This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday 20 December 2013

GBHN dan Kedaulatan Ekonomi

Artikel dimuat di Suara Karya 17/12/2013 dan Koran Jakarta 18/12/2013 (kekhilafan artikel kembar)
Oleh: Dian Marta Wijayanti

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) selama ini terkubur. Padahal, spirit nasionalisme, berbangsa, dan bernegara terselip di dalamnya. Maka Kongres Kebangsaan yang digagas Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) harus ditindaklanjuti dengan berbagai gerakan revolusioner untuk menghidupkan kembali GBHN sebagai kekuatan negara.

Negara kehilangan power di tengah badai globalisasi. Akhirnya, ekonomi yang berkembang di Indonesia sudah jauh dari kerakyatan dan Pancasila. Kongres Kebangsaan diharapkan bisa melahirkan kembali GBHN. Gagasan menghidupkan kembali GBHN harus direspons positif semua kalangan, tak hanya dari para tokoh dan pimpinan partai. Insan pendidikan dan ekonom harus ikut serta menghidupkan kembali GBHN.

Kongres Kebangsaan di Jakarta, Selasa (10/12), dihadiri beberapa kalangan dan lembaga seperti Panglima TNI, Ketua DPR, Ketua Mahkamah Konstitusi, dan Ketua Mahkamah Agung (MA). Setelah ketua lembaga negara memaparkan pandangannya, dilanjutkan ketua umum partai politik.

Semua harus menyambut baik. Pemerintah, parpol, ormas, dan kalangan lain perlu menindaklanjuti gagasan dihidupkannya GBHN agar ada arah pembangunan ekonomi bangsa. Logika penghidupan GBHN sangat kuat karena landasan pembangunan saat ini dirasakan tidak efektif, tanpa haluan.

Ketua parpol sangat mendukung GHBN dilahirkan kembali. Ada beberapa alasan logis untuk melahirkan GHBN kembali, di antaranya Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang belum mengakomodasi sebuah pedoman pembangunan dan menyulitkan program pemerintah untuk berjalan secara berkelanjutan.

Haluan negara yang baru dapat mengarahkan rencana pembangunan secara teratur dengan jangka waktu tepat.

Indonesia perlu memperbaiki kualitas bernegara. Maka tidak adil kalau GBHN diganti konsep Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang dibuat, dikontrol, dan dinilai pemerintah sendiri. GBHN perlu agar ada acuan arah pembangunan.

Catur Sukses Pembangunan Nasional yang diharapkan tercapai pada tahun 2045 salah satunya didukung dengan GHBN. Rangkaian pencapaian kesejahteraan dibagi dalam tiga dekade yakni 2015-2025, 2025-2035, dan 2035-2045 dengan satu capaian yang sifatnya kuantitatif dan kualitatif. Karena tak ada lagi GBHN, akibatnya pembangunan disesuaikan dengan visi-misi presiden terpilih.

Selain itu, UU dirasa semakin rancu karena bentuk pemerintahan tak jelas, presidensiil atau parlementer. Ke depan, hal itu harus ditata kembali. Perlu juga diubah butir-butir yang tidak sesuai dengan Pancasila.
UU pun dirasa perlu ditata ulang karena pascareformasi banyak sekali peraturan dalam perundang-undangan tidak prorakyat.

Di sisi lain, stabilitas keamanan dan politik juga penting. Tanpa stabilitas politik dan keamanan tak mungkin pembangunan berjalan. Negara harus mengedepankan kepentingan nasional. Pemerintah harus berani melawan kontrak yang tak sesuai dengan nasionalisme Indonesia.

Kadaulatan Ekonomi

Ekonomi menjadi faktor utama yang harus dibenahi karena selama ini sistem ekonomi kapitalistik dan neoliberalisme. Padahal, Indonesia membutuhkan ekonomi kerakyatan sesuai konstitusi dan Pancasila. Ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi.

Selain itu, ekonomi kerakyatan sangat bertolak belakangan dengan sistem neoliberalisme yang bertujuan utama mengembangkan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas. Ekonomi kerakyatan disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara.

Lalu bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Indonesia harus segera mewujudkan kedaulatan ekonomi seperti melalui pengembangan koperasi. Ide besar Bung Hatta ini harus direalisasikan dengan tegas karena lewat koperasi Indonesia bisa membangun ekonomi.

Semua pengembangan dan pengelolaan BUMN harus berbasis kerakyatan dan tolak kaum kapitalis penjajah. M Yudhie Haryono (2013) menjelaskan pentingnya pengelolaan BUMN dari, oleh, dan untuk rakyat. Jadi, bukan untuk kaum penjarah yang menindas rakyat.

Semua pemanfaatan hasil bumi, laut, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini untuk memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta memelihara fakir miskin dan anak telantar. Formula tersebut bisa ditegakkan dengan demokrasi ekonomi.

Indonesia harus memperkuat ekonomi kerakyatan dan agar ekonomi nasional tidak mudah terimbas ketika terjadi krisis dari sejumlah negara. Maka, pemerintah harus memberi perhatian lebih untuk sektor riil, di antaranya pertanian dan perikanan guna menggerakkan ekonomi di daerah.
Indonesia harus bisa mengamankan pangan dalam negeri sebab bila pemerintah tidak mampu mengamankan pangan dalam negeri, andaikan terjadi krisis keuangan atau ekonomi, bisa berdampak buruk. Hal itu sudah jelas tertera pada GBHN.

Haluan negara yang mengacu pada Trisakti Bung Karno sudah jelas bahwa bangsa ini akan berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara kebudayaan. Itulah yang harus diimplementasikan dalam kebijakan agar masa depan Republik ini lebih baik.

Pemerintah perlu menetapkan pedoman baku semacam GBHN yang mengamanatkan secara tegas pencapaian kemandirian pangan dan energi. Kebergantungan Indonesia yang sangat tinggi pada impor pangan, mencapai 12 miliar dollar AS setahun, dan impor bahan bakar minyak (BBM) sekitar 150 juta dollar AS per hari, menyebabkan defisit transaksi berjalan kian lebar. Indonesia juga harus menegaskan kembali, ekonomi harus berpijak pada Pancasila.

Ibu, Guru Revolusioner untuk ABK



Tulisan ini dimuat di Opini Harian BAROMETER 16 Desember 2013

            Anak berkebutuhan khusus (ABK) seharusnya mendapat perhatian serius, khususnya dari ibu. Karena, selama ini ABK masih dipandang sebelah mata dan kurang terurus, baik pendidikan maupun masa depannya. Padahal, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan kesejahteraan sama.
            Selama ini, penanganan ABK lebih diamanahkan di lembaga pendidikan tertentu, seperti SLB, homeschooling, dan lembaga psikolog/pendamping ABK. Pendidikan itu bisa dinikmati anak jika orangtua mereka mampu. Namun, bagaimana nasib anak yang orangtuanya tak mampu? Tentu memprihatinkan. Maka dari itu, peran ibu menjadi sangat urgen. Karena hakikatnya, ibu adalah “guru revolusioner” dalam kehidupan manusia. Ibu adalah orang yang paling mengerti kondisi, sifat, karakter, dan hitam putihnya anak. Masa depan anak sangat ditentukan ilmu dan kasih sayang dari ibu.
            Jumlah ABK di negeri ini semakin banyak. Ironisnya, mereka tidak mendapatkan pendidikan khusus, pengembangan potensi, serta penggemblengan intelektual seperti anak lainnya. Padahal, fakta di lapangan membuktikan ABK memiliki potensi luar biasa untuk dikembangkan. Jika menunggu kesiapan sekolah formal untuk menampung ABK, tentu banyak biaya. Maka, mau tidak mau ibu harus siap menjadi guru revolusioner bagi anak.
Nasib ABK
Menurut data terbaru, jumlah ABK di Indonesia tercatat mencapai 1.544.184 anak, dengan 330.764 anak (21,42 persen) berada dalam rentang usia 5-18 tahun. Dari jumlah itu, hanya 85.737 anak berkebutuhan khusus yang bersekolah. Artinya, masih terdapat 245.027 anak berkebutuhan khusus yang belum mengenyam pendidikan di sekolah, baik sekolah khusus ataupun sekolah inklusi.
Tugas mengurus ABK sebenarnya tanggung jawab bersama. Namun, saat ini masyarakat sudah memahami keberadaan ABK. Buktinya, banyak orangtua menyekolahkan anaknya di SLB maupun homeschooling. Tujuannya agar anak mendapatkan pendidikan, pembinaan, dan perlakuan khusus.
Stigma ABK sebagai “kelainan” sudah mulai luntur. Publik menyadari ABK juga bagian dari masyarakat. Mereka membutuhkan kehidupan sama seperti anak-anak pada umumnya, termasuk dalam pendidikan. Zaman dulu, ABK dianggap bagian yang memalukan dan menjadi “aib” bagi keluarga. Tapi saat ini, keberadaan ABK telah diakui sebagai anugerah Tuhan yang dilahirkan berbeda namun memiliki potensi luar biasa.
ABK mendapat hak pendidikan sama seperti manusia umumnya. Namun sayangnya, banyak sekolah belum siap menerima keberadaan mereka, begitu pula sekolah inklusi. Di sekolah inklusi, rata-rata belum siap menangani ABK. Bahkan, anak dibedakan dari pergaulan teman-teman di sekolah. Mereka dicibir dan diacuhkan dari pergaulan kehidupan. Maka, peran ibu sangat penting bagi ABK, terutama dalam pemilihan tempat belajar.
Peran Ibu Revolusioner
Bagi anak, ibu merupakan guru kehidupan. Dari masa prenatal sampai anak lahir di dunia, ibu menjadi orang pertama dikenal anak. Layaknya guru, ibu memiliki tujuan jelas bagi buah hatinya. Semua ibu berharap perkembangan edukatif pada anak, terutama pada ABK. Maka, kehadiran ibu revolusioner sangat dibutuhkan untuk mengedukasi ABK.
 Dalam kaca mata edukatif, ibu revolusioner adalah perempuan yang siap bangkit dan berjuang menghidupkan keraguan bagi perkembangan anaknya. Pasalnya, hakikat “sekolah ABK adalah semua yang bukan sekolah”. Sekolah natural berbasis keluarga sangat dibutuhkan  mereka untuk mencapai kemandirian hidup. Hal itu sejalan dengan Pasal 51 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa anak penyandang cacat fisik/mental diberikan kesempatan sama dan aksesibilitas memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
Namun, fakta di lapangan berkata lain, banyak ibu ABK yang pesimis pada potensi anak mereka. Bahkan, ada yang merasa kehidupan anaknya telah berakhir ketika terdeteksi ABK. Hanya kekurangan ABK yang dilihat. Mereka tak yakin setiap anak lahir pasti memiliki potensi hebat sebagai amanah Tuhan. Rasa pesimis itulah yang harus segera dihapus. ABK bukanlah kondisi yang patut dikasihani, tetapi ABK memerlukan bantuan orang di sekitarnya untuk menemukan jati diri dalam mengembangkan potensi pribadinya.
Untuk menemukan potensi hebat, anak membutuhkan pendidikan. Manusia dianggap sebagai manusia seutuhnya jika ia sudah mendapatkan pendidikan, begitu pula anak khusus. ABK yang telah mendapatkan pendidikan secara telaten diharapkan tumbuh menjadi manusia berprestasi. Berbeda dengan ABK yang tak mendapatkan tindakan khusus, anak akan tumbuh apa adanya tanpa perkembangan bermakna.
            Ibu yang revolusioner tentu optimis bahwa anaknya tumbuh menjadi manusia luar biasa. Dari rasa optimis itu, ibu akan memilih pendidikan tepat. Bahkan, mereka menjadi guru sendiri bagi ABK. Maksud pendidikan yang tepat di sini tidak hanya pada pendidikan formal, namun ranah informal dan non formal juga penting.
Mengembangkan ABK
Peran ibu sangat diperlukan pada pendidikan informal bagi ABK. Ibu tak butuh pendidikan mengurus anak. Namun, ibu membutuhkan informasi mengembangkan bakat anak. Banyak ibu yang masih belum bisa terima dengan kondisi ABK. Sehingga, banyak yang acuh dan membedakan anaknya. Bukan berarti tidak sayang, namun kesiapan menerima kenyataan adalah salah satu faktornya. Rasa malu, bingung, takut, serta khawatir seringkali menjadi bayang-bayang ibu ABK.
Ada beberapa hal sederhana yang perlu dilakukan ibu ABK. Pertama, senyum kasih sayang. Kemurnian senyum ibu sangat penting bagi anak. Senyum tulus tentu memberikan motivasi bagi anak. Dengan senyum, keberadaan anak lebih diakui. Apalagi, jika senyum itu ditambah sentuhan, pelukan, ciuman dan cinta tulus.
Kedua, ibu perlu mengenal yang disukai ABK. Karena, setiap anak hidup dalam keunikannya. Ada anak-anak suka menggambar, menyanyi, bermain musik, menulis, dan sebagainya. Dengan mengetahui potensi, ibu dapat memfasilitasi bakat anak. Fasilitas tak harus barang mewah. Namun, barang-barang sederhana yang sekiranya dapat menunjang sangat berharga bagi anak.
Ketiga, ibu memberikan ruang bagi anak untuk berkreasi. Salah satu bentuk kreasi itu dapat dilakukan di sekolah. Anak dapat berinteraksi dengan teman-teman dengan berbagai karakter. Namun, banyak ibu khawatir melepaskan anak spesialnya. Padahal, terlalu mengekang anak, sebenarnya tak baik. Ketika anak diberi kesempatan berkreasi, anak lebih bahagia dan menemukan pengalaman bermakna. Pengalaman itu bukan tak mungkin mencetak prestasi. Hal itulah yang diharapkan muncul pada ABK. Melalui keterbatasan, ibu dapat mencari alur prestasi bagi ABK. Karena banyak fakta berbicara bahwa ABK jika dibina mampu melebihi kemampuan anak pada umumnya.

Oleh Dian Marta Wijayanti, SPd
Wisudawan Terbaik Jurusan PGSD Unnes April 2013, Mahasiswi Pascasarjana Unnes, Guru Homeschooling ANSA School Semarang

Solusi Polemik Status GTT

SUARA MERDEKA, 12/12/2013

Menarik, membaca ’’Tajuk Rencana’’ harian ini berjudul ”Blunder Kebijakan Tenaga Honorer” yang memberi gambaran polemik kebijakan tenaga honorer, khususnya guru tidak tetap/GTT (SM, 26/11/2013). Tulisan itu menjelaskan status pegawai negeri sipil (PNS) masih jadi idaman, namun Kemen PAN dan RB menyebut, separuh PNS berkualitas rendah, dan hanya 5% dari 4,7 juta pegawai punya kompetensi khusus.

Ini sangat ironis. Ribuan GTT menuntut kesejahteraan dan materi, namun kualitas mereka rendah. Kebanyakan dari mereka hanya bertujuan pada ”recehan”, bukan pengabdian dan spirit mencerdaskan bangsa. Polemik kebijakan mengenai mereka perlu dicari solusinya, baik jangka panjang maupun pendek. Masalahnya, hal itu jadi masalah klasik tiap tahun ketika momentum perekrutan CPNS. Meskipun pemerintah sudah memberi motivasi dan peningkatan kualitas kinerja PNS, hasilnya belum signifikan. Bahkan, negara telah menghabiskan 30% APBN, 70% APBD kota/kabupaten untuk membayar gaji dan tunjangan. Realitasnya, masih banyak pegawai malas, kerja setengah hati atau hanya formalitas. GTT juga ingin memburu status PNS untuk meningkatkan kesejahteraan.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah? Apakah GTT tetap menjadi honorer ataukah harus sejahtera dengan menjadi PNS? Terlepas dari orientasi PNS, sesungguhnya GTT sangat membutuhkan napas segar dari pemerintah. Tapi tindakan itu harus tegas, cerdas, dan solutif.
Seandainya pengangkatan GTT menjadi PNS ”buntu”, pemerintah seharusnya mencari alternatif konkret. Jangan sampai mereka menjadi pendidik tanpa kesejahteraan, karena bagaimanapun mereka bagian dari pahlawan yang mencerdaskan bangsa.

Jumlah GTTsangat banyak. Khusus jenjang SMA dan SMK tercatat 806 orang. Untuk jenjang SMA 376 orang, terdiri atas GTT 121 orang dan pegawai tidak tetap/PTT 255 orang. Adapun jenjang SMK 430 orang, terdiri atas GTT 203 orang dan PTT 227 orang (Kompas, 20/11/13).
Menurut data PGRI, dari 2,9 juta guru di bawah Kemdikbud, 1 juta orang merupakan GTT. Jumlah itu tersa memprihatinkan. Selain jadi beban pemerintah, Kemdikbud, sekolah, hal itu berefek pada pembelajaran dan sistem pendidikan di sekolah. Bila bekerja tanpa kesejahteraan, pasti mereka melakukannya dengan setengah hati.

Memperbaiki SistemAda beberapa solusiyang bisa dilakukan. Pertama; pemerintah memperbaiki sistem. Artinya, sistem kepegawaian, sistem perekrutan PNS/PTT direformasi agar tidak menjadi polemik dan ”bumerang” bagi pemerintah sendiri. Kebijakan menjadi dilematis atau tidak sangat bergantung dari kecerdasan dan ketelitian pemerintah.

Kedua; perekrutan CPNS yang rawan kecurangan, semrawut dan identik kolusi dan nepotisme maka kebijakan tegas pemerintah sangat diperlukan. Jangan sampai posisi guru diisi mereka yang tidak bidangnya dan berlatar belakang tidak kependidikan/guru. Jika perekrutan guru asal-asalan, pendidikan makin semrawut dan rusak.

Ketiga; agar tidak ”blunder” dan ”dilematis”, pengangkatan GTT jadi PNS harus tepat sasaran, adil, dan sesuai kebutuhan. Bagi mereka yang masih muda harus diutamakan menjadi PNS mengingat usia masih produktif dan spirit mengajar masih tinggi. Untuk tenaga honorer K-1 dan K-2 tidak perlu diangkat menjadi PNS. Pasalnya usia mereka rata-rata sudah tua dan sangat tidak logis jika diangkat PNS karena masa kerjanya relatif pendek. Yang terpenting, mereka perlu mendapat posisi khusus dan kesejahteraan. Jangan sampai pengangkatan GTT yang berusia tua merugikan pemerintah dan sekolah.

Keempat; perlu dilegalkan regulasi agar GTT bisa ikut sertifikasi seperti guru tetap atau guru PNS. Pemerintah perlu menindaklanjuti revisi PP Nomor 74 Tahun 2005 tentang Guru. Hingga sekarang untuk disertifikasi, GTT terkendala syarat dan dipersulit aturan administrasi. Pemerintah perlu memperlakukan sama antara guru tetap dan GTT. Pasalnya, tugas mereka sama, dari membuat RPP, mengajar dan mendidik siswa yang mayoritas jumlah jamnya sama. (10)

- Dian Marta Wijayanti SPd, lulusan terbaik Jurusan PGSD Unnes April 2013, mahasiswi Program Pascasarjana Unnes

Urgensi Pendidikan Antiplagiarisme

SUARA KARYA 29 November 2013
Plagiarisme dalam dunia pendidikan sangat memprihatinkan. Pasalnya, penjiplakan karya tulis, artikel ilmiah, jurnal, skripsi, semakin merajalela dan tidak bisa dihentikan. Ironisnya, pelaku plagiarisme adalah kaum terdidik yang seharusnya menjadi contoh. Ini sangat ironis dan harus segara dituntaskan. Maka, tak ayal jika dewasa ini muncul gagasan 'pendidikan antiplagiarisme'.
Jika dihimpun, sejak 2012 hingga pertengahan 2013, lebih dari 100 dosen setingkat lektor, lektor kepala, dan guru besar tertangkap melakukan penjiplakan. Akibatnya, dua dosen dipecat dan empat lainnya diturunkan jabatannya. Selain itu, sekitar 400 PTS diketahui memalsukan data dan dokumen. (Koran Jakarta, 12/10/2013)

Kasus penjiplakan artikel, makalah, skripsi, tesis, disertasi dan karya ilmiah lainnya juga sering terjadi. Bahkan, nama kampus-kampus besar tercoreng akibat ulah plagiator. Kasus ini terjadi di UGM tahun 2000 karena seorang doktor melakukan plagiasai untuk disertasinya yang mengambil 80 persen data dan narasi dari skripsi seorang peneliti LIPI. Juga, seorang doktor FISIP UI pada 1997 menjiplak tidak kurang dari 22 karangan.(Kompas, 19/2/2010)

Fenomena ini sangat ironis. Jiwa peserta didik yang labil dan belum sadar harga sebuah tulisan membuat mereka seenaknya sendiri mengutip kalimat dari media cetak maupun online tanpa menaati kaidah. Keinginan instan dan cepat selesai membuat mereka lupa etika menulis. Padahal, taat aturan penulisan, mencantumkan sumber bukan hal sulit.

Plagiator merupakan 'penjahat intelektual'. Ironisnya, hampir semua plagiator adalah insan terdidik yang tahu etika akademik. Sayangnya, mereka tak peduli hal itu. Betapa jahatnya, orang tahu tapi tidak mau tahu, terdidik tapi melakukan kejahatan. Padahal, mereka memiliki ilmu kebaikan yang seharusnya dilakukan dalam menulis karya ilmiah.

Seringkali dosen, guru, atau praktisi pendidikan berbicara kebaikan. Namun, mereka sering menjilat perkataannya sendiri. Guru besar tentu bukan orang biasa. Karena banyak ilmu telah diterima dengan proses kualifikasi akademik yang panjang. Bahkan, tak jarang dalam beberapa seminar mereka menjadi pembicara, namun ternyata 'seorang plagiator' yang memamerkan hasil karya di depan publik. Setelah membukukan karya jiplakan itu, pembicara mengajak mahasiswa berpikir kritis dan kreatif.

Hal ini sangat berbalik arah. Mereka mengajarkan untuk berbuat baik, namun mereka sendiri adalah penjahat intelektual. Akankah hal itu berlanjut? Generasi muda adalah kunci memperbaiki dan mengurangi fenomena kejahatan intelektual. Jika dibiarkan, hal ini semakin merusak dunia pendidikan.

Plagiarisme, pada dasarnya disebabkan tidak adanya 'pendidikan antiplagiarisme'. Banyak sivitas akademika tidak tahu pentingnya menghargai tulisan orang lain, sehingga mereka melakukan copy paste. Banyak penulis ingin tulisannya terlihat 'wauw', tapi tidak banyak penulis yang ingin tulisannya bombastis dalam kemurnian hasil karyanya.

Pendidikan karakter sudah lama didentumkan dalam pendidikan. Selain itu, muncul pula istilah pendidikan antikorupsi. Namun sayang, kejelasan dari pelaksanaan kedua program itu belum terukur baik. Begitu pula pendidikan antiplagiarisme yang akan menjadi bagian dari pendidikan karakter bagi generasi muda. Diharapkan pendidikan antiplagiarisme ini dapat tersusun dan terprogram dengan baik agar plagiator-plagiator di Indonesia segera berkurang dan 'mati'. Semakin dini pendidikan antiplagiarisme dilakukan, semakin cepat pula penjahat di dunia pendidikan terhukum di sarangnya. Bagaimana caranya?

Sebelum dimasukkan ke dalam kurikulum dan menjadi mata pelajaran, pendidikan antiplagiarisme dimulai dari komunitas terkecil dari lingkup pendidikan.

Pertama, menanamkan pada diri sendiri bahwa plagiator adalah 'penjahat intelektual' yang dosanya besar. Setiap orang tentu ingin hidup dalam kebaikan. Tidak ada orang yang ingin menanamkan kejahatan meskipun dirinya sendiri berbuat jahat. Begitu pula dengan pendidikan antiplagiarisme. Sadar pada diri sendiri adalah modal awal untuk tidak menjadi plagiator. Jadi, dalam hal ini, guru, dosen, guru besar harus menjadi contoh baik kepada seluruh insan pendidikan.

Kedua, lembaga pendidikan harus intens dan sering mengajarkan ilmu tentang penulisan, karya tulis ilmiah, jurnalistik, serta mengajarkan cara mengutip kepada siswa. Hal ini harus diutamakan, karena banyak orang melakukan plagiat dengan alasan tidak tahu cara mengutip tulisan. Maka, sebelum belajar menulis karya ilmiah maupun tulisan populer yang mengutip tulisan orang lain.

Ketiga, lembaga pendidikan harus membuat materi wajib karya tulis ilmiah, dari yang standar hingga yang berat. Namun, materi ini mengutamakan hasil karya orisinal, bukan jiplakan. Yang terpenting, sekolah harus membangun atmosfer kejujuran di seluruh kegiatan akademik, khsusunya dalam hal penulisan.

Keempat, guru dapat menempelkan beberapa contoh pengutipan yang baik dan benar di dinding pajangan kelas. Sehingga, mau tidak mau, tulisan tersebut sering terbaca siswa dan menjadi pedoman penulisan.

Kelima, guru mengajak siswa menulis kutipan dari beberapa sumber. Dengan menyiapkan beberapa buku, siswa diminta menuliskan kutipan yang terdapat pada buku itu. Cara seperti ini sederhana, namun bermanfaat untuk menanamkan jiwa antiplagiarisme pada siswa.

Pendidikan antiplagiarisme sejak dini diharapkan mampu menggugah hati insan akademis untuk senantiasa menjaga norma penulisan. Dari mana lagi antiplagiarisme dimulai jika tidak dari dunia pendidikan. Maka, sudah saatnya lembaga pendidikan merealisasikan pendidikan antiplagiarisme. Lebih baik lagi, jika pemerintah memasukkan pendidikan antiplagiarisme ke dalam kurikulum dan menjadi mata pelajaran wajib. ***

Penulis adalah guru karya ilmiah remaja (KIR) di
SMP Nasima Semarang, alumnus Jurusan PGSD Unnes.

Monday 25 November 2013

WAJIB BELAJAR TK

Usulan Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono tentang wajib belajar TK kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), menarik untuk dikaji. Usulan ini diwacanakan pada pembukaan Rakornas Bunda PAUD Indonesia baru-baru ini. Kita sama-sama tahu, usia 0 - 6 tahun sangat penting dalam pembentukan karakter anak. Golden age seorang anak, menurut Freud, berada di usia sebelum lima tahun. Pada usia ini anak mengalami fase keemasan dalam perkembangannya.

Namun, dalam pendidikan dasar di Indonesia, usia PAUD justru masih berada pada lingkup pendidikan nonformal. PAUD lebih banyak dikelola yayasan-yayasan swasta. Peran pemerintah masih begitu kecil jika dibandingkan peran PAUD dalam mempersiapkan anak-anak menuju usia sekolah. Karena itu, inilah alasan logis jika TK dijadikan wajib belajar. Wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah tampaknya masih perlu direvisi.

Sisi Positif

Usulan memasukkan TK ke dalam wajib belajar tentunya memiliki dampak positif ataupun negatif. Beberapa dampak positif yang akan muncul adalah adanya keseragaman keterampilan siswa kelas 1 (SD). Banyak guru kelas 1 mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada siswa yang berbeda. Ada siswa berasal dari PAUD, ada juga siswa yang langsung masuk terdaftar di sekolah dasar.

Kondisi demikian menyebabkan keterampilan siswa tidak merata, sehingga kemampuan menerima pelajaran di awal menjadi berbeda. Sebagai makhluk pribadi dan sosial, anak membutuhkan komunitas. Salah satu komunitas yang dimaksudkan adalah sekolah. Meskipun anak dapat belajar interaksi dari keluarga, namun dengan mengenal orang lain di luar keluarga, tentu memberikan pengalaman bagi anak. Anak akan semakin banyak tahu keberagaman karakter di luar kondisi keluarganya.

Lingkungan sekolah dapat menguatkan kemampuan berpikir anak. Ketika usia prasekolah anak terbiasa bermanja-manja, maka di sekolah anak akan diarahkan guru untuk mandiri. Anak akan diajak mengenal lingkungan dengan cara berinteraksi positif. Pembiasaan interaksi ini merupakan modal bagi anak untuk mengembangkan interaksi pada masa-masa berikutnya. Jenjang pendidikan anak dapat dikategorikan menjadi prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Dalam posisi prasekolah inilah, PAUD mengambil peran.

Hambatan

Ada beberapa hambatan merealisasikan wajib belajar TK. Pertama, setiap daerah memiliki perbedaan kondisi alam dan sosial, apalagi di daerah pedalaman di luar Jawa. Kedua, belum maksimalnya wajib belajar 12 tahun. Selama ini, wajib belajar 12 tahun yang dimulai dari jenjang SD pun belum berjalan optimal. Banyak SD di Indonesia belum mendapatkan kesamaan perlakuan.

Beberapa sekolah belum memiliki bangunan layak untuk belajar. Jika PAUD dimasukkan ke dalam wajib belajar, bukan tidak mungkin, akan mengalami perlakukan sama. Ketiga, meskipun sudah banyak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) meluluskan guru PAUD, tapi ketersediaan guru PAUD di Indonesia masih kurang. Tidak semua LPTK membuka jurusan PGPAUD, sehingga lulusan guru PAUD sangat terbatas. Hal itulah yang menyebabkan banyak guru amatir dan ”abal-abal” yang mengajar PAUD.

Keempat, rendahnya kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya di PAUD. Di ranah perkotaan, lulus PAUD sudah banyak menjadi prasyarat untuk lanjut belajar di jenjang SD. Namun di desa, tidak demikian. Wacana wajib belajar TK ini perlu mendapat sambutan serius dari berbagai pihak dengan beberapa alasan. Pertama, dampak pemberian pendidikan dini kepada anak sangat baik bagi perkembangannya.
Kedua, dengan kebijakan wajib belajar TK, maka akan membuka kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak.

Ketiga, pemerintah harus menyiapkan tenaga pendidik berkompeten, sarana dan prasarana, serta adanya payung hukum yang melindungi keberlangsungan jenjang pendidikan ini. Kita tunggu saja kebijakan wajib belajar TK ini. Yang jelas, pendidikan di PAUD bukan segalanya, namun segala-galanya bisa berasal dari sana. Saatnya wajib belajar TK!

—Dian Marta Wijayanti SPd, guru Homeschooling ANSA School Semarang.

Monday 4 November 2013

MENGEMBALIKAN KEMURNIAN PROFESI GURU


Oleh: Dian Marta Wijayanti
Dimuat di Opini Koran Barometer 31 Oktober 2013

Guru adalah profesi yang mampu mengnatarkan seseorang menuju puncak keemasannya. Guru zaman dulu dan sekarang memiliki perbedaan signifikan. Jika dulu guru hanya dipandang sebelah mata, namun sekarang profesi guru seakan mampu menjadi impian semua orang. Hampir setiap orang ingin menjadi guru, baik itu guru SD, SMP, SMA, maupun gurunya calon guru alias dosen. Namun sudahkah semuanya memahami apa makna guru sejati?
Ungkapan dalam bahasa Jawa bahwa guru itu harus bisa digugu lan ditiru seakan sudah banyak dilupakan. Apalagi ditambah kata-kata bijak Ki Hajar Dewantara Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Dapat dikatakan saat ini profesi guru hanya dianggap sebagai tujuan bukan alat. Ketika guru hanya dianggap sebagai tujuan, maka setelah menjadi guru, pasti hanya status itu didapatkan. Namun jika guru dianggap sebagai alat, maka perilaku untuk melakukan pekerjaan baik lebih banyak akan terwujud. Suatu fenomena di masyarakat memperlihatkan kemurnian profesi guru luntur. Masih adakah guru murni, sejati dan berkualitas?

Guru Ideal
Guru harus ideal, berkualitas, dan murni dalam menjalankan tugas pendidikannya. Menjadi guru tidak cukup hanya menguasai empat kompetensi pendidik dan delapan keterampilan mengajar. Tapi, guru juga harus mampu membuat siswa merasa nyaman dan rindu akan ilmu pengetahuan. Kenyamanan siswa terhadap guru akan menunjukkan bahwa guru tersebut telah mampu menjadi guru dirindukan. Ketika siswa sudah rindu terhadap gurunya, dapat dipastikan mereka akan dengan senang menerima materi yang diberikan guru. Kenyamanan seorang siswa tentu membuat siswa lebih mudah memahami daripada baru mendengar nama gurunya saja sudah merasa takut.
Guru sejati akan mendidik dengan hati. Kemurnian seorang guru memang tidak mudah terlihat. Namun secara umum dapat diketahui dalam sikap guru-guru dalam menjalankan tugasnya. Guru mendidik dengan hati tidak akan menghabiskan durasi baginya untuk memberikan materi dan soal-soal latihan saja. Guru cerdas akan  mengajarkan siswa bagaimana cara menghidupkan keinginan untuk aktif berprestasi. Apalagi, setiap anak memiliki hak untuk tumbuh menjadi orang besar dan sukses. Tugas guru di sini adalah membantu mereka untuk menemukan jalan termudah sesuai aturan yang ada. Bukan malah membuat siswa merasa sekolah itu hanya formalitas yang di dalamnya tersimpan kesulitan-kesulitan dunia, kesulitan mengerjakan PR, tugas-tugas sekolah, tes, praktikum, dan lainnya.
Guru sejati menjadi teladan bagi siswanya. Cara pandang siswa terhadap guru yang mengajar tentu banyak makna. Guru yang dicintai siswanya akan dinanti-nantikan kehadirannya di dalam kelas. Sedangkan guru yang tidak diinginkan siswa biasanya hanya dianggap pajangan di ruang belajar. Bukan berarti siswa itu tidak sopan. Tapi hal tersebut merupakan respon langsung siswa terhadap gurunya. Siswa memiliki hak untuk menilai karena bagaimanapun mereka lah yang merasakan dampak pembelajaran dari guru. Pada dasarnya siswa menyukai pembelajaran serius tapi santai. Mellaui pembelajaran menyenangkan, siswa akan lebih banyak mendapatkan pengalaman bermakna.

Guru Abal-Abal
Dewasa ini banyak ditemukan “guru abal-abal” di lingkungan pendidikan. Bagaimana tidak dikatakan sebagai guru abal-abal, setiap hari Senin mereka datang ke sekolah dengan gagah berbaju keren. Setiap awal bulan mereka mendapatkan gaji cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan ketika menilik para guru yang sudah mendapatkan sertifikasi, pergi ke sekolah dengan mengendarai mobil sudah menjadi hal biasa. Jika dikalkulasi, sepasang suami istri dengan profesi guru memiliki gaji pokok Rp 2.800.000 per bulan. Jika keduanya sudah bersertifikasi, maka dapat diketahui dalam waktu sebulan gaji diterima pasangan tersebut kurang lebih 11.200.000. sangat mudah bagi mereka untuk berganti kendaraan bermotor dalam dua bulan sekali. Namun sudah sesuaikah dengan keterampilan dimiliki?
Sertifikasi adalah penghargaan bagi mereka yang profesional dengan profesinya. Begitu pula dengan sertifikasi guru. Dari proses penilaian portofolio sampai sampai sekarang muncul program PLPG. Terlihat sekali hampir semua guru antusias untuk mengejar sertifikat sertifikasi tersebut. Namun sangat disayangkan ketika antusias mengejar materi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan kompetensi. Bahkan di antara para guru yang telah lulus tersertifikasi, banyak sekali kecurangan yang terjadi. Kecurangan yang dimaksudkan disini adalah kecurangan dalam menipu penghargaan negara.
Sudah selayaknya seorang yang mendapatkan sesuatu, berarti mau melakukan sesuatu untuk orang lain yang membantunya. Namun yang terjadi justru berbanding terbalik. Ketika sudah mendapatkan sertifikasi, banyak guru malah ongkang-ongkang kaki seakan berada di puncak kejayaannya. Padahal justru sertifikasi yang diperoleh seharusnya bisa mnejadi pemacu untuk meningkatkan kinerja kerja.

Solusi
Mengembalikan kemurnian profesi seorang guru tidaklah mudah. Semuanya telah bercampur dalam sistem yang sulit untuk dipecah satu per satu. Namun usaha preventif tetap bisa dilakukan minimal dari pribadi masing-masing individu. Pertama, melakukan profesi sesuai disiplin ilmu. Banyak sekali guru-guru abal-abal yang mendeklarasikan diri sebagai guru luar biasa. Padahal jika dilihat dari latar belakang pendidikan, banyak guru tidak linier. Misalnya, sarjana muda dari Jurusan Pendidikan Ekonomi mengajar siswa SD. Guru lulusan Pendidikan Matematika mengajar Bahasa Inggris. Tentu terlihat adanya kesenjangan di sini. Materi memang bisa dipelajari. Tapi kemampuan menguasai kelas dan mempelajari psikologis siswa tentu akan berbeda.
Kedua, setia dengan ilmu yang dipelajari. Banyak kondisi guru tidak setia dengan ilmu yang dipelajari. Sebagai contoh sarjana lulusan jurusan manajemen sampai jangka waktu yang lama tidak segera mendapatkan pekerjaan. Karena orangtuanya guru SD, lulusan tersebut diajak orangtuanya mengajar di SD dengan pengetahuan yang dimiliki. Cukup jelas hal tersebut mengorbankan siswa sebagai subjek belajar di sekolah.
Ketiga, mempertegas peraturan pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pemerintah perlu lebih selektif dalam menyeleksi calon pegawai negara. Salah satu caranya adalah dengan menghilangkan money politic di tengah seleksi CPNS seperti sekarang ini. Namun hal yang menjadi kunci dari guru ideal adalah hakikat kembali kekemurnian sebagai pendidik di dalam masyarakat. Semoga para guru sadar untuk selalu menjadi guru murni, berkualitas dan mencerdaskan Indonesia dengan spirit heroik bukan pecundang.

Wisudawan Terbaik Jurusan PGSD Unnes April 2013
Mahasiswa Pascasarjana Unnes
Guru Homeschooling ANSA School Semarang


Sunday 3 November 2013

Mencegah Kemunculan Guru Abal-Abal

Oleh Dian Marta Wijayanti SPd
Guru Homeschooling ANSA School Semarang, Mahasiswa Pascasarjana Unnes

Saya tertarik membaca tulisan berjudul “Mengembalikan Khitah Guru” yang ditulis Fauzul Andim di rubrik ini (SM, 12/10/2013). Tulisan tersebut memberikan pencerahan bahwa guru harus menjadi teladan bagi siswa maupun masyarakat. Namun, apakah guru cukup menjadi teladan? Menurut penulis tidak. Mengapa? Karena guru harus sejati dan revolusioner. Artinya, yang perlu disoroti di sini juga spirit guru dalam menjalankan tugas pendidikannya.
Secara implisit, kita bisa menyimpulkan bahwa ada “guru sejati” dan “guru abal-abal”. Guru sejati adalah mereka yang mengajar dengan penuh keikhlasan dan semangat revolusioner mendidik bangsa ini. Sedangkan guru abal-abal adalah mereka yang hanya berorientasi pada “recehan” belaka, mengajar tanpa mendidik, serta hanya memenuhi presensi tanpa menjadi motivator sejati bangi siswa di sekolah.
Era global seperti ini memang menuntut guru untuk menjadi pragmatis. Artinya, guru butuh kesejahteraan dan kemakmuran. Dan hal itu salah satunya didapat dari gaji atau honor yang diperolah dari lembaga pendidikan. Di sisi lain, munculnya kebijakan sertifikasi menjadikan guru semakin salah niat dalam mengajar. Padahal, seharusnya kebijakan itu menjadikan semangat untuk mencerdaskan bangsa, bukan justru mengejar recehannya saja. Karena itu, hal ini harus segera diluruskan.
Dicegah
Yang jelas, guru abal-abal harus dihentikan dan dicegah dengan langkah preventif. Karena, apa artinya recehan, jika guru tak mampu menjalankan tugas sucinya. Maka, sebagai insan pendidikan, hal itu haurs disikapi guru dengan arif. Salah satunya adalah dengan mencegah munculnya guru abal-abal dengan beberapa solusi dan terobosan efektif. Setidaknya, ada beberapa cara untuk mencegah guru abal-abal dalam pendidikan. Pertama, memperketat penerimaan guru, baik sekolah berstatus swasta maupun negeri. Mengapa demikian? Karena, selama ini banyak orang masuk sekolah dan menjadi guru hanya “berbasis nepotisme”.  Artinya, asalkan punya kenalan pihak sekolah, maka akses masuk menjadi guru juga mudah.
Kedua, mempertegas aturan dan kriteria atau syarat menjadi guru. Selama ini, penerimaan guru tidak ketat dan kriterianya juga tak jelas. Maka, setidaknya guru memiliki empat kompetensi pendidik, yaitu pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Selain itu, guru juga harus menguasai delapan keterampilan mengajar, mulai dari keterampilan menjelaskan, bertanya, menggunakan variasi, memberi penguatan, membuka dan menutup pelajaran, mengajar kelompok kecil dan perseorangan, mengelola kelas, dan membimbing diskusi kelompok kecil.
Ketiga, guru harus linier, sesuai jurusannya. Artinya, jika guru itu lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), maka yang diajar harus SD, bukan SMP apalagi SMA. Namun, hal ini masih belum jelas, banyak fakta di lapangan, guru mengajar tidak sesuai bidangnya. Misalnya, lulusan Pendidikan Biologi mengajar materi Ekonomi, lulusan IPA mengajar Bahasa Indonesia, dan sebagainya.
Yang jelas dan utama adalah guru harus memenuhi kualifikasi akademik dan memenuhi kriteria plus-plus. Artinya, selama ini banyak guru pandai secara akademik saja, tapi dia tidak menjadi pendidik yang mampu memberikan motivasi dan spirit bagi siswanya. Inilah yang disebut “kemampuan plus-plus” yang jarang dimiliki guru. Bahkan, banyak guru killer yang ditakuti siswa. Jangankan ketemu dan diajar di kelas, para siswa melihat motornya di tempat parkir pun sudah merasa takut. Inilah yang harus dibenahi. Jangan sampai guru abal-abal menjadi perusak pendidikan di negeri ini.
Guru Revolusioner
Apakah cukup hanya dengan itu, agar guru menjadi penentu pendidikan di negeri ini? Tentu tidak. Yang tak kalah penting adalah perlunya guru revolusioner yang mengajar penuh motivasi tinggi dengan spirit memajukan pendidikan Indonesia. Menurut penulis, guru revolusioner memiliki beberapa ciri.
Pertama, dia selalu ikhlas mengajar tanpa pamrih. Artinya, dia tetap butuh kesejahteraan, tapi bukan itu tujuannya. Mengapa? Karena menjadi guru bukanlah tujuan, karena posisi guru hanyalah alat untuk berbuat baik lebih banyak lagi dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia yang masih jauh dari harapan.
Kedua, memiliki jiwa heroik tinggi. Jika guru yang lain berangkat ke sekolah jam 7 pagi, maka dia datang di awal, bahkan sebelum para guru datang ke sekolah.
Ketiga, selalu menjadi dambaan siswa dan memberikan motivasi kepada siswa agar semangat dalam mencari ilmu, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Keempat, mampu mengajarkan kepada siswa, bahwa hidup tak sekadar menjadi manusia berilmu, tapi juga beriman dan beramal untuk bangsa.
Kelima, selalu mengajarkan kepada siswa bahwa hidup bukan sekadar “menjadi apa” (to be), tapi yang terpenting adalah “berbuat apa” (to do).
Inilah yang harus ditanamkan di hati para siswa. Dengan demikian, wajah pendidikan kita akan semakin berseri-seri, jika para gurunya sejati dan revolusioner, bukan abal-abal. Maka dari itu, jadilah guru sejati dan revolusioner, bukan abal-abal.


Artikel ini pernah dimuat di Rubrik Suara Guru harian Suara Merdeka tanggal 19 Oktober 2013.

Sunday 22 September 2013

Anak Spesial Berhak Belajar

Oleh: Dian Marta Wijayanti

Setiap anak hidup dalam keunikannya
Berlari, tertawa, menangis, bahkan kadang teriak mengganggu seharusnya tidak menjadi tembok bagi mereka untuk berekspresi. Namun norma serta etika yang berkembang di masyarakat mau tak mau mengatur kehidupan mereka untuk hidup secara wajar.

Pendidikan nonformal memang kalah pamor jika dibandingkan dengan pendidikan formal. Pendidikan formal sudah dikenal masyarakat dari tingkat pelosok sampai puncak perkotaan. Berbeda dengan keberadaan pendidikan nonformal. Hanya beberapa orang yang tau bahwa keberadaan pendidikan nonformal pun diakui oleh negara Republik Indonesia. 

Mengenal dan berada di antara anak-anak spesial tentunya menambah rasa syukur bagi semua orang. Apalagi jika kita bisa secaralangsung berperan di dalamnya. Sebuah amanah luar biasa ketika bisa menjadi tutor bagi anak-anak spesial ini. Bertemu dan memberikan sapaan hangat. Menyentuh tangan mereka dan mengajak doa bersama. Mendengar tuturan "Bismillahirrohmanirrohiiim" walau tidak jelas terucap. Mengantarkan mereka memegang pensil hingga tertancap ujung pensil di kertas putih kosong. Bahkan sampai lingkaran tak wujud lingkaran. Huruf A taktertulis A. Serta warna hijau pun tak lengkap hijau. Tapi ada satu tujuan pasti yang terlihat. Ya, mereka ingin belajar. Mereka ingin tau apa yang belum mereka tau. Mereka juga ingin merasakan hangatnya sapaan "Selamat pagi" dari ibu atau bapak guru selayaknya anak-anak seusia mereka.

Saturday 14 September 2013

Ketika Mahasiswa Tak Punya Orientasi

Oleh: Dian Marta Wijayanti

Dilihat dari perspektif susunan bahasanya, kata mahasiswa terbentuk dari kata maha dan siswa. Maha diartikan sebagai besar dan siswa diartikan sebagai peserta didik. Sebagai peserta didik yang lebih besar tentunya mahasiswa berbeda dengan siswa. 

SD, SMP, SMA, patutlah seseorang mendapat sebutan siswa. Namun ketika perguruan tinggi sebagai pijakan belajar, predikat mahasiswa menjadi amanah yang harus dijaga.

Banyak orang yang belum paham beda siswa dan mahasiswa. Kata siswa masih erat kaitannya dengan anak yang masih menjadi tanggungjawab penuh orangtua. Uang saku dari orangtua. Makan dari orangtua. Bayar sekolah dari orangtua. Bahkan untuk sekadar biaya pacaran pun bersumber dari kantong orangtua. Semua itu masih terlihat wajar ketika siswa statusnya. 

"Mahasiswa" memberikan tugas yang berbeda bagi peserta didik. Selain dari faktor usia, mahasiswa merupakan proses bagi seseorang yang siap diterjunkan di masyarakat. Bukan berarti mahasiswa merupakan kondisi untuk melepaskan diri dari orangtua. Justru mahasiswa menjadi alasan bagi seseorang untuk lebih mendekatkan diri dengan orangtua. Mendekatkan diri disini bukan berarti bermanja-manja ria layaknya anak TK yang ingin dibelikan ice cream. Kedekatan yang sebenarnya dapat diwujudkan dengan bertanggungjawab. Selain itu juga keberhasilan yang dapat ditunjukkan kepada bapak-ibu di rumah. 

Fenomena yang banyak terjadi saat ini adalah banyaknya mahasiswa yang tidak memiliki kejelasan orientasi. Kuliah hanya kuliah. Ngekost hanya ngekost. Alasan bagi mereka untuk kuliah seakan masih sepi. Bahkan bisa dikatakan seakan hanya sekadar formalitas. Ya, formalitas setelah SMA maka kuliah. Setelah kuliah maka kuliah lagi. Tidak jarang apa yang dijalani tidak sesuai dengan keinginan yang sebenarnya akan dikembangkan pada kehidupannya mendatang. Padahal seperti yang diketahui bahwa kuliah merupakan tangga yang akan dilewati untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Bukan berarti tanpa kuliah kehidupan seseorang tidak bisa baik. Tapi paling tidak kuliah merupakan salah satu jalan untuk menimba ilmu dan mencari ilmu itu kewajiban bagi seluruh umat manusia.

Tentukan orientasimu sekarang, perjuangkan, dan siapkan diri menatap masa depan cerah.

Wednesday 4 September 2013

HAKIKAT FILSAFAT ILMU

Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan.

Karakteristik berpikir filsafat:
1. menyeluruh
    pengetahuan tidak hanya dari dalam tapi juga dari luar
2. mendasar
    mencari pengetahuan berdasarkan kebutuhan
3. spekulatif
    bukan tanpa dasar

Objek materi filsafat
1. Objek materiil filsafat adalah segala sesuatu yang menjadi masalah filsafat
    a. hakikat Tuhan
    b. hakikat alam
    c. hakikat manusia
2. Objek formal filsafat adalah mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya sampai ke akar)
    tentang objek materi filsafat.

Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup 3 segi:
1. Mana yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika)
2. Mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika)
3. Apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek? (estetika)

Cabang filsafat bertambah menjadi
1. Metafora, yakni teori tentang ada, hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran, serta zat dan pikiran.
2. Politik, yakni kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang ideal.

Tuesday 6 August 2013

LABSCHOOL PERFORMANCE DAY


Oleh: Dian Marta Wijayanti

“Berbagi dengan Sesama di Bulan Ramadhan”
Itulah tema yang dipilih oleh SD Labschool Unnes dalam menyemarakkan bulan Ramadhan 1434 H. 29-31 Juli 2013 menjadi tanggal yang spesial bagi siswa-siswi SD Labschool Unnes. Pada hari tersebut sebuah acara yang diberi nama Labschool Performance Day dilaksanakan. Menurut ketua panitia Rico, S.Pd menjelaskan kegiatan ini bertujuan untuk membentuk karakter religius bagi siswa SD Labschool. 
Beberapa perlombaan mengisi kegiatan selama tiga hari ini. Untuk memperbanyak partisipan, panitia membagi perlombaan ke dalam dua kategori yaitu untuk kelas rendah (kelas 1-3) dan kelas tinggi (kelas 4-5). Pada hari Senin (29/07/2013) kelas rendah mengikuti lomba hafalan surat Al Fatihah, lomba wudhu, dan hafalan doa-doa harian. Sedangkan kelas tinggi mengikuti lomba kaligrafi, lomba memakai sarung, dan hafalan surat-surat pendek.
Hari kedua, Selasa (30/07/2013) tidak kalah dengan hari pertama. Pada hari kedua siswa kelas rendah diberi kesempatan untuk menonton video cerita religi di aula. Sedangkan kelas tinggi masih hangat bersama kompetisi-kompetisi lain yaitu lomba sholat Subuh+Qunut, lomba tartil Al Qur’an, dan lomba pidato. Pelaksanaan lomba-lomba ini diharapkan mampu memberikan pembiasaan bagi siswa agar berlomba-lomba dalam kebaikan. Sebagaimana yang tersebut dalam Surat Al Baqarah ayat 148
(١٤٨)وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُواْ يَأْتِ بِكُمُ اللّهُ جَمِيعاً إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya :
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.( Q.S Al-Baqarah : 148 )
Kegiatan Labschool Performance Day ditutup dengan performance para pemenang lomba dan kultum sambil menunggu waktu berbuka puasa (khusus siswa kelas 4-6). Dalam situasi kekeluargaan siswa bersama guru melaksanakan buka bersama serta sholat maghrib berjamaah di sekolah. Tidak hanya itu, siswa juga diajak tadarus dan sholat tarawih yang dipimpin oleh Bapak Irfan Haris sebagai imam.

Saturday 3 August 2013

WIDYA TAMA: Contoh bagi Penulis Jurnal Pendidikan

Oleh: Dian Marta Wijayanti

Kamis, 1 Agustus 2013.
Sebelum memulai perjalanan panjang memang alangkah lebih baiknya jika segala sesuatunya dipelajari terlebih dahulu. Berpegang sebuah amanah dari bapak tercinta untuk mencari informasi Penilaian Angka Kredit di Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Tengah. Memberanikan diri adalah fardhu ain di siang yang cukup panas. 

Berawal dari senyum sapa kepada ibu-ibu di lobi kantor LPMP, petunjuk informasi Penilaian Angka Kredit (PAK) mengajak kaki ini melangkah ke bagian kepegawaian. Pencarian pun tidak sia-sia. Info terkait PAK untuk kenaikan pangkat dari IVa ke IVb pun ku dapati. Meskipun sebenarnya info yang tercatat nomor 89351/A4.4/KP/2012 tentang penilaian sudah tidak lagi di LPMP tapi lebih ke dinas kabupaten sudah kami ketahui di pencarian yang sebelumnya. Walau begitu, paling tidak pertemuan singkat di siang itu lebih menguatkan pemahaman kami.

Perjalanan tidak hanya berakhir di kantor kepegawaian, tujuan kedua adalah perpustakaan LPMP. Siang yang cukup panas itu, mempertemukan saya dengan seorang bapak penjaga perpustakaan dengan inisial S. Dari pembicaraan yang kaku, akhirnya banyak juga ilmu yang ku dapati dari beliau. 

"Kebanyakan memang guru-guru di daerah hanya tau penilaian hanya bisa diperoleh dari PTK dan PTS. Padahal sebenarnya pembuatan artikel, penyusunan modul, media, serta simposium juga mempunyai poin. Jadi seorang guru bisa menggunakan satu karya dalam beberapa penilaian. Tidak harus semuanya dalam bentuk PTK"

Pertanyaan tentang PAK masih berlanjut sebagai bekal bagi saya untuk pulang kampung. Bisa bercerita panjang lebar kepada bapak di rumah adalah oleh-oleh yang cukup berharga bagi beliau. Saya pun menyempatkan diri untuk bertanya,

"Dulu bapak saya sudah pernah mengajukan ke LPMP tapi dikembalikan lagi karya ilmiahnya karena masih banyak yang harus direvisi. Bahkan ada judul yang dilingkari dan diberi tanda tanya besar. Kira-kira kenapa ya Pak?" 

Alhamdulillah, bapak yang baik hati ini sepertinya sangat merespon rasa keingintahuan ini.

"Owh, dulu yang mengoreksi saya. Bapake njenengan kepala sekolah kan? Kalau kepala sekolah seharusnya PTS mbak. Kalau PTK itu untuk guru. Nanti disampaikan ke bapak ya kalau sudah sampai rumah. Njenengan beli jurnal pendidikan WIDYA TAMA edisi Hardiknas Mei 2013 saja. Disana ada 15 artikel ilmiah, 5 dari pengawas, 5 dari kepala sekolah, dan 5 lagi dari guru. Insya Allah nanti bisa banyak membantu."

Percakapan cukup panjang masih berlanjut sampai akhirnya terdengar suara adzan Dzuhur. Berjabat tangan dengan beliau dan mengucapkan terima kasih sebagai bentuk silaturahmi di awal perjumpaan menjadi penutup pertemuan di siang itu. 

Perjalanan belum selesai. Koperasi LPMP menjadi tujuan selanjutnya. Setelah jurnal pendidikan WIDYA TAMA berada di tangan, oleh-oleh dari Semarang untuk bapak tercinta pun siap dibawa pulang.

Selamat berjuang bapak
Tidak ada usaha yang sia-sia
:-)

Sunday 28 July 2013

SALAM JEMPOL UNTUK KETUA MPK BARU

Oleh: Dian Marta Wijayanti

28 Juli 2013
Salam jempol untuk ketua MPK yang baru. HP berdering dan sontak membangunkan tidur pulasku.

"Bundaku"

Nama itu yang muncul dalam layar kecil ponsel ini. Ada apa gerangan siang-siang seperti ini ibu menelfon. Padahal tadi pagi sudah lebih dari satu jam kami bertukar pikiran melalui ponsel yang sama. Suara yang terdengar terasa beda dan lebih besar. Oh, ternyata itu suara adikku satu-satunya yang sekarang terdaftar sebagai siswa kelas X di SMA N 1 Blora.

Seperti biasa, .....
Susah sekali menampilkan wajah dan kata-kata manis untuk anak ini. Dalam suasana apapun, nada kami selalu kelihatan seperti dua orang yang sedang bertengkar.

"Ono opo dek?" tanyaku
"Mbak, aku punya kabar bahagia. Tapi nggak bahagia-bahagia banget sih. Eh, tapi lumayan bahagia dink"

Ah, otak ini belum bisa berkonsentrasi untuk mendengarkan cerita dia. Aku pikir ini hanya gurauan belaka seperti telfon-telfon yang sebelumnya. Berat anggapan anak ini hanya akan bercerita tentang pacarnya yang baru atau mantannya yang sudah mempunyai pacar lagi. Tapi anggapanku salah. Ternyata ia akan menyampaikan cerita yang masih sangat sulit ku percaya.

Kok bisa ya ,,,,,,,

"Hari ini aku terpilih sebagai ketua MPK SMA N 1 Blora Mbak"
Hmmm, rasanya antara senang dan tak percaya. Setelah ketakutan beberapa bulan yang lalu saat dia takut tak diterima di SMA ini. Ternyata masuk minggu ketiga dia sudah bisa membuktikan kalau dirinya memang pantas untuk sekolah di SMA yang juga merupakan almamaterku.

SALAM JEMPOL UNTUKMU Pak KETUA MPK BARU
Semoga amanah ini bisa menjadi ladang pengabdian bagimu
Amin Amin Amin ....

Adikku hebat ....
Indra Bagus Kurniawan

SENDU DI BALIK RINDU

Ibu, pagi ini suaramu berjalan melintasi kesunyian pagiku. Semangatmu membangunkan waktu sahurku pun memacu diriku untuk segera terbangun meski tak ada makanan yang ku masukkan ke mulut ini. Tetap terbangun dan memasang suara semangat menjadi caraku agar ibu tau kalau anaknya yang mancung ini sudah terbangun dan siap menyantap makanan lezat di menit-menit akhir sahur. Meski sebenarnya hanya seteguk air yang mampu mengalir menyusuri kerongkongan kecil ini.

"Kapan pulang Mbak?" Yen wis ra ono gawean ndang gage mulih a ..."
Hati yang entah bagaimana warnanya ini terasa sangat perih. Ada perasaan sangat berdosa ketika belum bisa mewujudkan keinginan beliau yang cantik disana.
"Sekedap malih Bu ... Insya Allah minggu ngajeng" berat mengatakan karena belum tau bisa melaksanakannya atau tidak.

Ibu,
Di hadapan engkau mungkin aku masih terlihat seperti anak kecil ibu yang manja. Anak kecil ibu yang rajin belajar agar bisa mengatakan "Ibu, mbak Dian dapat juara satuuuu" layaknya diriku waktu masih SD dulu. Tapi tidak ibu, anak ibu yang sekarang sudah tumbuh sebagai gadis dewasa yang tidak hanya memikirkan nilai. Ada hal-hal lain yang suatu saat ingin mbak Dian tunjukkan pada ibu. Semua itu pun seperti mimpi-mimpi ibu yang lain atas anak ibu yang satu ini.

Suatu hal yang sendu ketika kerinduan itu menyatu di balik suara adzan Subuh 27 Juli 2013. Hati ibu yang besar senantiasa menjadi kekuatan luar biasa di saat lemahku. Ketika mbak Dian terjatuh dan hanya bisa meminta maaf karena belum bisa membuat ibu bangga. Ibu seakan menutup mata di balik kekecewaan yang mungkin tersimpan pula. "Akan ada yang lebih baik selain yang sekarang. Esok mbak Dian akan mendapatkan kesempatan lain".

Subhanallah,
Izinkan mbak Dian segera menyelesaikan amanah ini Bu ...
Segera pulang dan menikmati hari-hari bersama ibu adalah keinginan terbesarku hari ini.
Salam rindu dan cium termuahhh di pipi Ibu
:*

Saturday 20 July 2013

Aku Puasa Lo Bu ....

Senyum ceria senantiasa menghiasi bibir ini ketika kesempatan bertatapan wajah dengan mereka menjadi hari-hari yang luar biasa. Seperti biasa, sebelum pelajaran dimulai guru mengajak siswa untuk berdoa bersama-sama agar kegiatan pembelajaran pada hari tersebut berjalan dengan lancar.
"Siapa yang hari ini berpuasa?" tanya Bu Guru
"Aku puasa lo Bu ..... " semangat anak-anak menjawab pertanyaan itu
tapi ada juga yang menjawab
"Aku nggak puasa Bu, tadi pagi lupa nggak sahur"
"Kalau aku nggak puasa karena menstruasi Bu" gubrakkkk polos banget anak ini.
Dengan kondisi beraneka ragam itu anak-anak masih dapat bertoleransi satu sama lain. Tidak ada yang makan di dalam kelas. Tidak ada pula yang mengejek temannya yang belum/tidak berpuasa. Alhamdulillah, dunia anak-anak yang luar biasa.
Ketika sejak usia dini seorang anak sudah dibiasakan untuk belajar puasa, maka untuk tahun-tahun berikutnya anak dapat dengan mudah menjalani puasanya

Wednesday 3 July 2013

"All is Well" Presentasi pun Lancar

Presentasi adalah aktivitas yang tidak terlepas kegiatan mahasiswa. Hampir setiap pertemuan mahasiswa selalu dihadapkan dengan presentasi dan tanya jawab baik itu dengan sesama mahasiswa maupun langsung bersama bapak ibu dosen. Beberapa hal sering kali menjadi penyebab seseorang tidak lancar dalam menyampaikan materi presentasi, seperti tidak percaya diri, takut, maupun tidak siap. Dari berbagai hambatan itu pada dasarnya hanya disebabkan oleh satu hal yaitu KESIAPAN. Ketika seseorang telah siap mengikuti presentasi tentu ia dapat menyampaikan materi dengan lancar. Begitu pula sebaliknya ketika yang ada adalah ketidaksiapan, maka presentasi pun dapat terhambat.

Untuk kesekian kalinya pada kesempatan ini saya akan berbagi tips bagi teman-teman agar dapat percaya diri mempresentasikan materi dengan baik:
1. Menguasai materi
Bagian terpenting dari sebuah presentasi adalah penguasaan materi. Presentasi yang memiliki tujuan untuk menyampaikan suatu maksud hendaknya sesuai dengan materi yang sebelumnya telah dipersiapkan. Jangan sampai isi presentasi keluar dari paper yang telah ditulis. Penguasaan materi presentasi tidak harus dihafalkan. Presentator dapat membaca materi berulang kali sambil memperhatikan slide tanpa harus menghafalkan masing-masing bagian.

2. Mempersiapkan slide 
Slide presentasi tidak harus berjumlah banyak. Jumlah slide disesuaikan pada bagian-bagian terpenting dari materi yang akan disampaikan. Strategi copy-paste paragraf pada slide bukanlah cara yang baik. Peserta presentasi (penonton) akan merasa bosan dengan slide yang terlalu panjang dan ruwet. Slide yang simpel dengan berbagai animasi cantik akan lebih menarik perhatian penonton.

3. Menyiapkan catatan kecil
Manusia tak pernah luput dari lupa. Untuk mengantisipasi hal tersebut presentator dapat membuat catatan kecil di selembar kertas sesuai urutan slide yang akan disampaikan. Tujuan dari pembuatan catatan kecil ini adalah sebagai alat pengingat dan garis merah hal-hal yang penting untuk disampaikan.

4. Menyiapkan media
Media presentasi memberikan peran tambahan dalam kemenarikan presentasi. Dengan adanya media yang sesuai dengan materi presentasi, penonton akan lebih mudah memahami objek. Apalagi jika presentator mampu memberikan contoh-contoh yang jelas melalui media yang telah dipersiapkan.

5. Menyusun beberapa pertanyaan yang dimungkinkan akan keluar
Dengan telah memahami materi yang akan disampaikan, presentator dapat meramalkan pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya akan muncul ketika presentasi berlangsung. Setelah menyusun pertanyaan presentator dapat mempersiapkan alternatif jawaban. Hal ini secara tidak langsung dapat memperdalam pengetahuan presentator.

6. Memulai presentasi dengan senyum dan salam yang mantap
Ketika perasaan merasa belum siap dan kurang PeDe dalam memulai presentasi, presentator dapat memulai dengan senyum seraya berdoa di dalam hati agar diberikan kemudahan selama presentasi berlangsung. Keyakinan dalam hati memberikan power yang luar biasa untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi dalam presentasi.

Berikut tadi adalah tips-tips yang dapat saya berikan. Semoga bermanfaat ^_^

IP Cumlaude, mau dong .... !

Siapa sih yang nggak pengen dapat IP cumlaude?
IP cumlaude adalah impian setiap mahasiswa yang memiliki target untuk memberikan yang terbaik bagi kedua orang tuanya. Namun untuk mendapat predikat cumlaude, mahasiswa butuh perjuangan yang tidak main-main. Beberapa cara telah mahasiswa lakukan tapi masih saja ada yang belum mampu menggapainya. Berikut ini adalah beberapa tips untuk mendapatkan IP cumlaude berdasarkan pengalaman penulis:

1. Kehadiran lebih dari 75% 
Kehadiran memiliki peran yang penting dalam perkuliahan. Mahasiswa dengan kehadiran kurang dari 75% tidak akan diberikan kesempatan untuk mengikuti ujian akhir semester. Meskipun mendapatkan kebijakan khusus untuk mengikuti ujian dengan berbagai persyaratan. Tentu saja nilai yang diberikan oleh dosen tidak akan semaksimal mahasiswa yang rajin masuk kuliah.

2. Aktif dalam perkuliahan
Mahasiswa yang aktif bukan hanya mahasiswa yang rajin masuk kuliah. Keaktifan seorang mahasiswa entah itu dalam bertanya, memberikan tanggapan, maupun menyampaikan gagasannya akan lebih mendapatkan tempat di hati dosen maupun teman seperjuangan. Mahasiswa yang mampu menyampaikan gagasan memperlihatkan bahwa dirinya mengusai materi kuliah serta memberikan perhatian yang lebih dibandingkan mahasiswa yang lain.

3. Mengumpulkan tugas sebaik mungkin dan tepat waktu
Perkuliahan tidak lepas dengan pemberian tugas dari dosen. Setiap dosen biasanya akan memberikan tenggang waktu (deadline) kepada mahasiswa untuk mengumpulkan tugas tersebut. Tugas yang dikumpulkan tepat waktu tentu akan lebih diperhatikan oleh dosen daripada tugas yang dikumpulkan melebihi batas tenggang yang telah diberikan. Sebaiknya sesulit apapun tugas itu mahasiswa mau berusaha menyelesaikannya sebaik mungkin. Sehingga tugas-tugas yang ada dapat dijadikan pembelajaran bagi mahasiswa agar tidak terlalu keberatan ketika menghadapi ujian semester.

4. Mengerjakan soal ujian semester sebaik mungkin 
Ujian semester adalah puncak yang akan dihadapi mahasiswa di ujung semester. Biasanya mahasiswa akan menggunakan sistem SKS (Sinau Kebut Sewengi) untuk mempersiapkan ujian yang akan dihadapi dikeesokan harinya. Kebiasaan seperti ini akan lebih baik jika mulai dikurangi. Melihat cara belajar yang serba instan, tentunya hasil didapatkan pun tidak akan sebaik pemahaman yang diperoleh dari hasil proses tahap demi tahap. Oleh karena itu, belajar dari proses lebih bermakna daripada hasil menghafal. 

5. Ramah terhadap dosen
Memiliki sikap yang ramah terhadap dosen secara langsung memang tidak memiliki pengaruh terhadap nilai. Namun, afektif yang baik seperti ini paling tidak dapat menjaga hubungan silaturahmi antara mahasiswa dan dosen. Dosen tentunya akan menghargai mahasiswa yang ramah, murah senyum, serta menghormatinya daripada mahasiswa yang urak-an.

6. Berdoa
Doa adalah ikhtiar terakhir yang dilakukan oleh mahasiswa untuk mendapatkan nilai cumlaude. Hubungan personal mahasiswa terhadap TuhanNya akan memberikan ketenangan batin sehingga segala proses yang dialami dapat lebih berkah dan bermanfaat.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More