Wednesday 27 August 2014

Masukkan Saja Pendidikan Seks dalam Kurikulum



Oleh Dian Marta Wijayanti SPd
Guru SDN Sampangan 01 Kota Semarang, Lulusan Terbaik PGSD Unnes 2013,
Direktur SMARTA School Semarang
Dimuat Koran Barometer 23 Mei 2014

Sebagai bahan refleksi, selama ini tak ada mata kuliah pendidikan seks untuk mahasiswa program kependidikan di kampus pencetak calon guru. Pasalnya, yang terjadi baru parsial dan sporadik, tersebar secara acak dan informal pada beberapa aktivitas diskusi, seminar dan sejenisnya.

Kasus pelecehan seksual yang banyak terjadi di sekolah memang menggelitik untuk dikritisi. Salah satunya adalah sudah siapkah para “aktor” di sekolah mengayomi dan mendidik siswa? Sementara banyak kelainan menggerogoti para pelaku nakal di sekolah.

Tampaknya hal seperti ini harus segera mendapat tanggapan dari Kemdikbud. Khususnya untuk memasukkan “pendidikan seks” di kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Pasalnya, pendidikan seks harus dipahami calon guru sebelum mereka terjun dan berhubungan intens dengan siswa di sekolah.
Tidak ada yang “tiba-tiba” untuk calon pencetak generasi penerus bangsa. Calon guru harus dicetak matang sampai tahap afeksi agar terhindar dari kasus yang akhir-akhir ini mencoreng wajah pendidikan Indonesia. Meskipun tampak agak berlebihan, pada kenyataannya “pendidikan seks” memang penting untuk diberikan. Bukan mengajari bagaimana cara mahasiswa (calon guru) memainkan seks, melainkan membuka mata hati calon guru untuk mengenal dan menanggapi seks secara “cerdas”.
Pendidikan Seks
Sebelum mendidik siswa di sekolah, calon guru harus mengenal dirinya terlebih dahulu. Calon guru harus paham bagaimana cara bersikap yang baik dan sopan tanpa membuat batasan berarti antara guru dan siswa. Jika hubungan antara guru dan siswa terlalu jauh tentu kurang baik. Guru dan siswa harus memiliki kedekatan batin agar tercipta kenyamanan selama pembelajaran. Namun, “kedekatan” dalam hal ini memiliki batasan-batasan tertentu. Terutama jika ada perbedaan gender antara guru dan siswa.
Guru harus paham sejauh mana dan dalam hal apa kedekatan antara guru dan siswa “boleh” dijalin. Pasalnya, hal itu sering dilalaikan ketika interaksi sudah terjalin. Maka dari itu pendidikan seks urgen diberikan di LPTK. Guru juga harus tahu bagaimana cara menjaga ucapan dan tindakan agar “pelecehan seksual” tidak terjadi di lingkup sekolah. Mengingat guru seharusnya menjadi contoh dan cahaya terang bagi siswa. Sangat tidak etis jika guru justru menjerumuskan masa depan siswa ke dalam lembah hitam.
Pendidikan seks di LPTK memang sudah terintegrasi dalam mata kuliah. Namun, belum ada mata kuliah khusus untuk konsentrasi pembahasan ini. Hanya beberapa dosen yang sudah menyentuh pendidikan seks di tengah perkuliahan. Selayaknya pendidikan kewirausahaan dan pendidikan antikorupsi yang dianggap urgen untuk direalisasikan, mata kuliah “pendidikan seks” juga dinantikan implementasinya.
Banyaknya orang tua yang mulai “was-was” merasa tidak tenang meninggalkan anaknya yang masih kecil di sekolah, jelas menunjukkan kepercayaan orang tua terhadap sekolah telah berkurang. Ujaran orang tua melarang anak-anaknya dekat dengan guru “laki-laki” (misalnya), merupakan “benteng” yang dibangun orang tua untuk menjaga anak-anaknya.
Jika kondisi seperti ini terus berlanjut, yang dikhawatirkan akan terjadi adalah tujuan pembelajaran tidak tercapai. Celah antara guru dan siswa menyebabkan guru “tidak bebas” mendidik anak-anak di sekolah. Artinya, peran guru dalam membimbing siswa menjadi serba terbatas karena tingkat “kecurigaan” orang tua yang terlalu tinggi. Padahal, tidak semua guru menjadi monster. Ibarat dibuat perbandingan, dari seribu guru belum tentu ada satu guru yang menderita “pedofilia”. Maka untuk menyelamatkan kepercayaan orang tua kepada sekolah, calon guru perlu mendapat pendidikan seks di LPTK.
Harapan
Indonesia butuh calon guru yang yang tidak hanya cerdas tapi juga beretika. Salah satu etika yang penting dimiliki untuk saat ini adalah menjauhkan diri dari tindakan pelecahan seksual. Berbagai kasus dapat dijadikan refleksi bagi calon guru dan guru atas pribadi masing-masing.
Meskipun terdengar agak “tabu”, ada harapan besar jika “pendidikan seks” dapat dimasukkan ke dalam kurikulum LPTK. Meskipunn hanya 2 atau 4 sks tentu mata kuliah “pendidikan seks” lebih berarti dibandingkan tidak ada sama sekali. Jika pendidikan seks telah dilaksanakan di LPTK, tentu calon guru telah memiliki bekal agar menghindarkan dirinya dari berbagai perilaku tidak layak.
Sebagai pelindung bagi anak didik, guru harus mampu menjauhkan diri dari status “pelaku pelecehan seksual”. Selain itu, guru juga dapat mengarahkan siswa agar terhindar dari monster-monster pedofilia. Karena bagaimana pun, seringkali “kesempatan” lebih banyak memancing para “pelaku” dibandingkan hanya sebatas “niat pelaku”.
Memberikan bekal kepada siswa untuk bersikap sopan dan menghargai diri sendiri harus ditanamkan sejak dini. Dengan menghargai diri sendiri, siswa agar menjaga ucapan, cara berbicara, cara berpakaian, serta polah perilaku.
Inti dari sebuah “pancingan” adalah ketika “kail” yang dilemparkan menarik tanpa pandang ukuran. Begitupula dengan pengidap pedofilia. Jika ada yang menarik, tentu mereka tertarik. Namun jika objek sasaran yang ada mampu menjaga diri tentu kesempatan untuk bersikap nakal akan berkurang.
Banyaknya kasus yang terungkap, membawa para aktivis pendidikan untuk segera mengambil tindakan agar tidak ada kasus-kasus serupa yang baru di negeri ini. Indonesia butuh “tindakan”, tidak hanya sekadar “rancangan”. Peran dari tokoh-tokoh ternama di negeri tentu akan membuat kebijakan-kebijakan baru dapat segera terealisasikan. Maka dari itu, perlu adanya dukungan agar pendidikan seks di LPTK dapat dipraktikkan dan membentuk generi calon pendidik yang berkualitas.
Pendidikan seks di LPTK merupakan salah satu alternatif solusi untuk secuill permasalahan yang dihadapi negara ini. Tetap bertahan dan melihat pelecehan seksual anak, atau melakukan usaha reseptif untuk mengurangi kasus-kasus pelecehan seksual di sekolah. Pendidikan seks di LPTK adalah harapan baru untuk pendidikan Indonesia.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More