Oleh Dian Marta
Wijayanti SPd
Guru Homeschooling
ANSA School Semarang, Mahasiswa Pascasarjana Unnes
Saya tertarik membaca tulisan berjudul “Mengembalikan
Khitah Guru” yang ditulis Fauzul Andim di rubrik ini (SM, 12/10/2013). Tulisan
tersebut memberikan pencerahan bahwa guru harus menjadi teladan bagi siswa
maupun masyarakat. Namun, apakah guru cukup menjadi teladan? Menurut penulis
tidak. Mengapa? Karena guru harus sejati dan revolusioner. Artinya, yang perlu
disoroti di sini juga spirit guru dalam menjalankan tugas pendidikannya.
Secara
implisit, kita bisa menyimpulkan bahwa ada “guru sejati” dan “guru abal-abal”.
Guru sejati adalah mereka yang mengajar dengan penuh keikhlasan dan semangat
revolusioner mendidik bangsa ini. Sedangkan guru abal-abal adalah mereka yang
hanya berorientasi pada “recehan” belaka, mengajar tanpa mendidik, serta hanya
memenuhi presensi tanpa menjadi motivator sejati bangi siswa di sekolah.
Era global
seperti ini memang menuntut guru untuk menjadi pragmatis. Artinya, guru butuh
kesejahteraan dan kemakmuran. Dan hal itu salah satunya didapat dari gaji atau
honor yang diperolah dari lembaga pendidikan. Di sisi lain, munculnya kebijakan
sertifikasi menjadikan guru semakin salah niat dalam mengajar. Padahal,
seharusnya kebijakan itu menjadikan semangat untuk mencerdaskan bangsa, bukan
justru mengejar recehannya saja. Karena itu, hal ini harus segera diluruskan.
Dicegah
Yang jelas,
guru abal-abal harus dihentikan dan dicegah dengan langkah preventif. Karena, apa
artinya recehan, jika guru tak mampu menjalankan tugas sucinya. Maka, sebagai
insan pendidikan, hal itu haurs disikapi guru dengan arif. Salah satunya adalah
dengan mencegah munculnya guru abal-abal dengan beberapa solusi dan terobosan
efektif. Setidaknya, ada beberapa cara untuk mencegah guru abal-abal dalam
pendidikan. Pertama, memperketat penerimaan guru, baik sekolah berstatus swasta
maupun negeri. Mengapa demikian? Karena, selama ini banyak orang masuk sekolah
dan menjadi guru hanya “berbasis nepotisme”. Artinya, asalkan punya
kenalan pihak sekolah, maka akses masuk menjadi guru juga mudah.
Kedua,
mempertegas aturan dan kriteria atau syarat menjadi guru. Selama ini,
penerimaan guru tidak ketat dan kriterianya juga tak jelas. Maka, setidaknya
guru memiliki empat kompetensi pendidik, yaitu pedagogik, kepribadian, sosial
dan profesional. Selain itu, guru juga harus menguasai delapan keterampilan
mengajar, mulai dari keterampilan menjelaskan, bertanya, menggunakan variasi,
memberi penguatan, membuka dan menutup pelajaran, mengajar kelompok kecil dan perseorangan, mengelola kelas,
dan membimbing diskusi kelompok kecil.
Ketiga, guru
harus linier, sesuai
jurusannya. Artinya, jika guru itu lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar
(PGSD), maka yang diajar harus SD, bukan SMP apalagi SMA. Namun, hal ini masih
belum jelas, banyak fakta di lapangan, guru mengajar tidak sesuai bidangnya. Misalnya, lulusan Pendidikan
Biologi mengajar materi Ekonomi, lulusan IPA mengajar Bahasa Indonesia, dan
sebagainya.
Yang jelas dan
utama adalah guru harus memenuhi kualifikasi akademik dan memenuhi kriteria
plus-plus. Artinya, selama ini banyak guru pandai secara akademik saja, tapi
dia tidak menjadi pendidik yang mampu memberikan motivasi dan spirit bagi
siswanya. Inilah yang disebut “kemampuan plus-plus” yang jarang dimiliki guru.
Bahkan, banyak guru killer yang ditakuti siswa. Jangankan ketemu dan
diajar di kelas, para siswa melihat motornya di tempat parkir pun sudah merasa
takut. Inilah yang harus dibenahi. Jangan sampai guru abal-abal menjadi perusak
pendidikan di negeri ini.
Guru
Revolusioner
Apakah cukup hanya dengan itu, agar guru menjadi penentu
pendidikan di negeri ini? Tentu tidak. Yang tak kalah penting adalah perlunya
guru revolusioner yang mengajar penuh motivasi tinggi dengan spirit memajukan
pendidikan Indonesia. Menurut penulis, guru revolusioner memiliki beberapa
ciri.
Pertama, dia selalu ikhlas mengajar tanpa pamrih. Artinya,
dia tetap butuh kesejahteraan, tapi bukan itu tujuannya. Mengapa? Karena
menjadi guru bukanlah tujuan, karena posisi guru hanyalah alat untuk berbuat
baik lebih banyak lagi dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia yang masih
jauh dari harapan.
Kedua, memiliki jiwa heroik tinggi. Jika guru yang lain
berangkat ke sekolah jam 7 pagi, maka dia datang di awal, bahkan sebelum para
guru datang ke sekolah.
Ketiga, selalu menjadi dambaan siswa dan memberikan
motivasi kepada siswa agar semangat dalam mencari ilmu, baik di sekolah maupun
di luar sekolah.
Keempat, mampu mengajarkan kepada siswa, bahwa hidup tak
sekadar menjadi manusia berilmu, tapi juga beriman dan beramal untuk bangsa.
Kelima, selalu mengajarkan kepada siswa bahwa hidup bukan
sekadar “menjadi apa” (to be), tapi yang terpenting adalah “berbuat apa”
(to do).
Inilah yang harus ditanamkan di hati para siswa. Dengan
demikian, wajah pendidikan kita akan semakin berseri-seri, jika para gurunya
sejati dan revolusioner, bukan abal-abal. Maka dari itu, jadilah guru sejati
dan revolusioner, bukan abal-abal.
Artikel ini pernah dimuat di Rubrik
Suara Guru harian Suara Merdeka tanggal 19 Oktober 2013.
0 comments:
Post a Comment