, publikasi tulisan di media massa juga menjadi kewajiban bagi guru. Artinya, guru yang menulis berarti rajin membaca dan yang rajin membaca tentu berwawasan luas. Hanya guru pemikir dan berwawasan luas yang bisa memajukan pendidikan. Itulah alasan menulis menjadi keniscayaan. Karena guru adalah “mercuar pembangunan” pendidikan. Apalagi, saat ini banyak media massa memberikan ruang khusus bagi guru penulis untuk meludahkan idenya. Jika guru tak bisa menulis, dunia pendidikan menjadi stagnan, gelap, lalu mati.
Rata-rata guru di Indonesia berpendidikan minimal S1. Tentunya, mereka mengenal tugas akhir (TA), skripsi atau tesis. Sayangnya, budaya menulis di kampus hanya berakhir di toga wisuda. Setelah mendapat gelar dan ijazah, mereka malas belajar dan menulis. Padahal, jika guru menulis, banyak potensi kemajuan dicapai, baik manfaat pribadi maupun sumbangsih pada sekolah dan bangsa.
Menulis merupakan pekerjaan mudah dan murah, karena saat ini banyak fasilitas pendukung seperti modem, laptop dan media lainnya. Namun, masih banyak guru “buta tulisan”. Padahal untuk kenaikan pangkat, guru harus membuat penelitian yang hasilnya dipublikasikan di jurnal ilmiah. Artinya, hampir semua syarat kesejahteraan guru dititikberatkan pada tulisan.
Selain itu, guru yang berhasil menyusun modul juga medapat poin tersendiri. Kenyataan di lapangan, banyak guru senior “kebingungan” ketika dihadapkan pada tulis-menulis. Bukan karena mereka tak memiliki ide/gagasan, namun tak terbiasa menulis adalah faktor utama, sehingga mereka kesulitan dalam menyusun huruf, kata, kalimat dan tulisan. Karena itu, menulis harus diwajibkan untuk memacu geliat belajar lebih banyak lagi.
Menulis seharusnya menjadi kewajiban akademik, bukan sekadar syarat administratif, mengejar recehan serta ajang gengsi. Namun, guru menulis harus mengutamakan kualitas akademik, sarana berdakwah dan mengabadikan budaya ilmiah. Karena, tak ada ilmuan dikenang tanpa tulisan, begitu pula guru. Jika guru tak bisa menulis, maka sama saja mereka menjadi intelektual menara gading” yang tak mau mengamalkan ilmu lewat tulisan dan menyumbangkan ide untuk umat.
Menulis itu Ibadah
Ali bin Abi Thalib pernah berkata “Tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat nanti”. Artinya, semua guru pasti mati, dan hanya ide, pemikiran serta karya yang menjadi abadi sepanjang masa, karena dibaca dan diamalkan manusia. Maka, sebenarnya menulis adalah ibadah, karena dengan tulisan, ide dan ilmu bisa mencerahkan manusia.
Loyalitas guru hakikatnya tak hanya dalam kemampuan mengajar, namun kemampuan menulis dan pengembangan potensi diri juga menjadi loyalitas peningkatan pendidikan. Jika menulis itu ibadah, maka menulis adalah alat bagi guru beribadah dan berbuat baik lebih banyak lagi untuk mendorong kemajuan pendidikan.
Secara generik, manusia tidak sekadar “homo sapiens” atau makhluk berpikir. Namun, menurut Ernst Cassirer, manusia adalah animal symbolicum atau makhluk yang menggunakan simbol bahasa dalam kehidupan. Maka, guru sebagai kaum terdidik harus mampu mengatur simbol-simbol secara sistematis untuk membuat tulisan bermanfaat. Tidak harus dalam bentuk jurnal, penelitian, atau buku, namun menulis artikel di media massa merupakan alternatif nyata pengembangan kemampuan akademik guru.
Imbauan
Budaya menulis di kalangan guru harus diwajibkan dan ditingkatkan. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, pemerintah perlu mempertegas regulasi penulisan karya ilmiah. Mengapa demikian? Pasalnya, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 20 ayat 2 tentang Guru dan Dosen (UUGD) selama ini substansinya belum maksimal. Padahal, amanat UU itu mewajibkan menulis buku dan memublikasikan karya ilmiah.
UUGD juga mengharuskan seluruh tenaga pendidik bersertifikat demi menjamin kualitas pendidikan. Sertifikasi guru merupakan standardisasi kompetensi dan salah satu syarat mengikuti sertifikasi, salah satunya membuat karya ilmiah. Jadi, sangat logis jika guru wajib menulis. Dalam hal ini, guru bisa menulis pengalaman mengajar. Jika satu guru menulis satu halaman folio setiap Minggu, maka satu tahun satu guru bisa menghimpun 48 halaman. Jika di dalam sekolah ada sepuluh guru, maka terkumpul 480 halaman.
Kedua, guru perlu memproduksi karya melalui organisasi profesi seperti kelompok kerja guru (KKG) dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP). Keberadaan organisasi ini sangat mendukung guru menulis, baik bentuk modul, LKS maupun buku.
Ketiga, pemerintah harus memfasilitasi tulisan guru. Fasilitas tak harus dalam bentuk laptop atau komputer, karena sekarang hampir semua guru memiliki alat itu. Setidaknya, pemerintah membuat wadah penampung tulisan-tulisan guru. Seperti majalah edukasi, tabloid pendidikan, koran guru, lomba-lomba menulis atau jika perlu membuat penerbitan khusus guru.
Guru harus menulis agar menjadi teladan. Yang lama bukan waktu untuk menulis, tapi memutuskan menulis saat ini atau tak menulis selamanya. Jadi, sudah saatnya guru menulis, karena hanya dengan menulis, guru menjadi pendidik yang kaffah dan abadi.

Wednesday 27 August 2014

Desakralisasi Gelar Akademik


Oleh Dian Marta Wijayanti, SPd
Lulusan Terbaik Jurusan PGSD Unnes pada April 2013,
CPNS Formasi Guru SD Kota Semarang, Mahasiswi Pascasarjana Unnes
Dimuat Solopos, 07/03/2014.

Gelar akademik hakikatnya sakral dan tidak sekadar permainan, polesan dan “hasil membeli”. Sayangnya, dewasa ini banyak yang menyalahartikan gelar tersebut. Bahkan, tidak jarang menggunakan “gelar akademik” sebagai alat kejahatan, politik dan “ajang narsis” belaka.

Fenomena itu terjadi karena gelar hanya dijadikan sebagai “tujuan”, bukan alat untuk melakukan kebaikan lebih banyak lagi. Karena hanya dianggap sebagai tujuan, banyak orang yang menempuh berbagai cara untuk mendapatkan gelar yang dikehendaki. Pihak yang tidak bertanggungjawab juga banyak memanfaatkan “candu gelar” dengan menjual gelar akademik kepada orang-orang yang membutuhkan.

Gelar yang diperoleh dengan cara tidak semestinya tentu tidak akan barokah. Penyalahgunaan penggunaan gelar sering kali terjadi. Bahkan yang sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini adalah kasus Raja Dangdut Rhoma Irama. Gelar profesor yang disematkan kepada pedangdut Rhoma Irama seharusnya diuji penyetaraan terlebih dulu di dalam negeri. Jika ternyata gelar Rhoma tidak terbukti valid, menurut Mendikbud M Nuh, bisa saja Rhoma dipidana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Solopos, 27/02/2014).
Baru-baru ini, kasus Anggito Abimanyu yang mengundurkan diri sebagai dosen UGM atas kasus plagiarisme juga dapat dijadikan peringatan. Sebagai teladan, hendaknya dosen memberikan contoh baik, bukan sebaliknya seperti ini. Kasus tersebut mengisyaratkan bahwa gelar dosen pun harus disakralkan. Sehingga memperoleh gelar “doktor” dan “profesor” tidak dapat disamakan seperti proses pembuatan “mie instan” yang sekali rebus langsung jadi.
Pemerolehan titel tentu melalui proses panjang. Tidak tiba-tiba seseorang hadir sebagai “tokoh” dengan gelar yang tidak jelas asal-usulnya. Apalagi jika gelar tersebut diperoleh dari perguruan tinggi luar negeri. Tentu tanda tanya besar akan muncul di benak masyarakat. Kapan tokoh itu kuliah? Di mana beliau kuliah? Sudah baikkah akreditasi perguruan tinggi tempat tokoh itu belajar? Hal itu harus jelas legitimasi dan payung hukumnya.
Kasus lainnya, kenyataan “gila gelar” juga terjadi pada calon legislatif (caleg) Pemilu 2014. Dari baliho di pinggir jalan terlihat dari mereka yang memperlihatkan rentetan gelar. Bahkan, kelucuan terjadi ketika ada caleg yang menuliskan “kandidat doktor” pada balihonya. Kesombongan, kedangkalan berpikir dan ajang narsis dan terlihat dari  fenomena ini. Mereka yang jelas-jelas belum dinyatakan lulus berani-beraninya memamerkan gelar yang belum resmi untuk menarik suara masyarakat.
Gelar Akademik dan Amanah
Kondisi gelar dagelan sangat kontras dengan kondisi zaman dulu. Gelar akademik adalah sesuatu yang sakral dan mengandung amanah besar. Bahkan, banyak orang yang merasa takut ketika gelar sudah diberikan. Berani menggunakan gelar berarti siap mempertanggungjawabkan kompetensi sesuai bunyi gelar. Sehingga gelar yang digunakan seharusnya tidak hanya “gengsi-gengsian”, melainkan sebagai wujud kesiapan mengabdi pada bangsa dan negara.
Gelar tidak bisa terlepas dari amanah. Para tokoh dengan gelar tinggi seharusnya bisa menjadi teladan bagi masyarakat pada umumnya. Di negara ini, tokoh dianggap sebagai seseorang yang “luar biasa”. Dari kemampuan, tentu mereka yang bergelar tinggi mempunyai kemampuan lebih dibandingkan orang lain. Tapi, kenyataan menyalahgunaan gelar yang marak terjadi dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap perguruan tinggi. Ibarat pepatah “karena nila setitik rusak susu sebelanga”, tokoh-tokoh nakal telah menodai hakikat dan nilai sakral suatu gelar.
Andai saja semua yang bergelar “sarjana”, “magister”, “doktor”, dan “profesor” dapat menyatu dan bertanggungjawab pada masyarakat, tentu rakyat akan sangat menghargai gelar yang melekat. Sebenarnya bukan masalah “dihargai” atau “tidak dihargai”, tapi kepercayaan masyarakat terhadap kesakralan gelar perlu dihidupkan kembali. Jangan sampai amanah yang tertulis dan menyatu pada nama hanya sebatas “pantas-pantasan” atau “formalitas” saja.
Kualitas dari gelar itu yang harus diperbaiki. Tidak mustahil jika yang lulusan SMA lebih mahir dibandingkan lulusan sarjana maupun magister. Semua itu sangat mungkin terjadi karena adanya “keuletan” dan “kemauan keras” untuk menjadi lebih baik. Hal yang tidak ditinggalkan adalah “pertanggungjawaban” terhadap gelar yang dimiliki.
Harapan
Semakin banyaknya perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, diharapkan dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Dengan berbagai gelar di bidang pendidikan, ekonomi, hukum, humaniora dan sebagainya dari jenjang sarjana, magister, dan profesor diharapkan semuanya bertanggungjawab di bidangnya masing-masing. Tidak ada kesalahan ketika ahli pendidikan, ekonomi, hukum, budaya, seni mencalonkan diri sebagai perwakilan kursi legislative, namun mereka siap bekerja dan berjuang untuk aspirasi rakyat.
Penghayatan terhadap nilai-nilai spiritual perlu dikembangkan untuk menjadi manusia berkualitas. Dengan nilai spiritual, tentu manusia akan lebih menyadari bagian-bagian yang menjadi tugasnya. Karakter dapat berkembang sesuai lingkungan. Bisa jadi diawal seseorang memiliki karakter baik. Namun, ketika jabatan berada di genggaman, mata pun silau untuk menguasai hal-hal yang tidak menjadi haknya. Sehingga kejahatan akademik dengan penipuan gelar pun dilakukan, maka hal itu harus dicegah sedini mungkin.
Indonesia adalah negara besar dengan keanekaragaman. Nilai-nilai perbedaan yang mendasari jiwa kebangsaan hendaknya melekat pada sanubari orang-orang terdidik dengan gelar akademik yang disandangnya. Dengan menjadikan gelar sebagai alat menuju kebaikan, Indonesia akan menjadi negara unggul dengan SDM yang revolusioner. Gelar akademik akan tetap menjadi perihal yang “sakral” asal nilai spiritual menjadi bagian di dalamnya. Menjaga kesakralan gelar akademik adalah tanggung jawab kita bersama!

Masukkan Saja Pendidikan Seks dalam Kurikulum



Oleh Dian Marta Wijayanti SPd
Guru SDN Sampangan 01 Kota Semarang, Lulusan Terbaik PGSD Unnes 2013,
Direktur SMARTA School Semarang
Dimuat Koran Barometer 23 Mei 2014

Sebagai bahan refleksi, selama ini tak ada mata kuliah pendidikan seks untuk mahasiswa program kependidikan di kampus pencetak calon guru. Pasalnya, yang terjadi baru parsial dan sporadik, tersebar secara acak dan informal pada beberapa aktivitas diskusi, seminar dan sejenisnya.

Kasus pelecehan seksual yang banyak terjadi di sekolah memang menggelitik untuk dikritisi. Salah satunya adalah sudah siapkah para “aktor” di sekolah mengayomi dan mendidik siswa? Sementara banyak kelainan menggerogoti para pelaku nakal di sekolah.

Tampaknya hal seperti ini harus segera mendapat tanggapan dari Kemdikbud. Khususnya untuk memasukkan “pendidikan seks” di kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Pasalnya, pendidikan seks harus dipahami calon guru sebelum mereka terjun dan berhubungan intens dengan siswa di sekolah.
Tidak ada yang “tiba-tiba” untuk calon pencetak generasi penerus bangsa. Calon guru harus dicetak matang sampai tahap afeksi agar terhindar dari kasus yang akhir-akhir ini mencoreng wajah pendidikan Indonesia. Meskipun tampak agak berlebihan, pada kenyataannya “pendidikan seks” memang penting untuk diberikan. Bukan mengajari bagaimana cara mahasiswa (calon guru) memainkan seks, melainkan membuka mata hati calon guru untuk mengenal dan menanggapi seks secara “cerdas”.
Pendidikan Seks
Sebelum mendidik siswa di sekolah, calon guru harus mengenal dirinya terlebih dahulu. Calon guru harus paham bagaimana cara bersikap yang baik dan sopan tanpa membuat batasan berarti antara guru dan siswa. Jika hubungan antara guru dan siswa terlalu jauh tentu kurang baik. Guru dan siswa harus memiliki kedekatan batin agar tercipta kenyamanan selama pembelajaran. Namun, “kedekatan” dalam hal ini memiliki batasan-batasan tertentu. Terutama jika ada perbedaan gender antara guru dan siswa.
Guru harus paham sejauh mana dan dalam hal apa kedekatan antara guru dan siswa “boleh” dijalin. Pasalnya, hal itu sering dilalaikan ketika interaksi sudah terjalin. Maka dari itu pendidikan seks urgen diberikan di LPTK. Guru juga harus tahu bagaimana cara menjaga ucapan dan tindakan agar “pelecehan seksual” tidak terjadi di lingkup sekolah. Mengingat guru seharusnya menjadi contoh dan cahaya terang bagi siswa. Sangat tidak etis jika guru justru menjerumuskan masa depan siswa ke dalam lembah hitam.
Pendidikan seks di LPTK memang sudah terintegrasi dalam mata kuliah. Namun, belum ada mata kuliah khusus untuk konsentrasi pembahasan ini. Hanya beberapa dosen yang sudah menyentuh pendidikan seks di tengah perkuliahan. Selayaknya pendidikan kewirausahaan dan pendidikan antikorupsi yang dianggap urgen untuk direalisasikan, mata kuliah “pendidikan seks” juga dinantikan implementasinya.
Banyaknya orang tua yang mulai “was-was” merasa tidak tenang meninggalkan anaknya yang masih kecil di sekolah, jelas menunjukkan kepercayaan orang tua terhadap sekolah telah berkurang. Ujaran orang tua melarang anak-anaknya dekat dengan guru “laki-laki” (misalnya), merupakan “benteng” yang dibangun orang tua untuk menjaga anak-anaknya.
Jika kondisi seperti ini terus berlanjut, yang dikhawatirkan akan terjadi adalah tujuan pembelajaran tidak tercapai. Celah antara guru dan siswa menyebabkan guru “tidak bebas” mendidik anak-anak di sekolah. Artinya, peran guru dalam membimbing siswa menjadi serba terbatas karena tingkat “kecurigaan” orang tua yang terlalu tinggi. Padahal, tidak semua guru menjadi monster. Ibarat dibuat perbandingan, dari seribu guru belum tentu ada satu guru yang menderita “pedofilia”. Maka untuk menyelamatkan kepercayaan orang tua kepada sekolah, calon guru perlu mendapat pendidikan seks di LPTK.
Harapan
Indonesia butuh calon guru yang yang tidak hanya cerdas tapi juga beretika. Salah satu etika yang penting dimiliki untuk saat ini adalah menjauhkan diri dari tindakan pelecahan seksual. Berbagai kasus dapat dijadikan refleksi bagi calon guru dan guru atas pribadi masing-masing.
Meskipun terdengar agak “tabu”, ada harapan besar jika “pendidikan seks” dapat dimasukkan ke dalam kurikulum LPTK. Meskipunn hanya 2 atau 4 sks tentu mata kuliah “pendidikan seks” lebih berarti dibandingkan tidak ada sama sekali. Jika pendidikan seks telah dilaksanakan di LPTK, tentu calon guru telah memiliki bekal agar menghindarkan dirinya dari berbagai perilaku tidak layak.
Sebagai pelindung bagi anak didik, guru harus mampu menjauhkan diri dari status “pelaku pelecehan seksual”. Selain itu, guru juga dapat mengarahkan siswa agar terhindar dari monster-monster pedofilia. Karena bagaimana pun, seringkali “kesempatan” lebih banyak memancing para “pelaku” dibandingkan hanya sebatas “niat pelaku”.
Memberikan bekal kepada siswa untuk bersikap sopan dan menghargai diri sendiri harus ditanamkan sejak dini. Dengan menghargai diri sendiri, siswa agar menjaga ucapan, cara berbicara, cara berpakaian, serta polah perilaku.
Inti dari sebuah “pancingan” adalah ketika “kail” yang dilemparkan menarik tanpa pandang ukuran. Begitupula dengan pengidap pedofilia. Jika ada yang menarik, tentu mereka tertarik. Namun jika objek sasaran yang ada mampu menjaga diri tentu kesempatan untuk bersikap nakal akan berkurang.
Banyaknya kasus yang terungkap, membawa para aktivis pendidikan untuk segera mengambil tindakan agar tidak ada kasus-kasus serupa yang baru di negeri ini. Indonesia butuh “tindakan”, tidak hanya sekadar “rancangan”. Peran dari tokoh-tokoh ternama di negeri tentu akan membuat kebijakan-kebijakan baru dapat segera terealisasikan. Maka dari itu, perlu adanya dukungan agar pendidikan seks di LPTK dapat dipraktikkan dan membentuk generi calon pendidik yang berkualitas.
Pendidikan seks di LPTK merupakan salah satu alternatif solusi untuk secuill permasalahan yang dihadapi negara ini. Tetap bertahan dan melihat pelecehan seksual anak, atau melakukan usaha reseptif untuk mengurangi kasus-kasus pelecehan seksual di sekolah. Pendidikan seks di LPTK adalah harapan baru untuk pendidikan Indonesia.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More