Monday 10 March 2014

Harapan Baru Pada LPTK

Tulisan ini dimuat di rubrik Suara Guru Koran Suara Merdeka 8 Maret 2014

Saya sependapat dengan Sekjen Federasi Guru Seluruh Indonesia (FSGI) Retno Listyarti bahwa pemberian gelar tidak menjawab permasalahan guru (SM, 11/-02/2014).

Menurut beliau, yang seharusnya diperbaiki adalah LPTKnya sebagai pabrik pencetak guru, karena selama ini tidak ada kontrol terhadap mutu lulusannya.

Namun, mengapa pemerintah justru sibuk mengurus gelar?

Wacana pemberian gelar ‘’Gr’’ bagi guru yang dianggap profesional dan telah mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) tampaknya tidak menyentuh permasalahan pendidikan.

Pemberian gelar hakikatnya tidak terlalu penting dan urgen, justru yang lebih penting adalah substansi dari kualitas pendidik itu sendiri.

Artinya, bukan berarti PPG tidak dapat meningkatkan kualitas calon guru dan guru profesional, melainkan penggemblengan guru yang sebenarnya adalah ketika mereka masih berada di jenjang S-1 pada LPTK masing-masing.

Selama kurang lebih empat tahun, mahasiswa mendapat banyak sekali materi perkuliahan yang berhubungan dengan dunia keguruan dan pendidikan.

Calon pendidik disiapkan dengan empat kompetensi yang harus dikuasai dari pedagogi, kepribadian, sosial, dan profesional melalui berbagai kegiatan di LPTK. Adapun PPG hanyalah ‘’pengembangan’’ kualitas, bukan ‘’penggemblengan ulang’’ bagi guru.

Mahasiswa yang lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) seharusnya sudah mengantongi kompetensi tersebut.

Jika selama perkuliahan S-1 dianggap masih kurang tanpa mengikuti PPG, secara tidak langsung hal tersebut meragukan kualitas LPTK itu sendiri, karena sejak dulu, tidak ada PPG, banyak guru yang profesional.

Hal ini hanyalah paradigma pemerintah yang ingin meningkatkan kaulitas guru dengan standardisasi lulus PPG.

Sebagai lembaga yang menyiapkan calon pendidik, seharunya LPTK sudah yakin bahwa lulusannya siap beraksi di lapangan. Namun, jika masih ada keraguan di berbagai sudut sehingga diperlukan amunisi baru untuk menguatkan, tentu menjadi pemikiran tersendiri terhadap kualitas LPTK.

Bukan Segalanya

Gelar merupakan penghargaan bagi seseorang yang dianggap telah layak ditempatkan di dunianya. Namun bukan berarti gelar Gr yang ditawarkan pemerintah dapat menyelesaikan masalah pendidikan.

Menjadi pendidik adalah sebuah keniscayaan, maka gelar sarjana pendidikan seharusnya sudah cukup mewakili kualitas sarjana yang lulus dalam mempelajari ilmu kependidikan.

Jika gelar tersebut masih dianggap kurang dan dibutuhkan program serta gelar baru untuk menguatkannya, penulis rasa itu kurang efektif, justru penguatan perkuliahan di LPTK yang seharusnya dilakukan.

Wajarnya, jenjang pendidikan S-1 ditempuh selama empat tahun. Mungkin akan lebih baik jika ditambah setengah atau satu tahun sebagai pendidikan profesi yang dirangkai dalam satu jenjang pendidikan S-1. Bukan setelah mahasiswa lulus dan wisuda baru kemudian mendapatkan diklat pendidikan baru lagi. Karena hal tersebut dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lulusan suatu perguruan tinggi.

Apalagi jika harus menambah gelar, tampaknya hal tersebut hanya akan menambah kesenjangan sosial antara pendidik yang satu dengan yang lain.

Kesenjangan tersebut bukan tidak mungkin akan menimbulkan permasalahan baru yang dapat memengaruhi kinerja guru di sekolah.

Jika guru bergelar Gr dianggap lebih profesional sementara dalam suatu keadaan ternyata guru yang tidak bergelar Gr memiliki kinerja lebih baik, tentu akan ada pertentangan dalam kelompok. Apalagi jika sudah dihubungkan pada tunjangan profesi bagi guru yang profesional.

Permasalahan akan semakin melebar tidak hanya pada kinerja tapi mengarah pada kecemburuan sosial antarguru. Maka, pembenahan LPTK hendaknya segera diperbaiki dalam segala hal, meliputi kurikulum, manajemen pengelolaan akademik, mutu/kualitas akademik, tenaga kependidikan, sistem pembelajaran, sarana-prasarana dan sebagainya. LPTK seharusnya tak hanya menggemborkan gelar yang tidak begitu penting, karena yang paling penting adalah ‘’kualitas LPTK’’ dari berbagai hal.

LPTK Ideal

Menurut pandangan penulis, LPTK seharusnya tumbuh ideal dan berkualitas. LPTK yang belum siap melahirkan guru seharusnya tidak memaksakan diri membuka program kependidikan. Apalagi dengan akreditasi minim, hal ini justru seperti kampus abal-abal yang belum jelas akreditasinya.

Langkah pertama adalah ketegasan pemerintah. Artinya, jika pemerintah tidak tegas melakukan morarotium (penghentikan sementara) terhadap LPTK yang akreditasinya tidak jelas, penulis yakin pasti banyak LPTK abal-abal. Padahal, calon guru tidak hanya butuh kuliah dua kali dalam seminggu, kemudian minggu berikutnya pengumpulan tugas, dan tiba-tiba jadwal ujian pun datang.

Calon guru tidak bisa dididik secara instan. Butuh proses panjang untuk menumbuhkan jiwa keguruan bagi mahasiswa yang telah memantapkan hati sebagai calon tenaga pendidik.

Selain perkuliahan yang intens, LPTK wajib memberikan fasilitas-fasilitas yang mendukung profesi keguruan.

Calon guru tidak hanya butuh materi perkuliahan, tapi juga butuh keterampilan yang mampu meningkatkan kualitas diri. Salah satunya adalah keterampilan kepramukaan, soft skill, penelitian dan sebagainya.

Mustahil jika ada guru yang tidak mengenal pramuka, apalagi itu guru SD. Pemahaman kepramukaan sangat dibutuhkan guru karena di dalam kegiatan pramuka banyak mengandung pendidikan karakter.

Selain itu ada juga kegiatan Korps Suka Rela (KSR) PMI yang bergerak di bidang sosial dan medis. Dua kegiatan pramuka dan KSR itu hanya cuplikan kecil kegiatan yang harus dimiliki LPTK.

Calon guru hendaknya juga memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk berkarya sesuai potensi masing-masing. Meskipun mereka adalah calon guru, bukan berarti tidak dapat berkreasi.

Mahasiswa yang memiliki keahlian menari diberi kesempatan menari, mahasiswa yang memiliki hobi menulis juga diberi wadah untuk mengembangkan kelebihannya tersebut. Kesimpulan yang dapat diambil adalah perlu adanya organisasi atau komunitas yang mampu mewadahi mahasiswa dalam mengembangkan bakat, sehingga lulusan LPTK menjadi produk unggul yang kualitasnya tidak diragukan lagi.

Saatnya LPTK berbenah dan memperbaiki kualitas dalam segala hal. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Karena di pundak LTPK terselip masa depan guru Indonesia. (24)

—Dian Marta Wijayanti SPd, guru Homeschooling ANSA School, Lulusan Terbaik Jurusan PGSD Unnes 2013.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More