Friday, 20 December 2013

Ibu, Guru Revolusioner untuk ABK



Tulisan ini dimuat di Opini Harian BAROMETER 16 Desember 2013

            Anak berkebutuhan khusus (ABK) seharusnya mendapat perhatian serius, khususnya dari ibu. Karena, selama ini ABK masih dipandang sebelah mata dan kurang terurus, baik pendidikan maupun masa depannya. Padahal, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan kesejahteraan sama.
            Selama ini, penanganan ABK lebih diamanahkan di lembaga pendidikan tertentu, seperti SLB, homeschooling, dan lembaga psikolog/pendamping ABK. Pendidikan itu bisa dinikmati anak jika orangtua mereka mampu. Namun, bagaimana nasib anak yang orangtuanya tak mampu? Tentu memprihatinkan. Maka dari itu, peran ibu menjadi sangat urgen. Karena hakikatnya, ibu adalah “guru revolusioner” dalam kehidupan manusia. Ibu adalah orang yang paling mengerti kondisi, sifat, karakter, dan hitam putihnya anak. Masa depan anak sangat ditentukan ilmu dan kasih sayang dari ibu.
            Jumlah ABK di negeri ini semakin banyak. Ironisnya, mereka tidak mendapatkan pendidikan khusus, pengembangan potensi, serta penggemblengan intelektual seperti anak lainnya. Padahal, fakta di lapangan membuktikan ABK memiliki potensi luar biasa untuk dikembangkan. Jika menunggu kesiapan sekolah formal untuk menampung ABK, tentu banyak biaya. Maka, mau tidak mau ibu harus siap menjadi guru revolusioner bagi anak.
Nasib ABK
Menurut data terbaru, jumlah ABK di Indonesia tercatat mencapai 1.544.184 anak, dengan 330.764 anak (21,42 persen) berada dalam rentang usia 5-18 tahun. Dari jumlah itu, hanya 85.737 anak berkebutuhan khusus yang bersekolah. Artinya, masih terdapat 245.027 anak berkebutuhan khusus yang belum mengenyam pendidikan di sekolah, baik sekolah khusus ataupun sekolah inklusi.
Tugas mengurus ABK sebenarnya tanggung jawab bersama. Namun, saat ini masyarakat sudah memahami keberadaan ABK. Buktinya, banyak orangtua menyekolahkan anaknya di SLB maupun homeschooling. Tujuannya agar anak mendapatkan pendidikan, pembinaan, dan perlakuan khusus.
Stigma ABK sebagai “kelainan” sudah mulai luntur. Publik menyadari ABK juga bagian dari masyarakat. Mereka membutuhkan kehidupan sama seperti anak-anak pada umumnya, termasuk dalam pendidikan. Zaman dulu, ABK dianggap bagian yang memalukan dan menjadi “aib” bagi keluarga. Tapi saat ini, keberadaan ABK telah diakui sebagai anugerah Tuhan yang dilahirkan berbeda namun memiliki potensi luar biasa.
ABK mendapat hak pendidikan sama seperti manusia umumnya. Namun sayangnya, banyak sekolah belum siap menerima keberadaan mereka, begitu pula sekolah inklusi. Di sekolah inklusi, rata-rata belum siap menangani ABK. Bahkan, anak dibedakan dari pergaulan teman-teman di sekolah. Mereka dicibir dan diacuhkan dari pergaulan kehidupan. Maka, peran ibu sangat penting bagi ABK, terutama dalam pemilihan tempat belajar.
Peran Ibu Revolusioner
Bagi anak, ibu merupakan guru kehidupan. Dari masa prenatal sampai anak lahir di dunia, ibu menjadi orang pertama dikenal anak. Layaknya guru, ibu memiliki tujuan jelas bagi buah hatinya. Semua ibu berharap perkembangan edukatif pada anak, terutama pada ABK. Maka, kehadiran ibu revolusioner sangat dibutuhkan untuk mengedukasi ABK.
 Dalam kaca mata edukatif, ibu revolusioner adalah perempuan yang siap bangkit dan berjuang menghidupkan keraguan bagi perkembangan anaknya. Pasalnya, hakikat “sekolah ABK adalah semua yang bukan sekolah”. Sekolah natural berbasis keluarga sangat dibutuhkan  mereka untuk mencapai kemandirian hidup. Hal itu sejalan dengan Pasal 51 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa anak penyandang cacat fisik/mental diberikan kesempatan sama dan aksesibilitas memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
Namun, fakta di lapangan berkata lain, banyak ibu ABK yang pesimis pada potensi anak mereka. Bahkan, ada yang merasa kehidupan anaknya telah berakhir ketika terdeteksi ABK. Hanya kekurangan ABK yang dilihat. Mereka tak yakin setiap anak lahir pasti memiliki potensi hebat sebagai amanah Tuhan. Rasa pesimis itulah yang harus segera dihapus. ABK bukanlah kondisi yang patut dikasihani, tetapi ABK memerlukan bantuan orang di sekitarnya untuk menemukan jati diri dalam mengembangkan potensi pribadinya.
Untuk menemukan potensi hebat, anak membutuhkan pendidikan. Manusia dianggap sebagai manusia seutuhnya jika ia sudah mendapatkan pendidikan, begitu pula anak khusus. ABK yang telah mendapatkan pendidikan secara telaten diharapkan tumbuh menjadi manusia berprestasi. Berbeda dengan ABK yang tak mendapatkan tindakan khusus, anak akan tumbuh apa adanya tanpa perkembangan bermakna.
            Ibu yang revolusioner tentu optimis bahwa anaknya tumbuh menjadi manusia luar biasa. Dari rasa optimis itu, ibu akan memilih pendidikan tepat. Bahkan, mereka menjadi guru sendiri bagi ABK. Maksud pendidikan yang tepat di sini tidak hanya pada pendidikan formal, namun ranah informal dan non formal juga penting.
Mengembangkan ABK
Peran ibu sangat diperlukan pada pendidikan informal bagi ABK. Ibu tak butuh pendidikan mengurus anak. Namun, ibu membutuhkan informasi mengembangkan bakat anak. Banyak ibu yang masih belum bisa terima dengan kondisi ABK. Sehingga, banyak yang acuh dan membedakan anaknya. Bukan berarti tidak sayang, namun kesiapan menerima kenyataan adalah salah satu faktornya. Rasa malu, bingung, takut, serta khawatir seringkali menjadi bayang-bayang ibu ABK.
Ada beberapa hal sederhana yang perlu dilakukan ibu ABK. Pertama, senyum kasih sayang. Kemurnian senyum ibu sangat penting bagi anak. Senyum tulus tentu memberikan motivasi bagi anak. Dengan senyum, keberadaan anak lebih diakui. Apalagi, jika senyum itu ditambah sentuhan, pelukan, ciuman dan cinta tulus.
Kedua, ibu perlu mengenal yang disukai ABK. Karena, setiap anak hidup dalam keunikannya. Ada anak-anak suka menggambar, menyanyi, bermain musik, menulis, dan sebagainya. Dengan mengetahui potensi, ibu dapat memfasilitasi bakat anak. Fasilitas tak harus barang mewah. Namun, barang-barang sederhana yang sekiranya dapat menunjang sangat berharga bagi anak.
Ketiga, ibu memberikan ruang bagi anak untuk berkreasi. Salah satu bentuk kreasi itu dapat dilakukan di sekolah. Anak dapat berinteraksi dengan teman-teman dengan berbagai karakter. Namun, banyak ibu khawatir melepaskan anak spesialnya. Padahal, terlalu mengekang anak, sebenarnya tak baik. Ketika anak diberi kesempatan berkreasi, anak lebih bahagia dan menemukan pengalaman bermakna. Pengalaman itu bukan tak mungkin mencetak prestasi. Hal itulah yang diharapkan muncul pada ABK. Melalui keterbatasan, ibu dapat mencari alur prestasi bagi ABK. Karena banyak fakta berbicara bahwa ABK jika dibina mampu melebihi kemampuan anak pada umumnya.

Oleh Dian Marta Wijayanti, SPd
Wisudawan Terbaik Jurusan PGSD Unnes April 2013, Mahasiswi Pascasarjana Unnes, Guru Homeschooling ANSA School Semarang

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More