This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday 20 December 2013

GBHN dan Kedaulatan Ekonomi

Artikel dimuat di Suara Karya 17/12/2013 dan Koran Jakarta 18/12/2013 (kekhilafan artikel kembar)
Oleh: Dian Marta Wijayanti

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) selama ini terkubur. Padahal, spirit nasionalisme, berbangsa, dan bernegara terselip di dalamnya. Maka Kongres Kebangsaan yang digagas Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) harus ditindaklanjuti dengan berbagai gerakan revolusioner untuk menghidupkan kembali GBHN sebagai kekuatan negara.

Negara kehilangan power di tengah badai globalisasi. Akhirnya, ekonomi yang berkembang di Indonesia sudah jauh dari kerakyatan dan Pancasila. Kongres Kebangsaan diharapkan bisa melahirkan kembali GBHN. Gagasan menghidupkan kembali GBHN harus direspons positif semua kalangan, tak hanya dari para tokoh dan pimpinan partai. Insan pendidikan dan ekonom harus ikut serta menghidupkan kembali GBHN.

Kongres Kebangsaan di Jakarta, Selasa (10/12), dihadiri beberapa kalangan dan lembaga seperti Panglima TNI, Ketua DPR, Ketua Mahkamah Konstitusi, dan Ketua Mahkamah Agung (MA). Setelah ketua lembaga negara memaparkan pandangannya, dilanjutkan ketua umum partai politik.

Semua harus menyambut baik. Pemerintah, parpol, ormas, dan kalangan lain perlu menindaklanjuti gagasan dihidupkannya GBHN agar ada arah pembangunan ekonomi bangsa. Logika penghidupan GBHN sangat kuat karena landasan pembangunan saat ini dirasakan tidak efektif, tanpa haluan.

Ketua parpol sangat mendukung GHBN dilahirkan kembali. Ada beberapa alasan logis untuk melahirkan GHBN kembali, di antaranya Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang belum mengakomodasi sebuah pedoman pembangunan dan menyulitkan program pemerintah untuk berjalan secara berkelanjutan.

Haluan negara yang baru dapat mengarahkan rencana pembangunan secara teratur dengan jangka waktu tepat.

Indonesia perlu memperbaiki kualitas bernegara. Maka tidak adil kalau GBHN diganti konsep Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang dibuat, dikontrol, dan dinilai pemerintah sendiri. GBHN perlu agar ada acuan arah pembangunan.

Catur Sukses Pembangunan Nasional yang diharapkan tercapai pada tahun 2045 salah satunya didukung dengan GHBN. Rangkaian pencapaian kesejahteraan dibagi dalam tiga dekade yakni 2015-2025, 2025-2035, dan 2035-2045 dengan satu capaian yang sifatnya kuantitatif dan kualitatif. Karena tak ada lagi GBHN, akibatnya pembangunan disesuaikan dengan visi-misi presiden terpilih.

Selain itu, UU dirasa semakin rancu karena bentuk pemerintahan tak jelas, presidensiil atau parlementer. Ke depan, hal itu harus ditata kembali. Perlu juga diubah butir-butir yang tidak sesuai dengan Pancasila.
UU pun dirasa perlu ditata ulang karena pascareformasi banyak sekali peraturan dalam perundang-undangan tidak prorakyat.

Di sisi lain, stabilitas keamanan dan politik juga penting. Tanpa stabilitas politik dan keamanan tak mungkin pembangunan berjalan. Negara harus mengedepankan kepentingan nasional. Pemerintah harus berani melawan kontrak yang tak sesuai dengan nasionalisme Indonesia.

Kadaulatan Ekonomi

Ekonomi menjadi faktor utama yang harus dibenahi karena selama ini sistem ekonomi kapitalistik dan neoliberalisme. Padahal, Indonesia membutuhkan ekonomi kerakyatan sesuai konstitusi dan Pancasila. Ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi.

Selain itu, ekonomi kerakyatan sangat bertolak belakangan dengan sistem neoliberalisme yang bertujuan utama mengembangkan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas. Ekonomi kerakyatan disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara.

Lalu bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Indonesia harus segera mewujudkan kedaulatan ekonomi seperti melalui pengembangan koperasi. Ide besar Bung Hatta ini harus direalisasikan dengan tegas karena lewat koperasi Indonesia bisa membangun ekonomi.

Semua pengembangan dan pengelolaan BUMN harus berbasis kerakyatan dan tolak kaum kapitalis penjajah. M Yudhie Haryono (2013) menjelaskan pentingnya pengelolaan BUMN dari, oleh, dan untuk rakyat. Jadi, bukan untuk kaum penjarah yang menindas rakyat.

Semua pemanfaatan hasil bumi, laut, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini untuk memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta memelihara fakir miskin dan anak telantar. Formula tersebut bisa ditegakkan dengan demokrasi ekonomi.

Indonesia harus memperkuat ekonomi kerakyatan dan agar ekonomi nasional tidak mudah terimbas ketika terjadi krisis dari sejumlah negara. Maka, pemerintah harus memberi perhatian lebih untuk sektor riil, di antaranya pertanian dan perikanan guna menggerakkan ekonomi di daerah.
Indonesia harus bisa mengamankan pangan dalam negeri sebab bila pemerintah tidak mampu mengamankan pangan dalam negeri, andaikan terjadi krisis keuangan atau ekonomi, bisa berdampak buruk. Hal itu sudah jelas tertera pada GBHN.

Haluan negara yang mengacu pada Trisakti Bung Karno sudah jelas bahwa bangsa ini akan berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara kebudayaan. Itulah yang harus diimplementasikan dalam kebijakan agar masa depan Republik ini lebih baik.

Pemerintah perlu menetapkan pedoman baku semacam GBHN yang mengamanatkan secara tegas pencapaian kemandirian pangan dan energi. Kebergantungan Indonesia yang sangat tinggi pada impor pangan, mencapai 12 miliar dollar AS setahun, dan impor bahan bakar minyak (BBM) sekitar 150 juta dollar AS per hari, menyebabkan defisit transaksi berjalan kian lebar. Indonesia juga harus menegaskan kembali, ekonomi harus berpijak pada Pancasila.

Ibu, Guru Revolusioner untuk ABK



Tulisan ini dimuat di Opini Harian BAROMETER 16 Desember 2013

            Anak berkebutuhan khusus (ABK) seharusnya mendapat perhatian serius, khususnya dari ibu. Karena, selama ini ABK masih dipandang sebelah mata dan kurang terurus, baik pendidikan maupun masa depannya. Padahal, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan kesejahteraan sama.
            Selama ini, penanganan ABK lebih diamanahkan di lembaga pendidikan tertentu, seperti SLB, homeschooling, dan lembaga psikolog/pendamping ABK. Pendidikan itu bisa dinikmati anak jika orangtua mereka mampu. Namun, bagaimana nasib anak yang orangtuanya tak mampu? Tentu memprihatinkan. Maka dari itu, peran ibu menjadi sangat urgen. Karena hakikatnya, ibu adalah “guru revolusioner” dalam kehidupan manusia. Ibu adalah orang yang paling mengerti kondisi, sifat, karakter, dan hitam putihnya anak. Masa depan anak sangat ditentukan ilmu dan kasih sayang dari ibu.
            Jumlah ABK di negeri ini semakin banyak. Ironisnya, mereka tidak mendapatkan pendidikan khusus, pengembangan potensi, serta penggemblengan intelektual seperti anak lainnya. Padahal, fakta di lapangan membuktikan ABK memiliki potensi luar biasa untuk dikembangkan. Jika menunggu kesiapan sekolah formal untuk menampung ABK, tentu banyak biaya. Maka, mau tidak mau ibu harus siap menjadi guru revolusioner bagi anak.
Nasib ABK
Menurut data terbaru, jumlah ABK di Indonesia tercatat mencapai 1.544.184 anak, dengan 330.764 anak (21,42 persen) berada dalam rentang usia 5-18 tahun. Dari jumlah itu, hanya 85.737 anak berkebutuhan khusus yang bersekolah. Artinya, masih terdapat 245.027 anak berkebutuhan khusus yang belum mengenyam pendidikan di sekolah, baik sekolah khusus ataupun sekolah inklusi.
Tugas mengurus ABK sebenarnya tanggung jawab bersama. Namun, saat ini masyarakat sudah memahami keberadaan ABK. Buktinya, banyak orangtua menyekolahkan anaknya di SLB maupun homeschooling. Tujuannya agar anak mendapatkan pendidikan, pembinaan, dan perlakuan khusus.
Stigma ABK sebagai “kelainan” sudah mulai luntur. Publik menyadari ABK juga bagian dari masyarakat. Mereka membutuhkan kehidupan sama seperti anak-anak pada umumnya, termasuk dalam pendidikan. Zaman dulu, ABK dianggap bagian yang memalukan dan menjadi “aib” bagi keluarga. Tapi saat ini, keberadaan ABK telah diakui sebagai anugerah Tuhan yang dilahirkan berbeda namun memiliki potensi luar biasa.
ABK mendapat hak pendidikan sama seperti manusia umumnya. Namun sayangnya, banyak sekolah belum siap menerima keberadaan mereka, begitu pula sekolah inklusi. Di sekolah inklusi, rata-rata belum siap menangani ABK. Bahkan, anak dibedakan dari pergaulan teman-teman di sekolah. Mereka dicibir dan diacuhkan dari pergaulan kehidupan. Maka, peran ibu sangat penting bagi ABK, terutama dalam pemilihan tempat belajar.
Peran Ibu Revolusioner
Bagi anak, ibu merupakan guru kehidupan. Dari masa prenatal sampai anak lahir di dunia, ibu menjadi orang pertama dikenal anak. Layaknya guru, ibu memiliki tujuan jelas bagi buah hatinya. Semua ibu berharap perkembangan edukatif pada anak, terutama pada ABK. Maka, kehadiran ibu revolusioner sangat dibutuhkan untuk mengedukasi ABK.
 Dalam kaca mata edukatif, ibu revolusioner adalah perempuan yang siap bangkit dan berjuang menghidupkan keraguan bagi perkembangan anaknya. Pasalnya, hakikat “sekolah ABK adalah semua yang bukan sekolah”. Sekolah natural berbasis keluarga sangat dibutuhkan  mereka untuk mencapai kemandirian hidup. Hal itu sejalan dengan Pasal 51 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa anak penyandang cacat fisik/mental diberikan kesempatan sama dan aksesibilitas memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
Namun, fakta di lapangan berkata lain, banyak ibu ABK yang pesimis pada potensi anak mereka. Bahkan, ada yang merasa kehidupan anaknya telah berakhir ketika terdeteksi ABK. Hanya kekurangan ABK yang dilihat. Mereka tak yakin setiap anak lahir pasti memiliki potensi hebat sebagai amanah Tuhan. Rasa pesimis itulah yang harus segera dihapus. ABK bukanlah kondisi yang patut dikasihani, tetapi ABK memerlukan bantuan orang di sekitarnya untuk menemukan jati diri dalam mengembangkan potensi pribadinya.
Untuk menemukan potensi hebat, anak membutuhkan pendidikan. Manusia dianggap sebagai manusia seutuhnya jika ia sudah mendapatkan pendidikan, begitu pula anak khusus. ABK yang telah mendapatkan pendidikan secara telaten diharapkan tumbuh menjadi manusia berprestasi. Berbeda dengan ABK yang tak mendapatkan tindakan khusus, anak akan tumbuh apa adanya tanpa perkembangan bermakna.
            Ibu yang revolusioner tentu optimis bahwa anaknya tumbuh menjadi manusia luar biasa. Dari rasa optimis itu, ibu akan memilih pendidikan tepat. Bahkan, mereka menjadi guru sendiri bagi ABK. Maksud pendidikan yang tepat di sini tidak hanya pada pendidikan formal, namun ranah informal dan non formal juga penting.
Mengembangkan ABK
Peran ibu sangat diperlukan pada pendidikan informal bagi ABK. Ibu tak butuh pendidikan mengurus anak. Namun, ibu membutuhkan informasi mengembangkan bakat anak. Banyak ibu yang masih belum bisa terima dengan kondisi ABK. Sehingga, banyak yang acuh dan membedakan anaknya. Bukan berarti tidak sayang, namun kesiapan menerima kenyataan adalah salah satu faktornya. Rasa malu, bingung, takut, serta khawatir seringkali menjadi bayang-bayang ibu ABK.
Ada beberapa hal sederhana yang perlu dilakukan ibu ABK. Pertama, senyum kasih sayang. Kemurnian senyum ibu sangat penting bagi anak. Senyum tulus tentu memberikan motivasi bagi anak. Dengan senyum, keberadaan anak lebih diakui. Apalagi, jika senyum itu ditambah sentuhan, pelukan, ciuman dan cinta tulus.
Kedua, ibu perlu mengenal yang disukai ABK. Karena, setiap anak hidup dalam keunikannya. Ada anak-anak suka menggambar, menyanyi, bermain musik, menulis, dan sebagainya. Dengan mengetahui potensi, ibu dapat memfasilitasi bakat anak. Fasilitas tak harus barang mewah. Namun, barang-barang sederhana yang sekiranya dapat menunjang sangat berharga bagi anak.
Ketiga, ibu memberikan ruang bagi anak untuk berkreasi. Salah satu bentuk kreasi itu dapat dilakukan di sekolah. Anak dapat berinteraksi dengan teman-teman dengan berbagai karakter. Namun, banyak ibu khawatir melepaskan anak spesialnya. Padahal, terlalu mengekang anak, sebenarnya tak baik. Ketika anak diberi kesempatan berkreasi, anak lebih bahagia dan menemukan pengalaman bermakna. Pengalaman itu bukan tak mungkin mencetak prestasi. Hal itulah yang diharapkan muncul pada ABK. Melalui keterbatasan, ibu dapat mencari alur prestasi bagi ABK. Karena banyak fakta berbicara bahwa ABK jika dibina mampu melebihi kemampuan anak pada umumnya.

Oleh Dian Marta Wijayanti, SPd
Wisudawan Terbaik Jurusan PGSD Unnes April 2013, Mahasiswi Pascasarjana Unnes, Guru Homeschooling ANSA School Semarang

Solusi Polemik Status GTT

SUARA MERDEKA, 12/12/2013

Menarik, membaca ’’Tajuk Rencana’’ harian ini berjudul ”Blunder Kebijakan Tenaga Honorer” yang memberi gambaran polemik kebijakan tenaga honorer, khususnya guru tidak tetap/GTT (SM, 26/11/2013). Tulisan itu menjelaskan status pegawai negeri sipil (PNS) masih jadi idaman, namun Kemen PAN dan RB menyebut, separuh PNS berkualitas rendah, dan hanya 5% dari 4,7 juta pegawai punya kompetensi khusus.

Ini sangat ironis. Ribuan GTT menuntut kesejahteraan dan materi, namun kualitas mereka rendah. Kebanyakan dari mereka hanya bertujuan pada ”recehan”, bukan pengabdian dan spirit mencerdaskan bangsa. Polemik kebijakan mengenai mereka perlu dicari solusinya, baik jangka panjang maupun pendek. Masalahnya, hal itu jadi masalah klasik tiap tahun ketika momentum perekrutan CPNS. Meskipun pemerintah sudah memberi motivasi dan peningkatan kualitas kinerja PNS, hasilnya belum signifikan. Bahkan, negara telah menghabiskan 30% APBN, 70% APBD kota/kabupaten untuk membayar gaji dan tunjangan. Realitasnya, masih banyak pegawai malas, kerja setengah hati atau hanya formalitas. GTT juga ingin memburu status PNS untuk meningkatkan kesejahteraan.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah? Apakah GTT tetap menjadi honorer ataukah harus sejahtera dengan menjadi PNS? Terlepas dari orientasi PNS, sesungguhnya GTT sangat membutuhkan napas segar dari pemerintah. Tapi tindakan itu harus tegas, cerdas, dan solutif.
Seandainya pengangkatan GTT menjadi PNS ”buntu”, pemerintah seharusnya mencari alternatif konkret. Jangan sampai mereka menjadi pendidik tanpa kesejahteraan, karena bagaimanapun mereka bagian dari pahlawan yang mencerdaskan bangsa.

Jumlah GTTsangat banyak. Khusus jenjang SMA dan SMK tercatat 806 orang. Untuk jenjang SMA 376 orang, terdiri atas GTT 121 orang dan pegawai tidak tetap/PTT 255 orang. Adapun jenjang SMK 430 orang, terdiri atas GTT 203 orang dan PTT 227 orang (Kompas, 20/11/13).
Menurut data PGRI, dari 2,9 juta guru di bawah Kemdikbud, 1 juta orang merupakan GTT. Jumlah itu tersa memprihatinkan. Selain jadi beban pemerintah, Kemdikbud, sekolah, hal itu berefek pada pembelajaran dan sistem pendidikan di sekolah. Bila bekerja tanpa kesejahteraan, pasti mereka melakukannya dengan setengah hati.

Memperbaiki SistemAda beberapa solusiyang bisa dilakukan. Pertama; pemerintah memperbaiki sistem. Artinya, sistem kepegawaian, sistem perekrutan PNS/PTT direformasi agar tidak menjadi polemik dan ”bumerang” bagi pemerintah sendiri. Kebijakan menjadi dilematis atau tidak sangat bergantung dari kecerdasan dan ketelitian pemerintah.

Kedua; perekrutan CPNS yang rawan kecurangan, semrawut dan identik kolusi dan nepotisme maka kebijakan tegas pemerintah sangat diperlukan. Jangan sampai posisi guru diisi mereka yang tidak bidangnya dan berlatar belakang tidak kependidikan/guru. Jika perekrutan guru asal-asalan, pendidikan makin semrawut dan rusak.

Ketiga; agar tidak ”blunder” dan ”dilematis”, pengangkatan GTT jadi PNS harus tepat sasaran, adil, dan sesuai kebutuhan. Bagi mereka yang masih muda harus diutamakan menjadi PNS mengingat usia masih produktif dan spirit mengajar masih tinggi. Untuk tenaga honorer K-1 dan K-2 tidak perlu diangkat menjadi PNS. Pasalnya usia mereka rata-rata sudah tua dan sangat tidak logis jika diangkat PNS karena masa kerjanya relatif pendek. Yang terpenting, mereka perlu mendapat posisi khusus dan kesejahteraan. Jangan sampai pengangkatan GTT yang berusia tua merugikan pemerintah dan sekolah.

Keempat; perlu dilegalkan regulasi agar GTT bisa ikut sertifikasi seperti guru tetap atau guru PNS. Pemerintah perlu menindaklanjuti revisi PP Nomor 74 Tahun 2005 tentang Guru. Hingga sekarang untuk disertifikasi, GTT terkendala syarat dan dipersulit aturan administrasi. Pemerintah perlu memperlakukan sama antara guru tetap dan GTT. Pasalnya, tugas mereka sama, dari membuat RPP, mengajar dan mendidik siswa yang mayoritas jumlah jamnya sama. (10)

- Dian Marta Wijayanti SPd, lulusan terbaik Jurusan PGSD Unnes April 2013, mahasiswi Program Pascasarjana Unnes

Urgensi Pendidikan Antiplagiarisme

SUARA KARYA 29 November 2013
Plagiarisme dalam dunia pendidikan sangat memprihatinkan. Pasalnya, penjiplakan karya tulis, artikel ilmiah, jurnal, skripsi, semakin merajalela dan tidak bisa dihentikan. Ironisnya, pelaku plagiarisme adalah kaum terdidik yang seharusnya menjadi contoh. Ini sangat ironis dan harus segara dituntaskan. Maka, tak ayal jika dewasa ini muncul gagasan 'pendidikan antiplagiarisme'.
Jika dihimpun, sejak 2012 hingga pertengahan 2013, lebih dari 100 dosen setingkat lektor, lektor kepala, dan guru besar tertangkap melakukan penjiplakan. Akibatnya, dua dosen dipecat dan empat lainnya diturunkan jabatannya. Selain itu, sekitar 400 PTS diketahui memalsukan data dan dokumen. (Koran Jakarta, 12/10/2013)

Kasus penjiplakan artikel, makalah, skripsi, tesis, disertasi dan karya ilmiah lainnya juga sering terjadi. Bahkan, nama kampus-kampus besar tercoreng akibat ulah plagiator. Kasus ini terjadi di UGM tahun 2000 karena seorang doktor melakukan plagiasai untuk disertasinya yang mengambil 80 persen data dan narasi dari skripsi seorang peneliti LIPI. Juga, seorang doktor FISIP UI pada 1997 menjiplak tidak kurang dari 22 karangan.(Kompas, 19/2/2010)

Fenomena ini sangat ironis. Jiwa peserta didik yang labil dan belum sadar harga sebuah tulisan membuat mereka seenaknya sendiri mengutip kalimat dari media cetak maupun online tanpa menaati kaidah. Keinginan instan dan cepat selesai membuat mereka lupa etika menulis. Padahal, taat aturan penulisan, mencantumkan sumber bukan hal sulit.

Plagiator merupakan 'penjahat intelektual'. Ironisnya, hampir semua plagiator adalah insan terdidik yang tahu etika akademik. Sayangnya, mereka tak peduli hal itu. Betapa jahatnya, orang tahu tapi tidak mau tahu, terdidik tapi melakukan kejahatan. Padahal, mereka memiliki ilmu kebaikan yang seharusnya dilakukan dalam menulis karya ilmiah.

Seringkali dosen, guru, atau praktisi pendidikan berbicara kebaikan. Namun, mereka sering menjilat perkataannya sendiri. Guru besar tentu bukan orang biasa. Karena banyak ilmu telah diterima dengan proses kualifikasi akademik yang panjang. Bahkan, tak jarang dalam beberapa seminar mereka menjadi pembicara, namun ternyata 'seorang plagiator' yang memamerkan hasil karya di depan publik. Setelah membukukan karya jiplakan itu, pembicara mengajak mahasiswa berpikir kritis dan kreatif.

Hal ini sangat berbalik arah. Mereka mengajarkan untuk berbuat baik, namun mereka sendiri adalah penjahat intelektual. Akankah hal itu berlanjut? Generasi muda adalah kunci memperbaiki dan mengurangi fenomena kejahatan intelektual. Jika dibiarkan, hal ini semakin merusak dunia pendidikan.

Plagiarisme, pada dasarnya disebabkan tidak adanya 'pendidikan antiplagiarisme'. Banyak sivitas akademika tidak tahu pentingnya menghargai tulisan orang lain, sehingga mereka melakukan copy paste. Banyak penulis ingin tulisannya terlihat 'wauw', tapi tidak banyak penulis yang ingin tulisannya bombastis dalam kemurnian hasil karyanya.

Pendidikan karakter sudah lama didentumkan dalam pendidikan. Selain itu, muncul pula istilah pendidikan antikorupsi. Namun sayang, kejelasan dari pelaksanaan kedua program itu belum terukur baik. Begitu pula pendidikan antiplagiarisme yang akan menjadi bagian dari pendidikan karakter bagi generasi muda. Diharapkan pendidikan antiplagiarisme ini dapat tersusun dan terprogram dengan baik agar plagiator-plagiator di Indonesia segera berkurang dan 'mati'. Semakin dini pendidikan antiplagiarisme dilakukan, semakin cepat pula penjahat di dunia pendidikan terhukum di sarangnya. Bagaimana caranya?

Sebelum dimasukkan ke dalam kurikulum dan menjadi mata pelajaran, pendidikan antiplagiarisme dimulai dari komunitas terkecil dari lingkup pendidikan.

Pertama, menanamkan pada diri sendiri bahwa plagiator adalah 'penjahat intelektual' yang dosanya besar. Setiap orang tentu ingin hidup dalam kebaikan. Tidak ada orang yang ingin menanamkan kejahatan meskipun dirinya sendiri berbuat jahat. Begitu pula dengan pendidikan antiplagiarisme. Sadar pada diri sendiri adalah modal awal untuk tidak menjadi plagiator. Jadi, dalam hal ini, guru, dosen, guru besar harus menjadi contoh baik kepada seluruh insan pendidikan.

Kedua, lembaga pendidikan harus intens dan sering mengajarkan ilmu tentang penulisan, karya tulis ilmiah, jurnalistik, serta mengajarkan cara mengutip kepada siswa. Hal ini harus diutamakan, karena banyak orang melakukan plagiat dengan alasan tidak tahu cara mengutip tulisan. Maka, sebelum belajar menulis karya ilmiah maupun tulisan populer yang mengutip tulisan orang lain.

Ketiga, lembaga pendidikan harus membuat materi wajib karya tulis ilmiah, dari yang standar hingga yang berat. Namun, materi ini mengutamakan hasil karya orisinal, bukan jiplakan. Yang terpenting, sekolah harus membangun atmosfer kejujuran di seluruh kegiatan akademik, khsusunya dalam hal penulisan.

Keempat, guru dapat menempelkan beberapa contoh pengutipan yang baik dan benar di dinding pajangan kelas. Sehingga, mau tidak mau, tulisan tersebut sering terbaca siswa dan menjadi pedoman penulisan.

Kelima, guru mengajak siswa menulis kutipan dari beberapa sumber. Dengan menyiapkan beberapa buku, siswa diminta menuliskan kutipan yang terdapat pada buku itu. Cara seperti ini sederhana, namun bermanfaat untuk menanamkan jiwa antiplagiarisme pada siswa.

Pendidikan antiplagiarisme sejak dini diharapkan mampu menggugah hati insan akademis untuk senantiasa menjaga norma penulisan. Dari mana lagi antiplagiarisme dimulai jika tidak dari dunia pendidikan. Maka, sudah saatnya lembaga pendidikan merealisasikan pendidikan antiplagiarisme. Lebih baik lagi, jika pemerintah memasukkan pendidikan antiplagiarisme ke dalam kurikulum dan menjadi mata pelajaran wajib. ***

Penulis adalah guru karya ilmiah remaja (KIR) di
SMP Nasima Semarang, alumnus Jurusan PGSD Unnes.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More