Monday 4 November 2013

MENGEMBALIKAN KEMURNIAN PROFESI GURU


Oleh: Dian Marta Wijayanti
Dimuat di Opini Koran Barometer 31 Oktober 2013

Guru adalah profesi yang mampu mengnatarkan seseorang menuju puncak keemasannya. Guru zaman dulu dan sekarang memiliki perbedaan signifikan. Jika dulu guru hanya dipandang sebelah mata, namun sekarang profesi guru seakan mampu menjadi impian semua orang. Hampir setiap orang ingin menjadi guru, baik itu guru SD, SMP, SMA, maupun gurunya calon guru alias dosen. Namun sudahkah semuanya memahami apa makna guru sejati?
Ungkapan dalam bahasa Jawa bahwa guru itu harus bisa digugu lan ditiru seakan sudah banyak dilupakan. Apalagi ditambah kata-kata bijak Ki Hajar Dewantara Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Dapat dikatakan saat ini profesi guru hanya dianggap sebagai tujuan bukan alat. Ketika guru hanya dianggap sebagai tujuan, maka setelah menjadi guru, pasti hanya status itu didapatkan. Namun jika guru dianggap sebagai alat, maka perilaku untuk melakukan pekerjaan baik lebih banyak akan terwujud. Suatu fenomena di masyarakat memperlihatkan kemurnian profesi guru luntur. Masih adakah guru murni, sejati dan berkualitas?

Guru Ideal
Guru harus ideal, berkualitas, dan murni dalam menjalankan tugas pendidikannya. Menjadi guru tidak cukup hanya menguasai empat kompetensi pendidik dan delapan keterampilan mengajar. Tapi, guru juga harus mampu membuat siswa merasa nyaman dan rindu akan ilmu pengetahuan. Kenyamanan siswa terhadap guru akan menunjukkan bahwa guru tersebut telah mampu menjadi guru dirindukan. Ketika siswa sudah rindu terhadap gurunya, dapat dipastikan mereka akan dengan senang menerima materi yang diberikan guru. Kenyamanan seorang siswa tentu membuat siswa lebih mudah memahami daripada baru mendengar nama gurunya saja sudah merasa takut.
Guru sejati akan mendidik dengan hati. Kemurnian seorang guru memang tidak mudah terlihat. Namun secara umum dapat diketahui dalam sikap guru-guru dalam menjalankan tugasnya. Guru mendidik dengan hati tidak akan menghabiskan durasi baginya untuk memberikan materi dan soal-soal latihan saja. Guru cerdas akan  mengajarkan siswa bagaimana cara menghidupkan keinginan untuk aktif berprestasi. Apalagi, setiap anak memiliki hak untuk tumbuh menjadi orang besar dan sukses. Tugas guru di sini adalah membantu mereka untuk menemukan jalan termudah sesuai aturan yang ada. Bukan malah membuat siswa merasa sekolah itu hanya formalitas yang di dalamnya tersimpan kesulitan-kesulitan dunia, kesulitan mengerjakan PR, tugas-tugas sekolah, tes, praktikum, dan lainnya.
Guru sejati menjadi teladan bagi siswanya. Cara pandang siswa terhadap guru yang mengajar tentu banyak makna. Guru yang dicintai siswanya akan dinanti-nantikan kehadirannya di dalam kelas. Sedangkan guru yang tidak diinginkan siswa biasanya hanya dianggap pajangan di ruang belajar. Bukan berarti siswa itu tidak sopan. Tapi hal tersebut merupakan respon langsung siswa terhadap gurunya. Siswa memiliki hak untuk menilai karena bagaimanapun mereka lah yang merasakan dampak pembelajaran dari guru. Pada dasarnya siswa menyukai pembelajaran serius tapi santai. Mellaui pembelajaran menyenangkan, siswa akan lebih banyak mendapatkan pengalaman bermakna.

Guru Abal-Abal
Dewasa ini banyak ditemukan “guru abal-abal” di lingkungan pendidikan. Bagaimana tidak dikatakan sebagai guru abal-abal, setiap hari Senin mereka datang ke sekolah dengan gagah berbaju keren. Setiap awal bulan mereka mendapatkan gaji cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan ketika menilik para guru yang sudah mendapatkan sertifikasi, pergi ke sekolah dengan mengendarai mobil sudah menjadi hal biasa. Jika dikalkulasi, sepasang suami istri dengan profesi guru memiliki gaji pokok Rp 2.800.000 per bulan. Jika keduanya sudah bersertifikasi, maka dapat diketahui dalam waktu sebulan gaji diterima pasangan tersebut kurang lebih 11.200.000. sangat mudah bagi mereka untuk berganti kendaraan bermotor dalam dua bulan sekali. Namun sudah sesuaikah dengan keterampilan dimiliki?
Sertifikasi adalah penghargaan bagi mereka yang profesional dengan profesinya. Begitu pula dengan sertifikasi guru. Dari proses penilaian portofolio sampai sampai sekarang muncul program PLPG. Terlihat sekali hampir semua guru antusias untuk mengejar sertifikat sertifikasi tersebut. Namun sangat disayangkan ketika antusias mengejar materi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan kompetensi. Bahkan di antara para guru yang telah lulus tersertifikasi, banyak sekali kecurangan yang terjadi. Kecurangan yang dimaksudkan disini adalah kecurangan dalam menipu penghargaan negara.
Sudah selayaknya seorang yang mendapatkan sesuatu, berarti mau melakukan sesuatu untuk orang lain yang membantunya. Namun yang terjadi justru berbanding terbalik. Ketika sudah mendapatkan sertifikasi, banyak guru malah ongkang-ongkang kaki seakan berada di puncak kejayaannya. Padahal justru sertifikasi yang diperoleh seharusnya bisa mnejadi pemacu untuk meningkatkan kinerja kerja.

Solusi
Mengembalikan kemurnian profesi seorang guru tidaklah mudah. Semuanya telah bercampur dalam sistem yang sulit untuk dipecah satu per satu. Namun usaha preventif tetap bisa dilakukan minimal dari pribadi masing-masing individu. Pertama, melakukan profesi sesuai disiplin ilmu. Banyak sekali guru-guru abal-abal yang mendeklarasikan diri sebagai guru luar biasa. Padahal jika dilihat dari latar belakang pendidikan, banyak guru tidak linier. Misalnya, sarjana muda dari Jurusan Pendidikan Ekonomi mengajar siswa SD. Guru lulusan Pendidikan Matematika mengajar Bahasa Inggris. Tentu terlihat adanya kesenjangan di sini. Materi memang bisa dipelajari. Tapi kemampuan menguasai kelas dan mempelajari psikologis siswa tentu akan berbeda.
Kedua, setia dengan ilmu yang dipelajari. Banyak kondisi guru tidak setia dengan ilmu yang dipelajari. Sebagai contoh sarjana lulusan jurusan manajemen sampai jangka waktu yang lama tidak segera mendapatkan pekerjaan. Karena orangtuanya guru SD, lulusan tersebut diajak orangtuanya mengajar di SD dengan pengetahuan yang dimiliki. Cukup jelas hal tersebut mengorbankan siswa sebagai subjek belajar di sekolah.
Ketiga, mempertegas peraturan pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pemerintah perlu lebih selektif dalam menyeleksi calon pegawai negara. Salah satu caranya adalah dengan menghilangkan money politic di tengah seleksi CPNS seperti sekarang ini. Namun hal yang menjadi kunci dari guru ideal adalah hakikat kembali kekemurnian sebagai pendidik di dalam masyarakat. Semoga para guru sadar untuk selalu menjadi guru murni, berkualitas dan mencerdaskan Indonesia dengan spirit heroik bukan pecundang.

Wisudawan Terbaik Jurusan PGSD Unnes April 2013
Mahasiswa Pascasarjana Unnes
Guru Homeschooling ANSA School Semarang


0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More