Usulan Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono tentang wajib belajar TK kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), menarik untuk dikaji. Usulan ini diwacanakan pada pembukaan Rakornas Bunda PAUD Indonesia baru-baru ini. Kita sama-sama tahu, usia 0 - 6 tahun sangat penting dalam pembentukan karakter anak. Golden age seorang anak, menurut Freud, berada di usia sebelum lima tahun. Pada usia ini anak mengalami fase keemasan dalam perkembangannya.
Namun, dalam pendidikan dasar di Indonesia, usia PAUD justru masih berada pada lingkup pendidikan nonformal. PAUD lebih banyak dikelola yayasan-yayasan swasta. Peran pemerintah masih begitu kecil jika dibandingkan peran PAUD dalam mempersiapkan anak-anak menuju usia sekolah. Karena itu, inilah alasan logis jika TK dijadikan wajib belajar. Wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah tampaknya masih perlu direvisi.
Sisi Positif
Usulan memasukkan TK ke dalam wajib belajar tentunya memiliki dampak positif ataupun negatif. Beberapa dampak positif yang akan muncul adalah adanya keseragaman keterampilan siswa kelas 1 (SD). Banyak guru kelas 1 mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada siswa yang berbeda. Ada siswa berasal dari PAUD, ada juga siswa yang langsung masuk terdaftar di sekolah dasar.
Kondisi demikian menyebabkan keterampilan siswa tidak merata, sehingga kemampuan menerima pelajaran di awal menjadi berbeda. Sebagai makhluk pribadi dan sosial, anak membutuhkan komunitas. Salah satu komunitas yang dimaksudkan adalah sekolah. Meskipun anak dapat belajar interaksi dari keluarga, namun dengan mengenal orang lain di luar keluarga, tentu memberikan pengalaman bagi anak. Anak akan semakin banyak tahu keberagaman karakter di luar kondisi keluarganya.
Lingkungan sekolah dapat menguatkan kemampuan berpikir anak. Ketika usia prasekolah anak terbiasa bermanja-manja, maka di sekolah anak akan diarahkan guru untuk mandiri. Anak akan diajak mengenal lingkungan dengan cara berinteraksi positif. Pembiasaan interaksi ini merupakan modal bagi anak untuk mengembangkan interaksi pada masa-masa berikutnya. Jenjang pendidikan anak dapat dikategorikan menjadi prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Dalam posisi prasekolah inilah, PAUD mengambil peran.
Hambatan
Ada beberapa hambatan merealisasikan wajib belajar TK. Pertama, setiap daerah memiliki perbedaan kondisi alam dan sosial, apalagi di daerah pedalaman di luar Jawa. Kedua, belum maksimalnya wajib belajar 12 tahun. Selama ini, wajib belajar 12 tahun yang dimulai dari jenjang SD pun belum berjalan optimal. Banyak SD di Indonesia belum mendapatkan kesamaan perlakuan.
Beberapa sekolah belum memiliki bangunan layak untuk belajar. Jika PAUD dimasukkan ke dalam wajib belajar, bukan tidak mungkin, akan mengalami perlakukan sama. Ketiga, meskipun sudah banyak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) meluluskan guru PAUD, tapi ketersediaan guru PAUD di Indonesia masih kurang. Tidak semua LPTK membuka jurusan PGPAUD, sehingga lulusan guru PAUD sangat terbatas. Hal itulah yang menyebabkan banyak guru amatir dan ”abal-abal” yang mengajar PAUD.
Keempat, rendahnya kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya di PAUD. Di ranah perkotaan, lulus PAUD sudah banyak menjadi prasyarat untuk lanjut belajar di jenjang SD. Namun di desa, tidak demikian. Wacana wajib belajar TK ini perlu mendapat sambutan serius dari berbagai pihak dengan beberapa alasan. Pertama, dampak pemberian pendidikan dini kepada anak sangat baik bagi perkembangannya.
Kedua, dengan kebijakan wajib belajar TK, maka akan membuka kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak.
Ketiga, pemerintah harus menyiapkan tenaga pendidik berkompeten, sarana dan prasarana, serta adanya payung hukum yang melindungi keberlangsungan jenjang pendidikan ini. Kita tunggu saja kebijakan wajib belajar TK ini. Yang jelas, pendidikan di PAUD bukan segalanya, namun segala-galanya bisa berasal dari sana. Saatnya wajib belajar TK!
—Dian Marta Wijayanti SPd, guru Homeschooling ANSA School Semarang.
Namun, dalam pendidikan dasar di Indonesia, usia PAUD justru masih berada pada lingkup pendidikan nonformal. PAUD lebih banyak dikelola yayasan-yayasan swasta. Peran pemerintah masih begitu kecil jika dibandingkan peran PAUD dalam mempersiapkan anak-anak menuju usia sekolah. Karena itu, inilah alasan logis jika TK dijadikan wajib belajar. Wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah tampaknya masih perlu direvisi.
Sisi Positif
Usulan memasukkan TK ke dalam wajib belajar tentunya memiliki dampak positif ataupun negatif. Beberapa dampak positif yang akan muncul adalah adanya keseragaman keterampilan siswa kelas 1 (SD). Banyak guru kelas 1 mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada siswa yang berbeda. Ada siswa berasal dari PAUD, ada juga siswa yang langsung masuk terdaftar di sekolah dasar.
Kondisi demikian menyebabkan keterampilan siswa tidak merata, sehingga kemampuan menerima pelajaran di awal menjadi berbeda. Sebagai makhluk pribadi dan sosial, anak membutuhkan komunitas. Salah satu komunitas yang dimaksudkan adalah sekolah. Meskipun anak dapat belajar interaksi dari keluarga, namun dengan mengenal orang lain di luar keluarga, tentu memberikan pengalaman bagi anak. Anak akan semakin banyak tahu keberagaman karakter di luar kondisi keluarganya.
Lingkungan sekolah dapat menguatkan kemampuan berpikir anak. Ketika usia prasekolah anak terbiasa bermanja-manja, maka di sekolah anak akan diarahkan guru untuk mandiri. Anak akan diajak mengenal lingkungan dengan cara berinteraksi positif. Pembiasaan interaksi ini merupakan modal bagi anak untuk mengembangkan interaksi pada masa-masa berikutnya. Jenjang pendidikan anak dapat dikategorikan menjadi prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Dalam posisi prasekolah inilah, PAUD mengambil peran.
Hambatan
Ada beberapa hambatan merealisasikan wajib belajar TK. Pertama, setiap daerah memiliki perbedaan kondisi alam dan sosial, apalagi di daerah pedalaman di luar Jawa. Kedua, belum maksimalnya wajib belajar 12 tahun. Selama ini, wajib belajar 12 tahun yang dimulai dari jenjang SD pun belum berjalan optimal. Banyak SD di Indonesia belum mendapatkan kesamaan perlakuan.
Beberapa sekolah belum memiliki bangunan layak untuk belajar. Jika PAUD dimasukkan ke dalam wajib belajar, bukan tidak mungkin, akan mengalami perlakukan sama. Ketiga, meskipun sudah banyak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) meluluskan guru PAUD, tapi ketersediaan guru PAUD di Indonesia masih kurang. Tidak semua LPTK membuka jurusan PGPAUD, sehingga lulusan guru PAUD sangat terbatas. Hal itulah yang menyebabkan banyak guru amatir dan ”abal-abal” yang mengajar PAUD.
Keempat, rendahnya kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya di PAUD. Di ranah perkotaan, lulus PAUD sudah banyak menjadi prasyarat untuk lanjut belajar di jenjang SD. Namun di desa, tidak demikian. Wacana wajib belajar TK ini perlu mendapat sambutan serius dari berbagai pihak dengan beberapa alasan. Pertama, dampak pemberian pendidikan dini kepada anak sangat baik bagi perkembangannya.
Kedua, dengan kebijakan wajib belajar TK, maka akan membuka kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak.
Ketiga, pemerintah harus menyiapkan tenaga pendidik berkompeten, sarana dan prasarana, serta adanya payung hukum yang melindungi keberlangsungan jenjang pendidikan ini. Kita tunggu saja kebijakan wajib belajar TK ini. Yang jelas, pendidikan di PAUD bukan segalanya, namun segala-galanya bisa berasal dari sana. Saatnya wajib belajar TK!
—Dian Marta Wijayanti SPd, guru Homeschooling ANSA School Semarang.
0 comments:
Post a Comment