Friday, 20 December 2013

Urgensi Pendidikan Antiplagiarisme

SUARA KARYA 29 November 2013
Plagiarisme dalam dunia pendidikan sangat memprihatinkan. Pasalnya, penjiplakan karya tulis, artikel ilmiah, jurnal, skripsi, semakin merajalela dan tidak bisa dihentikan. Ironisnya, pelaku plagiarisme adalah kaum terdidik yang seharusnya menjadi contoh. Ini sangat ironis dan harus segara dituntaskan. Maka, tak ayal jika dewasa ini muncul gagasan 'pendidikan antiplagiarisme'.
Jika dihimpun, sejak 2012 hingga pertengahan 2013, lebih dari 100 dosen setingkat lektor, lektor kepala, dan guru besar tertangkap melakukan penjiplakan. Akibatnya, dua dosen dipecat dan empat lainnya diturunkan jabatannya. Selain itu, sekitar 400 PTS diketahui memalsukan data dan dokumen. (Koran Jakarta, 12/10/2013)

Kasus penjiplakan artikel, makalah, skripsi, tesis, disertasi dan karya ilmiah lainnya juga sering terjadi. Bahkan, nama kampus-kampus besar tercoreng akibat ulah plagiator. Kasus ini terjadi di UGM tahun 2000 karena seorang doktor melakukan plagiasai untuk disertasinya yang mengambil 80 persen data dan narasi dari skripsi seorang peneliti LIPI. Juga, seorang doktor FISIP UI pada 1997 menjiplak tidak kurang dari 22 karangan.(Kompas, 19/2/2010)

Fenomena ini sangat ironis. Jiwa peserta didik yang labil dan belum sadar harga sebuah tulisan membuat mereka seenaknya sendiri mengutip kalimat dari media cetak maupun online tanpa menaati kaidah. Keinginan instan dan cepat selesai membuat mereka lupa etika menulis. Padahal, taat aturan penulisan, mencantumkan sumber bukan hal sulit.

Plagiator merupakan 'penjahat intelektual'. Ironisnya, hampir semua plagiator adalah insan terdidik yang tahu etika akademik. Sayangnya, mereka tak peduli hal itu. Betapa jahatnya, orang tahu tapi tidak mau tahu, terdidik tapi melakukan kejahatan. Padahal, mereka memiliki ilmu kebaikan yang seharusnya dilakukan dalam menulis karya ilmiah.

Seringkali dosen, guru, atau praktisi pendidikan berbicara kebaikan. Namun, mereka sering menjilat perkataannya sendiri. Guru besar tentu bukan orang biasa. Karena banyak ilmu telah diterima dengan proses kualifikasi akademik yang panjang. Bahkan, tak jarang dalam beberapa seminar mereka menjadi pembicara, namun ternyata 'seorang plagiator' yang memamerkan hasil karya di depan publik. Setelah membukukan karya jiplakan itu, pembicara mengajak mahasiswa berpikir kritis dan kreatif.

Hal ini sangat berbalik arah. Mereka mengajarkan untuk berbuat baik, namun mereka sendiri adalah penjahat intelektual. Akankah hal itu berlanjut? Generasi muda adalah kunci memperbaiki dan mengurangi fenomena kejahatan intelektual. Jika dibiarkan, hal ini semakin merusak dunia pendidikan.

Plagiarisme, pada dasarnya disebabkan tidak adanya 'pendidikan antiplagiarisme'. Banyak sivitas akademika tidak tahu pentingnya menghargai tulisan orang lain, sehingga mereka melakukan copy paste. Banyak penulis ingin tulisannya terlihat 'wauw', tapi tidak banyak penulis yang ingin tulisannya bombastis dalam kemurnian hasil karyanya.

Pendidikan karakter sudah lama didentumkan dalam pendidikan. Selain itu, muncul pula istilah pendidikan antikorupsi. Namun sayang, kejelasan dari pelaksanaan kedua program itu belum terukur baik. Begitu pula pendidikan antiplagiarisme yang akan menjadi bagian dari pendidikan karakter bagi generasi muda. Diharapkan pendidikan antiplagiarisme ini dapat tersusun dan terprogram dengan baik agar plagiator-plagiator di Indonesia segera berkurang dan 'mati'. Semakin dini pendidikan antiplagiarisme dilakukan, semakin cepat pula penjahat di dunia pendidikan terhukum di sarangnya. Bagaimana caranya?

Sebelum dimasukkan ke dalam kurikulum dan menjadi mata pelajaran, pendidikan antiplagiarisme dimulai dari komunitas terkecil dari lingkup pendidikan.

Pertama, menanamkan pada diri sendiri bahwa plagiator adalah 'penjahat intelektual' yang dosanya besar. Setiap orang tentu ingin hidup dalam kebaikan. Tidak ada orang yang ingin menanamkan kejahatan meskipun dirinya sendiri berbuat jahat. Begitu pula dengan pendidikan antiplagiarisme. Sadar pada diri sendiri adalah modal awal untuk tidak menjadi plagiator. Jadi, dalam hal ini, guru, dosen, guru besar harus menjadi contoh baik kepada seluruh insan pendidikan.

Kedua, lembaga pendidikan harus intens dan sering mengajarkan ilmu tentang penulisan, karya tulis ilmiah, jurnalistik, serta mengajarkan cara mengutip kepada siswa. Hal ini harus diutamakan, karena banyak orang melakukan plagiat dengan alasan tidak tahu cara mengutip tulisan. Maka, sebelum belajar menulis karya ilmiah maupun tulisan populer yang mengutip tulisan orang lain.

Ketiga, lembaga pendidikan harus membuat materi wajib karya tulis ilmiah, dari yang standar hingga yang berat. Namun, materi ini mengutamakan hasil karya orisinal, bukan jiplakan. Yang terpenting, sekolah harus membangun atmosfer kejujuran di seluruh kegiatan akademik, khsusunya dalam hal penulisan.

Keempat, guru dapat menempelkan beberapa contoh pengutipan yang baik dan benar di dinding pajangan kelas. Sehingga, mau tidak mau, tulisan tersebut sering terbaca siswa dan menjadi pedoman penulisan.

Kelima, guru mengajak siswa menulis kutipan dari beberapa sumber. Dengan menyiapkan beberapa buku, siswa diminta menuliskan kutipan yang terdapat pada buku itu. Cara seperti ini sederhana, namun bermanfaat untuk menanamkan jiwa antiplagiarisme pada siswa.

Pendidikan antiplagiarisme sejak dini diharapkan mampu menggugah hati insan akademis untuk senantiasa menjaga norma penulisan. Dari mana lagi antiplagiarisme dimulai jika tidak dari dunia pendidikan. Maka, sudah saatnya lembaga pendidikan merealisasikan pendidikan antiplagiarisme. Lebih baik lagi, jika pemerintah memasukkan pendidikan antiplagiarisme ke dalam kurikulum dan menjadi mata pelajaran wajib. ***

Penulis adalah guru karya ilmiah remaja (KIR) di
SMP Nasima Semarang, alumnus Jurusan PGSD Unnes.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More