Wednesday 30 January 2013

Es Campur Dalam Kata (Dilema Pembelajaran Bahasa Jawa)

        Panas-panas paling segar memang minum es. Tapi es apa yang akan engkau pilih saat ini? Yupz, salah satu pilihannya adalah es campur. Es campur tidak hanya sebagai pengobat haus, namun es campur juga mampu dijadikan pengganjal perut. Pada kesempatan ini kita akan membahas es campur yang segar untuk diperbincangkan tapi resah untuk dinikmati. Fenomena ini hampir dirasakan oleh sebagian guru yang saya tanyai. Kenyataannya es campur memang berlaku dalam bahasa pengantar pembelajaran Bahasa Jawa. Jika dahulu Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu berfungsi sebagai bahasa pengantar pembelajaran. Justru sekarang ini malah pembelajaran Bahasa Jawa membutuhkan bahasa pengantar tidak hanya di perkotaan namun juga di perkotaan.
        Kejadian ini tidak terjadi begitu saja. Guru tentu memiliki alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi? Karakteristik siswa sangat memperngaruhi sampai terjadinya peristiwa ini. Kebanyakan siswa yang tidak paham penggunaan bahasa Jawa mau tidak mau membutuhkan jembatan bahasa yang lain untuk memahami materi yang diberikan oleh guru. Guru sebagai fasilitator memiliki peran untuk menciptakan pembelajaran Bahasa Jawa yang menyenangkan sehingga siswa dapat mencapai tujuan. Namun pada kenyataannya, tetap saja penggunaan bahasa Indonesia ikut bercampur dalam pembelajaran Bahasa Jawa ini. Bukan berarti guru tidak dapat berbicara Bahasa Jawa dengan baik dan benar. Namun, tanpa bahasa es campur ini siswa akan lebih kesulitan dalam mencapai kompetensi yang seharusnya dicapai.
        Peristiwa ini saya alami juga ketika berstatus sebagai guru PPL di salah satu SD negeri di kota Semarang. Beberapa kali saya mengajar Bahasa Jawa namun hasilnya kurang maksimal. Sebagai guru saya sudah mencoba untuk menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar. Pemilihan tembung-tembung (kata-kata) yang paling sederhana sudah saya gunakan namun siswa masih banyak yang bertanya
"Bu, itu tadi artinya apa?"
"Bu, ngerjainnya pakai bahasa Indonesia saja ya"
Bahkan tidak hanya itu, rusaknya bahasa juga terlihat ketika mereka mencampuraduk antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
"Bu, ngerjainnya ngeten?"
"Bu, kula ambek XXXXX mawon nggih"
Pemilihan bahasa lisan seperti tersebut di atas kadang tidak disadari ketika mendengarnya. Namun ketika sudah menghadapi bahasa tulis, berbagai bentuk es campur penggunaan bahasa sangatlah terlihat. Apa yang terjadi dengan bahasa kkita?
Mari berbagi solusi ....

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More