Oleh Dian
Marta Wijayanti SPd
Guru SDN
Sampangan 01 Kota Semarang, Lulusan Terbaik PGSD Unnes 2013,
Direktur SMARTA School Semarang
Dimuat Koran Barometer 23 Mei 2014
Sebagai
bahan refleksi, selama ini tak ada mata kuliah pendidikan seks untuk mahasiswa
program kependidikan di kampus pencetak calon guru. Pasalnya, yang terjadi baru parsial dan
sporadik, tersebar secara acak dan informal pada beberapa aktivitas diskusi,
seminar dan sejenisnya.
Kasus
pelecehan seksual yang banyak terjadi di sekolah memang menggelitik untuk
dikritisi. Salah satunya adalah sudah siapkah para “aktor” di sekolah mengayomi
dan mendidik siswa? Sementara banyak kelainan menggerogoti para pelaku nakal di
sekolah.
Tampaknya
hal seperti ini harus segera mendapat tanggapan dari Kemdikbud. Khususnya untuk memasukkan “pendidikan seks” di kurikulum Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK). Pasalnya, pendidikan seks harus dipahami calon guru
sebelum mereka terjun dan berhubungan intens dengan siswa di sekolah.
Tidak ada
yang “tiba-tiba” untuk calon pencetak generasi penerus bangsa. Calon guru harus
dicetak matang sampai tahap afeksi agar terhindar dari kasus yang akhir-akhir
ini mencoreng wajah pendidikan Indonesia. Meskipun tampak agak berlebihan, pada
kenyataannya “pendidikan seks” memang penting untuk diberikan. Bukan mengajari
bagaimana cara mahasiswa (calon guru) memainkan seks, melainkan membuka mata
hati calon guru untuk mengenal dan menanggapi seks secara “cerdas”.
Pendidikan
Seks
Sebelum
mendidik siswa di sekolah, calon guru harus mengenal dirinya terlebih dahulu.
Calon guru harus paham bagaimana cara bersikap yang baik dan sopan tanpa
membuat batasan berarti antara guru dan siswa. Jika hubungan antara guru dan
siswa terlalu jauh tentu kurang baik. Guru dan siswa harus memiliki kedekatan
batin agar tercipta kenyamanan selama pembelajaran. Namun, “kedekatan” dalam
hal ini memiliki batasan-batasan tertentu. Terutama jika ada perbedaan gender
antara guru dan siswa.
Guru harus
paham sejauh mana dan dalam hal apa kedekatan antara guru dan siswa “boleh”
dijalin. Pasalnya, hal itu sering dilalaikan ketika interaksi sudah terjalin.
Maka dari itu pendidikan seks urgen diberikan di LPTK. Guru juga harus tahu
bagaimana cara menjaga ucapan dan tindakan agar “pelecehan seksual” tidak
terjadi di lingkup sekolah. Mengingat guru seharusnya menjadi contoh dan cahaya
terang bagi siswa. Sangat tidak etis jika guru justru menjerumuskan masa depan
siswa ke dalam lembah hitam.
Pendidikan
seks di LPTK memang sudah terintegrasi dalam mata kuliah. Namun, belum ada mata
kuliah khusus untuk konsentrasi pembahasan ini. Hanya beberapa dosen yang sudah
menyentuh pendidikan seks di tengah perkuliahan. Selayaknya pendidikan
kewirausahaan dan pendidikan antikorupsi yang dianggap urgen untuk direalisasikan,
mata kuliah “pendidikan seks” juga dinantikan implementasinya.
Banyaknya
orang tua yang mulai “was-was” merasa tidak tenang meninggalkan anaknya yang
masih kecil di sekolah, jelas menunjukkan kepercayaan orang tua terhadap
sekolah telah berkurang. Ujaran orang tua melarang anak-anaknya dekat dengan
guru “laki-laki” (misalnya), merupakan “benteng” yang dibangun orang tua untuk
menjaga anak-anaknya.
Jika kondisi
seperti ini terus berlanjut, yang dikhawatirkan akan terjadi adalah tujuan
pembelajaran tidak tercapai. Celah antara guru dan siswa menyebabkan guru
“tidak bebas” mendidik anak-anak di sekolah. Artinya, peran guru dalam
membimbing siswa menjadi serba terbatas karena tingkat “kecurigaan” orang tua
yang terlalu tinggi. Padahal, tidak semua guru menjadi monster. Ibarat dibuat
perbandingan, dari seribu guru belum tentu ada satu guru yang menderita
“pedofilia”. Maka untuk menyelamatkan kepercayaan orang tua kepada sekolah,
calon guru perlu mendapat pendidikan seks di LPTK.
Harapan
Indonesia
butuh calon guru yang yang tidak hanya cerdas tapi juga beretika. Salah satu
etika yang penting dimiliki untuk saat ini adalah menjauhkan diri dari tindakan
pelecahan seksual. Berbagai kasus dapat dijadikan refleksi bagi calon guru dan
guru atas pribadi masing-masing.
Meskipun
terdengar agak “tabu”, ada harapan besar jika “pendidikan seks” dapat
dimasukkan ke dalam kurikulum LPTK. Meskipunn hanya 2 atau 4 sks tentu mata
kuliah “pendidikan seks” lebih berarti dibandingkan tidak ada sama sekali. Jika
pendidikan seks telah dilaksanakan di LPTK, tentu calon guru telah memiliki
bekal agar menghindarkan dirinya dari berbagai perilaku tidak layak.
Sebagai
pelindung bagi anak didik, guru harus mampu menjauhkan diri dari status “pelaku
pelecehan seksual”. Selain itu, guru juga dapat mengarahkan siswa agar
terhindar dari monster-monster pedofilia. Karena bagaimana pun, seringkali
“kesempatan” lebih banyak memancing para “pelaku” dibandingkan hanya sebatas
“niat pelaku”.
Memberikan
bekal kepada siswa untuk bersikap sopan dan menghargai diri sendiri harus
ditanamkan sejak dini. Dengan menghargai diri sendiri, siswa agar menjaga
ucapan, cara berbicara, cara berpakaian, serta polah perilaku.
Inti dari
sebuah “pancingan” adalah ketika “kail” yang dilemparkan menarik tanpa pandang ukuran.
Begitupula dengan pengidap pedofilia. Jika ada yang menarik, tentu mereka
tertarik. Namun jika objek sasaran yang ada mampu menjaga diri tentu kesempatan
untuk bersikap nakal akan berkurang.
Banyaknya
kasus yang terungkap, membawa para aktivis pendidikan untuk segera mengambil
tindakan agar tidak ada kasus-kasus serupa yang baru di negeri ini. Indonesia
butuh “tindakan”, tidak hanya sekadar “rancangan”. Peran dari tokoh-tokoh
ternama di negeri tentu akan membuat kebijakan-kebijakan baru dapat segera
terealisasikan. Maka dari itu, perlu adanya dukungan agar pendidikan seks di
LPTK dapat dipraktikkan dan membentuk generi calon pendidik yang berkualitas.
Pendidikan
seks di LPTK merupakan salah satu alternatif solusi untuk secuill permasalahan
yang dihadapi negara ini. Tetap bertahan dan melihat pelecehan seksual anak,
atau melakukan usaha reseptif untuk mengurangi kasus-kasus pelecehan seksual di
sekolah. Pendidikan seks di LPTK adalah harapan baru untuk pendidikan
Indonesia.
0 comments:
Post a Comment