Saturday 18 May 2013

MENCETAK GURU BERJIWA ENTREPRENEURSHIP MELALUI PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN (Gagasan)


Dzaujak Ahmat dalam sebuah artikelnya yang belum lama terbit  pernah mengungkapkan penelitian seorang barat yang menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia dalam bekerja cenderung menginginkan menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Penelitian itu benar adanya, kenyataan yang berkembang ditengah masyarakat memang demikian. Bahkan ada anggapan kalau menjadi PNS hidup sudah tenang, ada pegangan yang merasa terpandang. Tidak heran kemudian setap tahun bila ada pembukaan CPNS ribuan dan mungkin jutaan serjana di negeri ini berlomba-lomba untuk mendaftar.
Ada beberapa alasan mengapa orang ingin menjadi pegawai pemerintah(PNS). Adanya perasaan aman dan nyaman karena jika di swasta dianggap tidak akan dipakai orang. Motivasi ini jelas bibit dari sifat PGPS (pinter goblok pendapat sama). Mereka merasa kalau PNS adalah pekerjaan yang aman dan tidak akan dipecat. Selain itu gaji purna tugas(pensiun) menempati posisi yang cukup membawa daya tarik bagi masyarakat. Padahal sekarang sudah banyak perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki program dana pensiun. Namun daya tarik masyarakat untuk beralih ke swasta masih sangat rendah.Menurut Alm Romo Mangun, sistem kependidikan dan banyaknya minat menjadi PNS (birokrat) rupanya masih mewarisi mental inlander dari zaman kolonial dulu. Orang dididik untuk menjasi patuh dan taat pada pemerintah sehingga bisa menjadi ambtenaar (PNS di zaman kolonial). Menjadi ambtenaar itu jabatan terhormat di masyarakat waktu itu dan rupanya masih terbawa hingga sekarang. Bagian yang meresahkan adalah paradigma bahwa mereka adalah bagian dari kekuasaan (penguasa), bukan pelayan rakyat atau pembayar pajak.
Penduduk Indonesia pada tahun 2007 berjumlah 224.904.900 orang dan berdasarkan survey Tenaga Kerja Nasional sekitar 10 juta resmi tercatat menganggur yang 41% diantaranya berasal dari lulusan sekolah lanjutan atas. Selain itu terdapat 30,4 juta orang masuk dalam kategori setengah pengangguran yaitu orang yang bekerja kurang dari 35 jam per minggunya (ILO, http://www.ilo.org/global/), dan 11.47% terdiri dari lulusan sekolah lanjutan atas. Sisa dari para penganggur terbuka dan dan setengah pengangguran berasal dari sekolah dasar, SMP dan SMU/SMK, dan lulusan perguruan tinggi.  Khusus untuk Jawa Barat jumlah penduduk tahun 2007 adalah 41 juta orang, jumlah tenaga kerja 18,24 juta orang, dengan jumlah penganggur terbuka 1,1 juta orang, dan setengah penganggur sebanyak 5 juta orang (Jabarprov.go.id),  atau sekitar 15% populasi penduduk. Dikarenakan keterbatasan kapasitas perguruan tinggi untuk menyerap lulusan sekolah lanjutan atas di samping keterbatasan kesempatan kerja, mereka yang tidak bisa meneruskan sekolah akan semakin menambah jumlah penganggur setiap tahunnya.
Kurikulum yang ada sekarang di SMU turut memberikan kontribusi kepada ketidaksiapan lulusan untuk memilih karir kerja mandiri (self-employment) atau berwirausaha karena mereka hanya disiapkan untuk melanjutkan atau masuk perguruan tinggi. Demikian pula lulusan perguruan tinggi pada umumnya dipersiapkan untuk bekerja menjadi karyawan.  Memilih karir berwirausaha merupakan kasus luar biasa, kecuali bagi mereka yang memiliki latar belakang keluarga wirausaha terutama dari kalangan warga etnis keturunan.  Oleh sebab itu pendidikan kewirausahaan mungkin merupakan bagian dari solusi mengatasi masalah pengangguran melalui. Menurut Global Entrepreneurship Monitor’s (GEM, 2008) proses kewirausahaan mencakup tahap konsepsi, kelahiran usaha, dan tahap bertahan. Demikian pula peserta didik dalam pendidikan kewirausahaan berada pada tahap konsepsi sebagai calon entrepreneur yang mampu mengidentifikasi peluang, mempunyai pengetahuan dan keterampilan.  Kemudian difasilitasi berbagai program pemerintah sepanjang karir kerja mandirinya, para lulusan akan memulai berwirausaha dan menjadi pemilik/manajer usaha baru (tahap kelahiran), berkembang menjadi pemilik/manajer perusahaan mapan (tahap bertahan).
Kontribusi perguruan tinggi (diploma, akademi dan universitas) pada penciptaan pengangguran terbuka cukup signifikan. Tahun 2008 pengagguran dengan pendidikan terakhir perguruan tinggi mencapai 6.936.417 jiwa atau sekitar 7 persen dari total pengangguran (BPS 2010). Ketika ditelusuri lebih dalam, salah satu sebabnya adalah kurang mendukungnya kurikulum dan kultur pendidikan di perguruan tinggi itu sendiri. Perguruan tinggi kurang memberikan ruang belajar bagi mahasiswa untuk praktik bekerja dan menciptakan pekerjaan.
Data Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menunjukkan, hampir sejuta lulusan dari sekitar 2.900 perguruan tinggi di Indonesia dan berasal dari berbagai disiplin ilmu, masih belum memiliki pekerjaan alias menganggur. Ada beragam penyebab yang membuat mereka tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Diantaranya adalah kompetensi ilmu yang tidak sesuai, lulusan yang tidak terserap, dan para lulusan dari program studi yang sudah jenuh. Pada periode Februari-Agustus 2008 lalu tercatat tidak kurang dari 1,1 juta penganggur terdidik. Namun, berdasarkan laporan Maret 2009, terjadi penurunan jumlah penganggur terdidik menjadi 960 ribu orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 598 ribu merupakan lulusan S-l, sedangkan 362 ribu lainnya lulusan program diploma. 
Sebagian besar lulusan prodi kependidikan nantinya akan mengarah pada profesi keguruan yang sudah barang tentu menjadi PNS adalah bagian dari tujuan utama mahasiswa. Padahal telah diketahui bahwa pendaftar PNS pada tahun terakhir ini mencapai angka yang sangat drastis nilainya, khususnya pada jalur profesi guru. Sehingga untuk meningkatkan kemampuan calon guru yang hendak menjadi PNS, pendidikan kewirausahaan sangat diperlukan. Hal ini untuk mendukung keberhasilan dan kelancaran calon guru dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, penanaman nilai bahwa PNS bukanlah satu-satunya jalan untuk mendapatkan kesejahteraan dalam hidup perlu diberikan bagi mahasiswa prodi kependidikan. Karena sebagian besar dari mereka telah berniat untuk menggantungkan hidup pada gaji PNS tanpa memikirkan tantangan globalisasi yang semakin berkembang khususnya dalam bidang ekonomi masyarakat.
            Tingginya angka pengangguran di kalangan sarjana ini tidak lepas dari rendahnya keterampilan di luar kompetensi utama mereka sebagai sarjana. Padahal, untuk menjadi seorang lulusan yang siap kerja, mereka perlu tambahan keterampilan di luar bidang akademik yang mereka kuasai. Terutama keterampilan yang berkaitan dengan kewirausahaan.
Pendidikan di Indonesia membutuhkan mahasiswa yang mampu untuk think locally, act locally, and do in global way. Maksudnya, mahasiswa diharapkan mampu berpikir lokal dengan berpijak pada ideologi dan budaya bangsa. Bersikap sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung moralitas dan kesederhanaan. Namun bersikap profesional dengan memperhatikan tantangan global yang sedang dihadapi bangsa Indonesia untuk memenuhi tuntutan zaman khususnya dalam hal ekonomi. Indonesia membutuhkan kader-kader lulusan perguruan tinggi yang tidak hanya ahli dalam segi teori. Namun Indonesia membutuhkan sarjana dengan keterampilan dan jiwa enterpreneur (kewirausahaan). Mengingat kondisi Indonesia dilihat dari sektor ekonomi yang sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara yang lain. Untuk aspek kurikulumnya,  Solomon dan Fernald (1991) menyarankan bahwa  kurikulum yang dirancang  harus memungkinkan mahasiswa memperoleh pengalaman nyata  melalui partisipasi aktif  di dalam proses pembelajaran.  Jadi, apabila ingin meningkatkan perilaku kewirausahaan para lulusan sebagai tujuan pendidikan kewirausahaan,  maka ubahlah cara  mengajar kewirausahaan dengan melibatkan teknik belajar yang sinerjis (Smith, 2006).
Menurut Hamdani (2010), jika dibandingkan dengan negara-negara maju di dunia, jumlah wirausaha di Indonesia masih tergolong sangat rendah. Dari 231,83 juta penduduk Indonesia, baru sekitar 4,6 juta yang berwirausaha atau sekitar 0,2% (1:500). Persentasi ini tergolong sangat rendah jika dibandingkan dengan negara maju di Asia seperti Jepang dan Taiwan dengan persentase kewirausahaan penduduk mencapai 5 % (1:20). Rendahnya persentase kewirausahaan penduduk Indonesia disebabkan oleh rendahnya minat masyarakat menggeluti kewirausahaan. Rendahnya minat ini, dapat saja disebabkan oleh tidak adanya jiwa entrepreneurship dan kenyamanan akan kekayaan sumber daya alam yang membentuk kultur yang kurang kreatif dan produktif.
Oleh karena itu, upaya peningkatan persentase kewirausahaan penduduk di Indonesia harus ditempuh dengan segala cara. Salah satunya adalah upaya sistemik yang dilakukan melalui pendidikan kewirausahaan yang terintegrasi dalam pembelajaran. Pendidikan kewirausahaan yang terintegrasi dapat dilakukan dalam hal pembentukan nilai-nilai kewirausahaan pada diri mahasiswa yang menyertai perkembangan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
Semakin banyaknya lulusan SMU yang memilih prodi kependidikan dalam perguruan tinggi hendaknya mendapat perhatian khusus dari perguruan tinggi tersebut. Prodi kependidikan yang otomatis diarahkan pada jalur profesi keguruan menandakan bahwa sebagian besar mahasiswa ingin menjadi pegawai negeri sipil (PNS) setelah mereka lulus nanti. Bukan berarti merendahkan kedudukan PNS dalam jaringan profesi. Namun alangkah lebih baiknya jika seorang calon guru dibekali dengan pengetahuan kewirausahaan sebagai pembentuk jiwa entrepreneur.
Entrepreneur bukan berarti harus menjadi pengusaha, pedagang, maupun pebisnis. Namun pada hakikatnya jiwa wirausaha (entrepreneurship) terkait bagaimana cara menghasilkan nilai tambah pada profesi seseorang. Seseorang dikatakan memiliki jiwa wirausaha jika ia mampu memberikan nilai tambah pada profesi yang ditekuninya. Tidak terlepas dalam hal ini adalah guru.
Guru adalah pekerjaan profesi yang condong dalam mengajar dan mendidik siswa untuk belajar menjadi lebih baik dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Di dalam Permendiknas soal Pemenuhan Beban Kerja guru dan Pengawas Satuan Pendidikan yang disahkan Juli lalu, disebutkan beban kerja guru harus memenuhi syarat minimal 24 jam mengajar tatap muka, dan maksimal 40 jam tatap muka. Untuk membantu guru-guru yang tidak dapat memenuhi ketentuan jam kerja minimal, ada berbagai alternatif kegiatan tambahan yang bisa dipilih sebagai solusi yang dilaksanakan dalam jangka paling lama dua tahun setelah berlakunya Permendiknas tersebut.(Kompas,27 September 2009). Jadi jika dibuat rata-rata guru hanya menghabiskan waktu 6-7 jam di sekolah. Sementara sisa waktu sehari semalam yang 24 jam, masih bisa dioptimalkan untuk kegiatan kewirausahaan..
Perkuliahan Pendidikan Kewirausahaan bagi prodi kependidikan dapat dilaksanakan dengan konsep sebagai berikut, mahasiswa memperoleh 9 SKS mata kuliah Pendidikan Kewirausahaan dalam 4 semester. Kemudian dibentuk Inkubator Wirausaha yang menjadi tempat simulasi dan praktek wirausaha mahasiswa. Mereka mendapatkan pembelajaran tentang teknik wirausaha, pengelolaan dana, pemilihan keunggulan produk dan jasa, serta strategi promosi. Namun hal itu tetap tergantung pada soft skill masing-masing mahasiswa, sehingga yang lebih penting adalah motivasi dan flighting spirit, agar mendidik mahasiswa pantang menyerah dan tidak mudah putus asa.
Berkenaan dengan prodi yang diambil adalah kependidikan. Maka materi perkuliahan dapat dikolaborasikan dengan bentuk pembelajaran berbasis kewirausahaan. Sehingga kurikulumnya tidak hanya membahas tentang kewirausahaan dalam lingkup usaha bisnis. Namun juga pengajaran tentang pembentukan jiwa wirausaha (entrepreneurship) dalam menjalankan pembelajaran.
Konsep Pendidikan Kewirausahaan untuk prodi kependidikan dapat diarahkan mencakup 2 komponen. Diantaranya adalah entrepreneurship sebagai seni mengajar dan entrepreneurship dalam dunia usaha.

1.        Entrepreneur sebagai Seni Mengajar

Seorang guru, seringkali terpaku pada jam mengajar dikelas saja. Sedikit diantaranya yang mampu mengoptimalkan kemampuan mengajarnya. Padahal, jika digunakan secara lebih optimal, maka mengajar bukan semata menjadi profesi lagi, namun menjadi kesenangan. Selain itu, bisa juga memberikan pesan agama dan moral kepada murid-murid sebagai bekal spiritual mereka. Dengan begitu, bukan hanya murid-murid yang merasa nyaman. Namun guru juga akan lebih optimal dalam memberikan pelajaran.
Ini bisa dilakukan dengan menjadikan para murid sebagai mitra belajar, bukan semata memandang anak-anak sebagai pihak yang menerima materi. Murid-murid adalah mitra sekaligus teman profesi. Komunikasi dua arah dalam mengajar, tentu bisa lebih membuat murid-murid betah dan nyaman berada di kelas. Komunikasi dua arah dalam mengajar diistilahkan sebagai pembelajaran kelas. Pembelajaran akan berlangsung efektif jika guru mengadopsi pembelajaran inovatif berbasis PAIKEM sebagai pelengkap dalam mencapai tujuan pendidikan.
PAIKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Inspiratif/Interaktif/Inovatif, Kritis/Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Dalam PAIKEM digunakan prinsip-prinsip pembelajaran berbasis kompetensi. Pembelajaran berbasis kompetensi adalah pembelajaran yang dilakukan dengan orientasi pencapaian kompetensi peserta didik. Sehingga muara akhir hasil pembelajaran adalah meningkatnya kompetensi peserta didik yang dapat diukur dalam pola sikap, pengetahuan, dan keterampilannya.
Pembelajaran berbasis PAIKEM membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir tahap tinggi, berpikir kritis dan berpikir kreatif (critical and creative thinking). Berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur, kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah menarik keputusan, memberi keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. Berpikir kreatif adalah suatu keigatan mental untuk meningkatkan kemurnian (originality), ketajaman pemahaman (insight) dalam mengembangkan sesuatu (generating). Kemampuan memecahkan masalah merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Sebagai tahapan strategis pencapaian kompetensi, kegiatan PAIKEM perlu didesain dan dilaksanakan secara efektif dan efisien sehingga memperoleh hasil maksimal. Berdasarkan panduan penyusunan KTSP (KTSP), kegiatan pembelajaran terdiri dari kegiatan tatap muka, kegiatan tugas terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Sekolah standar, beban belajarnya dinyatakan dalam jam pelajaran ditetapkan bahwa satu jam pelajaran tingkat SMA/SMK terdiri dari 45 menit, SMP terdiri dari 40 menit, dan untuk SD terdiri dari 35 menit tatap muka untuk Tugas Terstruktur dan Kegiatan Mandiri Tidak Terstruktur. Dalam hal ini guru perlu mendesain kegiatan pembelajaran tatap muka, tugas terstruktur dan kegiatan mandiri.

1.    Kegiatan Tatap Muka
Untuk kegiatan tatap muka dilakukan dengan strategi bervariasi baik ekspositori maupun diskoveri inkuiri. Metode yang digunakan seperti  ceramah interaktif, presentasi, diskusi kelas, diskusi kelompok, pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, demonstrasi, eksperimen, observasi di sekolah, eksplorasi dan kajian pustaka atau internet, tanya jawab, atau simulasi. Tapi jika sudah ada sekolah yang menerapkan sistem SKS, maka kegiatan tatap muka lebih disarankan dengan strategi ekspositori. Namun demikian tidak menutup kemungkinan menggunakan strategi diskoveri inkuiri. Metode yang digunakan seperti ceramah interaktif, presentasi, diskusi kelas, tanya jawab, atau demonstrasi.
2.    Kegiatan Tugas Terstruktur
Bagi sekolah yang menerapkan sitem paket, kegiatan tugas terstruktur tidak dicantumkan dalam jadwal pelajaran namun dirancang oleh guru dalam silabus maupun RPP (Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran). Oleh karena itu pembelajaran dilakukan dengan strategi diskoveri inkuiri. Metode yang digunakan seperti penugasan, observasi lingkungan, atau proyek.
Kegiatan tugas terstruktur merupakan kegiatan pembelajaran yang mengembangkan kemandirian belajar peserta didik, peran guru sebagai fasilitator, tutor, teman belajar. Strategi yang disarankan adalah diskoveri inkuiri dan tidak disarankan dengan strategi ekspositori. Metode yang digunakan seperti diskusi kelompok, pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, demonstrasi, eksperimen, observasi di sekolah, eksplorasi dan kajian pustaka atau internet, atau simulasi.
3.    Kegiatan Tugas Tidak Terstrukur
Kegiatan mandiri tidak terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang dirancang oleh guru. Strategi pembelajaran yang digunakan adalah diskoveri inkuiri dengan metode seperti penugasan, observasi lingkungan, atau proyek.

PAIKEM dapat diterapkan pada pembelajaran kontekstual dengan pendekatan konstruktivisme dipandang sebagai salah satu strategi yang memenuhi prinsip pembelajaran berbasis kompetensi. Dengan lima strategi pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning), yaitu relating, experiencing, applying, cooperating, dan transferring diharapkan peserta didik mampu mencapai kompetensi secara maksimal.
Pemilihan strategi ekspositori dilakukan atas pertimbangan:
a.    Karakteristik peserta didik dengan kemandirian belum memadai;
b.    Sumber referensi terbatas;
c.    Jumlah peserta didik dalam kelas banyak;
d.   Alokasi waktu terbatas; dan
e.    Jumlah materi (tuntutan kompetensi dalam aspek pengetahuan) atau bahan banyak.
Langkah-langkah yang dilakukan pada strategi ekspositori adalah sebagai berikut:
a.    Preparasi, guru menyiapkan bahan/ materi pembelajaran
b.    Apersepsi diperlukan untuk penyegaran
c.    Presentasi (penyajian) materi pembelajaran
d.   Resitasi, pengulangan pada bagian yang emnjadi kata kunci kompetensi atau materi pembelajaran
Pemilihan strategi diskoveri inkuiri dilakukan atas pertimbangan:
a.    Karakteristik peserta didik dengan kemandirian cukup memadai;
b.    Sumber referensi, alat media, dan bahan cukup;
c.    Jumlah peserta didik dalam kelas tidak terlalu banyak;
d.   Materi pembelajaran tidak terlalu luas; dan
e.    Alokasi waktu cukup tersedia.
Langkah-langkah yang dilakukan pada strategi diskoveri inkuiri adalah sebagai berikut.
a.    Guru atasu peserta didik mengajukan dan merumuskan masalah
b.    Merumuskan logika berpikir untuk mengajukan hipotesis atau jawaban sementara
c.    Merumuskan langkah kerja untuk memperoleh data
d.   Menganalisis data dan melakukan verifikasi
e.    Melakukan generalisasi
Strategi ekspositori lebih mudah bagi guru namun kurang melibatkan aktivits peserta didik. Kegiatan pembeljaaran berupa instruksional langsung (direct instructional) yang dipimpin oleh guru. Metode yang digunakan adalah ceramah atau presentasi, diskusi kelas, dan tanya jawab. Namun demikian ceramah atau presentasi yang dilakukan secara interaktif dan menarik dapat meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran.
Strategi diskoveri inkuiri memerlukan persiapan yang sungguh-sungguh, oleh karena itu dibutuhkan kreatifitas dan inovasi guru agar pengaturan kelas maupun waktu lebih efektif. Kegiatan pembelajaran berbentuk Problem Based Learning yang difasilitasi oleh guru. Strategi ini melibatkan aktivitas peserta didik yang tinggi. Metode yang digunakan adalah observasi, diskusi kelompok, eksperimen, eksplorasi, simulasi, dan sebagainya.

2.        Entrepreneur dalam Dunia Usaha
 Longgarnya waktu yang dimiliki oleh guru di luar jam pelajaran merupakan salah satu daya tarik mahasiswa prodi kependidikan. Mereka beranggapan bahwa di luar jam mengajar adalah waktu istirahat karena tugas utama mereka hanya mengajar ketika pembelajaran berlangsung. Fenomena ini menunjukkan adanya watak atau karakter sebagai karyawan jauh lebih tinggi daripada menjadi seorang produsen. Mereka lebih bangga menjadi guru yang istirahat setelah mengajar daripada menjadi guru yang produktif.
Guru yang produktif disini adalah guru yang kreatif dan mampu memberikan nilai lebih baik di dalam maupun di luar kegiatan pembelajaran. Seperti yang telah diketahui bahwa tunjangan kependidikan untuk guru bergolongan II/a dengan masa kerja 10 tahun ditetapkan senilai Rp 286.000 per bulan. Dan jika ditambahkan dengan komponen penghasilan lainnya, maka penghasilan bersih seorang guru golongan II/a yang belum kawin akan mencapai Rp 2.489.635 per bulan.
 (http://masedlolur.wordpress.com/2010/01/26/gaji-guru-pns-2010-menjadi-paling-top-dibandingkan-pns-lainnya-wajar-benar-semua-mengincar-status-guru-pns/). Nilai sejumlah itu akan didapatkan setelah mencapai masa jabatan 10 tahun. Sementara untuk memenuhi kebutuhan hidup jelas dengan gaji Rp 286.000 perbulan adalah jumlah yang kurang. Sehingga guru muda apalagi yang belum diangkat menjadi PNS hendaknya memiliki bekal entrepreneurship.
Pendidikan kewirausahaan yang dapat diberikan dalam hal ini adalah membekali mahasiswa mengenai pentingnya jiwa entrepreneurship sebagai alat untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya dalam bidang ekonomi. Selain itu membuka jalan pikir mahasiswa bahwa mahasiswa sebagai golongan terpelajar hendaknya menjadi seseorang yang produktif dan tidak hanya menggantungkan nasib kepada pemerintah. Karena mempersiapkan diri sebagai wirausahawan sekaligus abdi negara adalah profesi yang bermanfaat.
Bentuk penerapan Pendidikan Kewirausahaan dapat dilaksanakan dengan metode “tamu kunjung”. Tamu kunjung adalah cara yang digunakan dalam pembelajaran dengan menghadirkan tokoh-tokoh usahawan muda maupun usahawan yang sudah sukses untuk membagikan pengalamannya secara langsung kepada mahasiswa. Tamu bertindak sebagai pemateri sekaligus motivator dan fasilitator di dalam kelas. Setelah pemateri menyampaikan materi dan pengalamannya tentang kewirausahaan, mahasiswa diberi kesempatan untuk bertanya. Hal ini bertujuan untuk merangsang keingintahuan mahasiswa mengenai kewirausahaan. Jika pendidikan kewirausahaan hanya diberikan oleh dosen, terkesan hanya berupa teori tanpa ada wujud nyata. Namun jika pihak yang berwenang bersedia mendatangkan pemateri yang sudah mapan dalam profesinya berwirausaha, mahasiswa akan lebih tertarik dan bahkan dapat termotivasi atas pengalaman yang disampaikan oleh pemateri.
Penyelenggaraan tamu kunjung dalam perkuliahan Pendidikan Kewirausahaan dapat dilaksanakan sebanyak 30% dari jumlah pertemuan perkuliahan. Jika jumlah pertemuan dalam 1 semester ada 12 kali pertemuan, maka setidaknya ada 4 kali perkuliahan dengan tamu kunjung. Hal ini dikarenakan Pendidikan Kewirausahaan tidak hanya membutuhkan teori. Namun suntikan motivasi dan pengalaman bermakna jauh akan lebih terekam dalam memori mahasiswa.
Semakin banyaknya minat mahasiswa untuk terjun di dunia pendidikan yang secara tidak langsung adanya niat untuk menjadi PNS, hendaknya dibekali oleh perguruan tinggi dengan pendidikan kewirausahaan. Hal ini bertujuan agar lulusan perguruan tinggi nantinya tumbuh menjadi sumber daya manusia yang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah sebagai wirausaha yang produktif. Keinginan menjadi PNS hendaknya diimbangi dengan ketrampilan berwirausaha sehingga untuk kedepannya lulusan perguruan tinggi tidak hanya sebagai karyawan pemerintah. Namun juga mampu berkontribusi bagi pemerintah.
Langkah yang diambil oleh universitas dalam hal ini adalah dengan memasukkan Pendidikan Kewirausahaan di dalam kurikulum perkuliahan di prodi kependidikan. Tujuan Pendidikan Kewirausahaan tersebut adalah untuk membentuk guru yang berjiwa entrepreneurship yang mampu menjadi entrepreneur di dalam maupun di luar pembelajaran. Jadi guru masa depan lebih memiliki nilai tambah yang tidak hanya bekerja di hadapan peserta didik. Namun juga mampu berkecimpung dalam masyarakat sebagai entrepreneur.



0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More