Tulisan ini dimuat di Koran Muria 4 September 2014
Oleh Dian Marta Wijayanti, SPd
Tim Asesor EGRA USAID Prioritas Jawa Tengah, Mantan Guru Karya Ilmiah Remaja (KIR) SMP Nasima Semarang
Oleh Dian Marta Wijayanti, SPd
Tim Asesor EGRA USAID Prioritas Jawa Tengah, Mantan Guru Karya Ilmiah Remaja (KIR) SMP Nasima Semarang
Jika kamu bukan anak
raja dan anak ulama besar, maka menulislah. (Imam al
Ghazali). Kalimat tersebut sangat tepat dijadikan motivasi kaum pendidik untuk rajin
menulis. Guru hebat tak sekadar
memiliki
gelar tinggi dan sukses melahirkan generasi
berkualitas. Namun, guru berkualitas adalah rajin menulis, baik artikel, karya
ilmiah dan buku, serta menularkan
spirit dan budaya menulis pada pelajar.
Menulis bagi guru atau
kaum akademis adalah “keniscayaan”. Apalagi, hampir setiap hari guru dihadapkan
pada tulisan-tulisan. Sangat aneh jika guru tidak bisa menulis. Maka, guru
wajib menciptakan tulisan,
baik
hasil penelitian, pengabdian, modul, buku, artikel di media massa maupun online. Tulisan guru seharusnya bukan hanya berbentuk administrasi kerja, apalagi
sekadar SMS dan tulisan di jejaring sosial.
Guru menulis dan melek teknologi sangat
diharapkan pemerintah. Namun, sangat lucu jika yang dikuasai hanya facebook,
twitter dan jejaring sosial lainnya. Menulis di jejaring sosial sangat
tidak bermanfaat di dunia pendidikan. Bahkan, jika tulisan di jejaring itu
dihimpun jadi buku, pasti tulisan satu minggu saja sudah menjadi satu buku.
Ironisnya, saat ini
guru tak rajin menulis karya ilmiah, namun justru “rajin menulis di jejaring
sosial.” Padahal, orientasi mereka hanya “ajang narsis”, eksistensi dan
“membual belaka”. Narsisme guru tak cukup di dunia maya, namun lebih bermanfaat
jika menulis karya di dunia pendidikan.
Keniscayaan
Selain membaca,
mengajar, rapat dan diskusi, publikasi tulisan di media massa juga menjadi
kewajiban bagi guru. Artinya, guru yang menulis berarti rajin membaca dan yang
rajin membaca tentu berwawasan luas. Hanya guru pemikir dan berwawasan luas
yang bisa memajukan pendidikan. Itulah alasan menulis menjadi keniscayaan.
Karena guru adalah “mercuar pembangunan” pendidikan. Apalagi, saat ini banyak media massa memberikan ruang
khusus bagi guru penulis untuk meludahkan idenya. Jika
guru tak bisa menulis, dunia pendidikan menjadi stagnan, gelap, lalu mati.
Rata-rata guru di
Indonesia berpendidikan minimal S1. Tentunya, mereka mengenal tugas akhir (TA),
skripsi atau tesis. Sayangnya, budaya menulis di kampus hanya berakhir di toga
wisuda. Setelah mendapat gelar dan ijazah, mereka malas belajar dan menulis.
Padahal, jika guru menulis, banyak potensi kemajuan dicapai, baik manfaat
pribadi maupun sumbangsih pada sekolah dan bangsa.
Menulis merupakan
pekerjaan mudah dan murah, karena saat ini banyak fasilitas pendukung seperti
modem, laptop dan media lainnya. Namun, masih banyak guru “buta tulisan”.
Padahal untuk kenaikan pangkat, guru harus membuat penelitian yang hasilnya dipublikasikan
di jurnal ilmiah. Artinya, hampir semua syarat kesejahteraan guru
dititikberatkan pada tulisan.
Selain itu, guru yang
berhasil menyusun modul juga medapat poin tersendiri. Kenyataan di lapangan,
banyak guru senior “kebingungan” ketika dihadapkan pada tulis-menulis. Bukan
karena mereka tak memiliki ide/gagasan, namun tak terbiasa menulis adalah
faktor utama, sehingga mereka kesulitan dalam menyusun huruf, kata, kalimat dan
tulisan. Karena itu, menulis harus diwajibkan untuk memacu geliat belajar lebih
banyak lagi.
Menulis seharusnya
menjadi kewajiban akademik, bukan sekadar syarat administratif, mengejar
recehan serta ajang gengsi. Namun, guru menulis harus mengutamakan kualitas
akademik, sarana berdakwah dan mengabadikan budaya ilmiah. Karena, tak ada
ilmuan dikenang tanpa tulisan, begitu pula guru. Jika guru tak bisa menulis,
maka sama saja mereka menjadi “intelektual
menara gading” yang tak mau mengamalkan ilmu lewat tulisan dan menyumbangkan
ide untuk umat.
Menulis itu Ibadah
Ali bin Abi Thalib
pernah berkata “Tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat
nanti”. Artinya, semua guru pasti mati, dan hanya
ide, pemikiran serta karya yang menjadi abadi sepanjang masa, karena dibaca dan
diamalkan manusia. Maka, sebenarnya menulis adalah ibadah, karena dengan
tulisan, ide dan ilmu bisa mencerahkan manusia.
Loyalitas guru
hakikatnya tak hanya dalam kemampuan mengajar, namun kemampuan menulis dan
pengembangan potensi diri juga menjadi loyalitas peningkatan pendidikan. Jika
menulis itu ibadah, maka menulis adalah alat bagi guru beribadah dan berbuat
baik lebih banyak lagi untuk
mendorong kemajuan pendidikan.
Secara generik, manusia
tidak sekadar “homo sapiens” atau makhluk berpikir. Namun, menurut Ernst
Cassirer, manusia adalah animal symbolicum atau makhluk yang menggunakan
simbol bahasa dalam kehidupan. Maka, guru sebagai kaum terdidik harus mampu
mengatur simbol-simbol secara sistematis untuk membuat tulisan bermanfaat.
Tidak harus dalam bentuk jurnal, penelitian, atau buku, namun menulis artikel
di media massa merupakan alternatif nyata pengembangan kemampuan akademik guru.
Imbauan
Budaya menulis di
kalangan guru harus diwajibkan dan ditingkatkan. Ada beberapa hal yang perlu
dilakukan. Pertama, pemerintah perlu mempertegas regulasi penulisan karya
ilmiah. Mengapa demikian? Pasalnya, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 20
ayat 2 tentang Guru dan Dosen (UUGD) selama ini substansinya belum maksimal.
Padahal, amanat UU itu mewajibkan menulis buku dan memublikasikan karya ilmiah.
UUGD juga mengharuskan
seluruh tenaga pendidik bersertifikat demi menjamin kualitas pendidikan.
Sertifikasi guru merupakan standardisasi kompetensi dan salah satu syarat
mengikuti sertifikasi, salah satunya membuat karya ilmiah. Jadi, sangat logis
jika guru wajib menulis. Dalam hal ini, guru bisa menulis pengalaman mengajar.
Jika satu guru menulis satu halaman folio setiap Minggu, maka satu tahun satu guru bisa menghimpun 48 halaman. Jika
di dalam sekolah ada sepuluh guru, maka terkumpul 480 halaman.
Kedua, guru perlu
memproduksi karya melalui organisasi profesi seperti kelompok kerja guru (KKG)
dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP). Keberadaan organisasi ini sangat
mendukung guru menulis, baik bentuk modul, LKS maupun buku.
Ketiga, pemerintah
harus memfasilitasi tulisan guru. Fasilitas tak harus dalam bentuk laptop atau
komputer, karena sekarang hampir semua guru memiliki alat itu. Setidaknya, pemerintah membuat wadah
penampung tulisan-tulisan guru. Seperti majalah edukasi, tabloid pendidikan,
koran guru, lomba-lomba menulis atau jika perlu membuat penerbitan khusus guru.
Guru
harus menulis agar menjadi teladan. Yang lama bukan waktu untuk menulis, tapi
memutuskan menulis saat ini atau tak menulis selamanya. Jadi, sudah saatnya
guru menulis, karena hanya dengan menulis, guru menjadi pendidik yang kaffah dan abadi.
1 comments:
Terima kasih sudah menulis artikel ini, sangat menginspirasi.
Post a Comment