Tulisan
ini dimuat di Opini Harian BAROMETER 16 Desember 2013
Anak berkebutuhan khusus (ABK)
seharusnya mendapat perhatian serius, khususnya dari ibu. Karena, selama ini
ABK masih dipandang sebelah mata dan kurang terurus, baik pendidikan maupun
masa depannya. Padahal, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan
kesejahteraan sama.
Selama ini, penanganan ABK lebih
diamanahkan di lembaga pendidikan tertentu, seperti SLB, homeschooling, dan
lembaga psikolog/pendamping ABK. Pendidikan itu bisa dinikmati anak jika
orangtua mereka mampu. Namun, bagaimana nasib anak yang orangtuanya tak mampu?
Tentu memprihatinkan. Maka dari itu, peran ibu menjadi sangat urgen. Karena
hakikatnya, ibu adalah “guru revolusioner” dalam kehidupan manusia. Ibu adalah
orang yang paling mengerti kondisi, sifat, karakter, dan hitam putihnya anak.
Masa depan anak sangat ditentukan ilmu dan kasih sayang dari ibu.
Jumlah ABK di negeri ini semakin
banyak. Ironisnya, mereka tidak mendapatkan pendidikan khusus, pengembangan
potensi, serta penggemblengan intelektual seperti anak lainnya. Padahal, fakta
di lapangan membuktikan ABK memiliki potensi luar biasa untuk dikembangkan. Jika
menunggu kesiapan sekolah formal untuk menampung ABK, tentu banyak biaya. Maka,
mau tidak mau ibu harus siap menjadi guru revolusioner bagi anak.
Nasib
ABK
Menurut data terbaru, jumlah ABK di
Indonesia tercatat mencapai 1.544.184 anak, dengan 330.764 anak (21,42 persen)
berada dalam rentang usia 5-18 tahun. Dari jumlah itu, hanya 85.737 anak
berkebutuhan khusus yang bersekolah. Artinya, masih terdapat 245.027 anak
berkebutuhan khusus yang belum mengenyam pendidikan di sekolah, baik sekolah
khusus ataupun sekolah inklusi.
Tugas mengurus ABK sebenarnya tanggung
jawab bersama. Namun, saat ini masyarakat sudah memahami keberadaan ABK. Buktinya,
banyak orangtua menyekolahkan anaknya di SLB maupun homeschooling. Tujuannya
agar anak mendapatkan pendidikan, pembinaan, dan perlakuan khusus.
Stigma ABK sebagai “kelainan” sudah
mulai luntur. Publik menyadari ABK juga bagian dari masyarakat. Mereka
membutuhkan kehidupan sama seperti anak-anak pada umumnya, termasuk dalam
pendidikan. Zaman dulu, ABK dianggap bagian yang memalukan dan menjadi “aib”
bagi keluarga. Tapi saat ini, keberadaan ABK telah diakui sebagai anugerah
Tuhan yang dilahirkan berbeda namun memiliki potensi luar biasa.
ABK mendapat hak pendidikan sama seperti
manusia umumnya. Namun sayangnya, banyak sekolah belum siap menerima keberadaan
mereka, begitu pula sekolah inklusi. Di sekolah inklusi, rata-rata belum siap
menangani ABK. Bahkan, anak dibedakan dari pergaulan teman-teman di sekolah.
Mereka dicibir dan diacuhkan dari pergaulan kehidupan. Maka, peran ibu sangat
penting bagi ABK, terutama dalam pemilihan tempat belajar.
Peran
Ibu Revolusioner
Bagi anak, ibu merupakan guru kehidupan.
Dari masa prenatal sampai anak lahir di dunia, ibu menjadi orang pertama
dikenal anak. Layaknya guru, ibu memiliki tujuan jelas bagi buah hatinya. Semua
ibu berharap perkembangan edukatif pada anak, terutama pada ABK. Maka,
kehadiran ibu revolusioner sangat dibutuhkan untuk mengedukasi ABK.
Dalam
kaca mata edukatif, ibu revolusioner adalah perempuan yang siap bangkit dan
berjuang menghidupkan keraguan bagi perkembangan anaknya. Pasalnya, hakikat “sekolah
ABK adalah semua yang bukan sekolah”. Sekolah natural berbasis keluarga sangat
dibutuhkan mereka untuk mencapai
kemandirian hidup. Hal itu sejalan dengan Pasal 51 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak bahwa anak penyandang cacat fisik/mental diberikan kesempatan
sama dan aksesibilitas memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
Namun, fakta di lapangan berkata lain, banyak
ibu ABK yang pesimis pada potensi anak mereka. Bahkan, ada yang merasa
kehidupan anaknya telah berakhir ketika terdeteksi ABK. Hanya kekurangan ABK yang
dilihat. Mereka tak yakin setiap anak lahir pasti memiliki potensi hebat
sebagai amanah Tuhan. Rasa pesimis itulah yang harus segera dihapus. ABK
bukanlah kondisi yang patut dikasihani, tetapi ABK memerlukan bantuan orang di sekitarnya
untuk menemukan jati diri dalam mengembangkan potensi pribadinya.
Untuk menemukan potensi hebat, anak
membutuhkan pendidikan. Manusia dianggap sebagai manusia seutuhnya jika ia sudah
mendapatkan pendidikan, begitu pula anak khusus. ABK yang telah mendapatkan
pendidikan secara telaten diharapkan tumbuh menjadi manusia berprestasi.
Berbeda dengan ABK yang tak mendapatkan tindakan khusus, anak akan tumbuh apa
adanya tanpa perkembangan bermakna.
Ibu yang revolusioner tentu optimis
bahwa anaknya tumbuh menjadi manusia luar biasa. Dari rasa optimis itu, ibu
akan memilih pendidikan tepat. Bahkan, mereka menjadi guru sendiri bagi ABK.
Maksud pendidikan yang tepat di sini tidak hanya pada pendidikan formal, namun
ranah informal dan non formal juga penting.
Mengembangkan
ABK
Peran ibu sangat diperlukan pada
pendidikan informal bagi ABK. Ibu tak butuh pendidikan mengurus anak. Namun,
ibu membutuhkan informasi mengembangkan bakat anak. Banyak ibu yang masih belum
bisa terima dengan kondisi ABK. Sehingga, banyak yang acuh dan membedakan
anaknya. Bukan berarti tidak sayang, namun kesiapan menerima kenyataan adalah
salah satu faktornya. Rasa malu, bingung, takut, serta khawatir seringkali
menjadi bayang-bayang ibu ABK.
Ada beberapa hal sederhana yang perlu
dilakukan ibu ABK. Pertama, senyum kasih sayang. Kemurnian senyum ibu sangat
penting bagi anak. Senyum tulus tentu memberikan motivasi bagi anak. Dengan
senyum, keberadaan anak lebih diakui. Apalagi, jika senyum itu ditambah
sentuhan, pelukan, ciuman dan cinta tulus.
Kedua, ibu perlu mengenal yang disukai
ABK. Karena, setiap anak hidup dalam keunikannya. Ada anak-anak suka
menggambar, menyanyi, bermain musik, menulis, dan sebagainya. Dengan mengetahui
potensi, ibu dapat memfasilitasi bakat anak. Fasilitas tak harus barang mewah.
Namun, barang-barang sederhana yang sekiranya dapat menunjang sangat berharga
bagi anak.
Ketiga, ibu memberikan ruang bagi anak
untuk berkreasi. Salah satu bentuk kreasi itu dapat dilakukan di sekolah. Anak
dapat berinteraksi dengan teman-teman dengan berbagai karakter. Namun, banyak
ibu khawatir melepaskan anak spesialnya. Padahal, terlalu mengekang anak, sebenarnya
tak baik. Ketika anak diberi kesempatan berkreasi, anak lebih bahagia dan
menemukan pengalaman bermakna. Pengalaman itu bukan tak mungkin mencetak
prestasi. Hal itulah yang diharapkan muncul pada ABK. Melalui keterbatasan, ibu
dapat mencari alur prestasi bagi ABK. Karena banyak fakta berbicara bahwa ABK
jika dibina mampu melebihi kemampuan anak pada umumnya.
Oleh
Dian Marta Wijayanti, SPd
Wisudawan
Terbaik Jurusan PGSD Unnes April 2013, Mahasiswi Pascasarjana Unnes, Guru Homeschooling
ANSA School Semarang
0 comments:
Post a Comment