Oleh Dian Marta Wijayanti, SPd
Guru SDN Sampangan 1 Semarang, Mahasiswi Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Salah satu
kunci majunya perekonomian Indonesia adalah lewat koperasi. Karena itu, koperasi harus
dihidupkan sejak dini lewat pendidikan. Apalagi, fakta di lapangan membuktikan
masih banyak persoalan kedaulatan ekonomi yang dikuasai orang asing. Salah
satunya kekuatan pasar kapitalis yang semakin menguasai semua ekonomi Indonesia. Pasar tradisional
semakin tergeser dalam perannya menyeimbangkan kondisi perekonomian Indonesia.
Oleh karena itu, perlu ada lembaga yang mampu memperbaiki struktur ekonomi yang bermazhab kerakyatan dan Pancasila.
Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan
tentang perekonomian telah diatur dalam pasal 33 ayat 1 UUD 1945 berbunyi
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.”.
Pasalnya, Indonesia telah memiliki lembaga yang berdiri dengan asas kekeluargaan. Lembaga itu adalah
koperasi. Menurut UU No 17 tahun 2012 koperasi adalah badan hukum yang
didirikan orang perseorangan atau badan hukum koperasi, dengan pemisahan
kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi
aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai
dengan nilai dan prinsip koperasi.
Dari
pengertian tersebut, jelas bahwa kekuatan koperasi perlu dikembangkan sejak dini
untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia. Alternatif nyata adalah mendirikan
koperasi siswa yang mengajarkan mereka untuk berwirausaha dan mandiri secara
ekonomi dan intelektual.
Mati Suri Koperasi
Keberadaan
koperasi yang seharusnya menjadi penopang utama pemberdayaan ekonomi rakyat
kecil, kini nasibnya seperti “hidup segan mati pun tak mau.” Bahkan,
dari 271 koperasi yang tercatat di Dinas Koperasi Koperasi Perindustrian dan
Perdagangan (Koperindag) Merangin, hanya sekitar 50 persen yang masih berjalan,
sedangkan yang lainnya mengalami mati suri karena berbagai persoalan.
Sampai saat ini, pembangunan ekonomi
lebih banyak difokuskan pada orang dewasa. Pendidikan jarang yang memberikan
kesempatan bagi anak untuk ikut serta dalam membangun ekonomi. Padahal,
perekonomian disusun sebagai usaha bersama. Hal ini mengartikan bahwa anak
berhak ikut andil membangun ekonomi di negaranya.
Salah satu cara yang dapat dikembangkan
adalah koperasi anak. Selama ini ada istilah Kopsis (Koperasi Siswa) dan Kopma
(Koperasi Mahasiswa) di dunia pendidikan. Namun, benarkah keduanya telah
berjalan maksimal?
Ternyata belum. Hal itu terbukti dengan belum terlihatnya peran Kopsis
dalam dunia ekonomi.
Beberapa Kopsis telah mengalami mati
suri dan beralih fungsi. Kopsis seharusnya menjadi medan bagi siswa untuk
belajar manajemen dan organisasi. Namun, sebagian sekolah hanya menjadi Kopsis
sebagai alat untuk usaha. Peran siswa hanya memberikan setoran pokok dan
setoran wajib, sementara yang menjalankan koperasi adalah guru dan karyawan
sekolah. Hal
ini sangat disayangkan jika tidak
dihidupkan dan dimaksimalkan.
Dengan hidupnya Kopsis, diharapkan mampu membangun fondasi ekonomi sejak dini. Tidak hanya
Kopsis di tingkat SMP dan SMA,
namun
di tingkat SD dapat diupayakan
dengan maksimal. Mengajarkan pelajar untuk belajar mengatur uang, laba, dan
belajar organisasi.
Cetak
Biru Koperasi Siswa
Kopsis merupakan miniatur koperasi di Indonesia.
Dengan berdasar atas asas
kekeluargaan, Kopsis
diharapkan dapat membantu siswa menemukan jati diri perekonomian Indonesia yang
berbasis kerakyatan, Pancasila dan mengutamakan
kepentingan bersama.
Jangan dilihat dari ukuran bangunannya.
Tapi kita harus melihat
kesejahteraan orang-orang di dalamnya. Itu yang diharapkan terwujud dalam
Kopsis. Layaknya badan hukum yang lain, tentunya Kopsis butuh manajemen jelas dan revolusioner. Optimisme
rekonstruksi Kopsis yang edukatif akan terwujud dengan memberikan kesempatan
bagi siswa untuk berkreasi,
mandiri dan mapan.
Pertama, Kopsis harus didirikan di semua tingkat sekolah,
terutama tingkat SD. Tak kalah penting, pendirian Kopsis
harus ada pelindung yang cerdas dan revolusioner.
Pelindung dari Kopsis adalah kepala sekolah atau perwakilan guru yang akan
mendampingi siswa mengelola koperasi. Kedua, penentuan anggota koperasi yang terdidi dari semua siswa yang ada
pada sekolah tersebut. Setiap anggota akan memberikan setoran pokok dan wajib.
Ketiga, pengurus koperasi dipilih dari
ketua atau perwakilan dari masing-masing kelas. Pemilihan pengurus koperasi
dapat dipilih pihak sekolah. Keempat, sekolah rajin memberikan monitoring
terhadap perjalanan Kopsis agar setiap permasalahan yang muncul dapat segera
terselesaikan. Sepertinya memang sederhana, tapi tanpa niat yang kuat tentunya
tidak dapat terwujud.
Kelima, Kopsis
bisa menjadi wahana untuk berwirausaha siswa. Lewat Kopsis, siswa bisa belajar
berdagang, mengatur keuangan, penawaran jasa, dan mendirikan badan usaha kecil
yang dikelola siswa. Ini sangat menarik jika dikelola dengan baik dan
guru/kepala sekolah mengawal dan mendidik siswa mereka untuk berkoperasi.
Kekuatan
Kopsis
Kopsis adalah wujud kaderisasi masa
depan ekonomi Indonesia. Melalui pendidikan koperasi sejak dini, diharapkan
jiwa kekeluargaan anak dapat terbentuk. Anak dapat berkembang melalui koperasi.
Tidak hanya dalam bentuk materi,
anak juga dapat belajar mengelola emosi
ketika dihadapkan pada permasalahan.
Sebagai medan pendidikan koperasi,
Kopsis memiliki peran besar. Oleh karena itu, berdirinya Kopsis di setiap
sekolah sangat diharapkan. Bentuk Kopsis yang didirikan dapat berupa koperasi
konsumsi maupun jasa. Kopsis dapat menjual peralatan sekolah dan hasil karya
siswa. Keberadaan Kopsis dapat memotivasi siswa untuk berkreasi sesuai potensi
masing-masing. Secara tidak langsung hal ini dapat memancing jiwa entrepreneur
siswa sejak dini.
Jiwa entrepreneur sejak dini sangat
diperlukan. Zaman sekarang, yang kuat adalah yan berani bersaing di pasar.
Dengan pembelajaran sejak dini,
anak akan belajar lebih banyak
tentang ekonomi dan kemandirian. Anak akan lebih kritis ketika
dihadapkan pada daya saing dan peningkatan mutu. Koperasi memang bukan
segala-galanya, tapi cerahnya perekonomian Indonesia bisa berasal dari sana. Saatnya sekolah
mengambil peran. Menghidupkan koperasi siswa atau membiarkannya mati suri tanpa
kejelasan?