Sunday 3 November 2013

Mencegah Kemunculan Guru Abal-Abal

Oleh Dian Marta Wijayanti SPd
Guru Homeschooling ANSA School Semarang, Mahasiswa Pascasarjana Unnes

Saya tertarik membaca tulisan berjudul “Mengembalikan Khitah Guru” yang ditulis Fauzul Andim di rubrik ini (SM, 12/10/2013). Tulisan tersebut memberikan pencerahan bahwa guru harus menjadi teladan bagi siswa maupun masyarakat. Namun, apakah guru cukup menjadi teladan? Menurut penulis tidak. Mengapa? Karena guru harus sejati dan revolusioner. Artinya, yang perlu disoroti di sini juga spirit guru dalam menjalankan tugas pendidikannya.
Secara implisit, kita bisa menyimpulkan bahwa ada “guru sejati” dan “guru abal-abal”. Guru sejati adalah mereka yang mengajar dengan penuh keikhlasan dan semangat revolusioner mendidik bangsa ini. Sedangkan guru abal-abal adalah mereka yang hanya berorientasi pada “recehan” belaka, mengajar tanpa mendidik, serta hanya memenuhi presensi tanpa menjadi motivator sejati bangi siswa di sekolah.
Era global seperti ini memang menuntut guru untuk menjadi pragmatis. Artinya, guru butuh kesejahteraan dan kemakmuran. Dan hal itu salah satunya didapat dari gaji atau honor yang diperolah dari lembaga pendidikan. Di sisi lain, munculnya kebijakan sertifikasi menjadikan guru semakin salah niat dalam mengajar. Padahal, seharusnya kebijakan itu menjadikan semangat untuk mencerdaskan bangsa, bukan justru mengejar recehannya saja. Karena itu, hal ini harus segera diluruskan.
Dicegah
Yang jelas, guru abal-abal harus dihentikan dan dicegah dengan langkah preventif. Karena, apa artinya recehan, jika guru tak mampu menjalankan tugas sucinya. Maka, sebagai insan pendidikan, hal itu haurs disikapi guru dengan arif. Salah satunya adalah dengan mencegah munculnya guru abal-abal dengan beberapa solusi dan terobosan efektif. Setidaknya, ada beberapa cara untuk mencegah guru abal-abal dalam pendidikan. Pertama, memperketat penerimaan guru, baik sekolah berstatus swasta maupun negeri. Mengapa demikian? Karena, selama ini banyak orang masuk sekolah dan menjadi guru hanya “berbasis nepotisme”.  Artinya, asalkan punya kenalan pihak sekolah, maka akses masuk menjadi guru juga mudah.
Kedua, mempertegas aturan dan kriteria atau syarat menjadi guru. Selama ini, penerimaan guru tidak ketat dan kriterianya juga tak jelas. Maka, setidaknya guru memiliki empat kompetensi pendidik, yaitu pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional. Selain itu, guru juga harus menguasai delapan keterampilan mengajar, mulai dari keterampilan menjelaskan, bertanya, menggunakan variasi, memberi penguatan, membuka dan menutup pelajaran, mengajar kelompok kecil dan perseorangan, mengelola kelas, dan membimbing diskusi kelompok kecil.
Ketiga, guru harus linier, sesuai jurusannya. Artinya, jika guru itu lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), maka yang diajar harus SD, bukan SMP apalagi SMA. Namun, hal ini masih belum jelas, banyak fakta di lapangan, guru mengajar tidak sesuai bidangnya. Misalnya, lulusan Pendidikan Biologi mengajar materi Ekonomi, lulusan IPA mengajar Bahasa Indonesia, dan sebagainya.
Yang jelas dan utama adalah guru harus memenuhi kualifikasi akademik dan memenuhi kriteria plus-plus. Artinya, selama ini banyak guru pandai secara akademik saja, tapi dia tidak menjadi pendidik yang mampu memberikan motivasi dan spirit bagi siswanya. Inilah yang disebut “kemampuan plus-plus” yang jarang dimiliki guru. Bahkan, banyak guru killer yang ditakuti siswa. Jangankan ketemu dan diajar di kelas, para siswa melihat motornya di tempat parkir pun sudah merasa takut. Inilah yang harus dibenahi. Jangan sampai guru abal-abal menjadi perusak pendidikan di negeri ini.
Guru Revolusioner
Apakah cukup hanya dengan itu, agar guru menjadi penentu pendidikan di negeri ini? Tentu tidak. Yang tak kalah penting adalah perlunya guru revolusioner yang mengajar penuh motivasi tinggi dengan spirit memajukan pendidikan Indonesia. Menurut penulis, guru revolusioner memiliki beberapa ciri.
Pertama, dia selalu ikhlas mengajar tanpa pamrih. Artinya, dia tetap butuh kesejahteraan, tapi bukan itu tujuannya. Mengapa? Karena menjadi guru bukanlah tujuan, karena posisi guru hanyalah alat untuk berbuat baik lebih banyak lagi dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia yang masih jauh dari harapan.
Kedua, memiliki jiwa heroik tinggi. Jika guru yang lain berangkat ke sekolah jam 7 pagi, maka dia datang di awal, bahkan sebelum para guru datang ke sekolah.
Ketiga, selalu menjadi dambaan siswa dan memberikan motivasi kepada siswa agar semangat dalam mencari ilmu, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Keempat, mampu mengajarkan kepada siswa, bahwa hidup tak sekadar menjadi manusia berilmu, tapi juga beriman dan beramal untuk bangsa.
Kelima, selalu mengajarkan kepada siswa bahwa hidup bukan sekadar “menjadi apa” (to be), tapi yang terpenting adalah “berbuat apa” (to do).
Inilah yang harus ditanamkan di hati para siswa. Dengan demikian, wajah pendidikan kita akan semakin berseri-seri, jika para gurunya sejati dan revolusioner, bukan abal-abal. Maka dari itu, jadilah guru sejati dan revolusioner, bukan abal-abal.


Artikel ini pernah dimuat di Rubrik Suara Guru harian Suara Merdeka tanggal 19 Oktober 2013.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More