Oleh Dian Marta Wijayanti SPd, guru SDN Sampangan 01 Semarang, Assessor Early Grade Reading Assessment USAID Jawa Tengah
Menanti. Inilah kata yang tepat untuk menggambarkan problematika
pembelajaran mengingat hingga saat ini buku Kurikulum 2013 (kalangan
pendidikan kerap menyebut K13) belum tersalurkan ke semua sekolah. Semua
elemen pendidikan, terutama guru, galau menghadapi hal itu. Namun bukan
berarti mereka pasrah. Justru mereka perlu berijtihad supaya kegiatan
belajar mengajar tetap berjalan.
Permasalahan K13 bukan sekadar guru saja, namun yang paling utama
adalah ketidaksiapan pemerintah. Menurut Sekjen Federasi Serikat Guru
(FSGI) Retno Listyarti permasalahan itu mencakup ketidaksiapan
penyelenggaraan K13 secara keseluruhan. Namun yang membuat guru galau
adalah keterlambatan buku yang mengacaukan proses pembelajaran.
Di
Kota Semarang, meskipun UPTD sudah lama mendata pesanan dari
masing-masing sekolah, pendistribusian buku itu belum sampai ke semua
sekolah, terutama SD. Padahal, menurut kalender pendidikan, seharusnya
kurikulum baru tersebut mulai berlaku pada pertengahan Juli 2014.
Kenyataannya ada kendala pendistribusian.
Ibarat orang ingin
melakukan sesuatu, tentu yang dipersiapkan terlebih dahulu adalah alat
dan bahannya. Begitu pula dengan guru yang memerlukan perangkat buku K13
untuk menunjang keberhasilan pembelajaran. Namun apa yang terjadi jika
buku yang seharusnya sudah siap, tapi kabar kehadirannya pun masih
simpang-siur dan tak jelas? Tentu hal ini membuat guru gundah. Ketika
mengikuti sosialisasi kurikulum baru di kantor Dinas Pendidikan, guru
memang telah diberi bekal soft file buku guru dan buku siswa oleh
fasilitator. Hal ini dapat dijadikan alat belajar bagi guru sebelum
melaksanakan pembelajaran. Tapi kenyataan di lapangan tidak sesederhana
itu. Bagi guru yang melek IT, laptop dapat dijadikan teman selama
pembelajaran.
Kenyataannya, ada beberapa kendala seperti
keterbatasan kemampuan mengoperasikan komputer dan kepemilikan laptop.
Selain itu, siswa juga tidak mungkin diberi file dan satu per satu
diminta membuka laptop, kemudian materi itu dijadikan wahana belajar.
Masalah lain adalah siswa tidak memiliki satu pegangan ”buku siswa”.
Padahal kurikulum baru tersebut lebih menekankan pemahaman siswa
terhadap materi melalui buku teks, yang hingga kini masih banyak yang
belum sampai di tangan satuan pendidikan.
Buku K13 memang bukan
satu-satunya sumber belajar namun tetap saja sangat penting bagi guru
untuk mempermudah pembelajaran supaya ”tidak tersesat”. Maka dari itu,
guru harus berijtihad menggali formula dan kreativitas agar pembelajaran
tetap berjalan.
Ijtihad Guru
Keterlambatan buku paket untuk
siswa dan guru menyebabkan guru kurang memiliki waktu untuk menyusun
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sebelum menyelenggarakan proses
pembelajaran. Namun, guru adalah ìdalangî dalam pendidikan sehingga siap
tak siap harus siap. Mereka harus berinovasi dan kreatif menjalankan
tugas.
Pertama; guru yang melek IT dapat mencetak soft file buku
guru dan buku siswa K13. Hal ini dijadikan alternatif sampai buku
pesanan tiba di sekolah. Namun alternatif ini juga menanggung risiko
jika dianggap ”plagiasi” atau memperbanyak buku tanpa izin dari
penerbit. Guru akan serbasalah jika penggandaan buku ini dianggap
menyalahi prosedur penggunaan buku teks.
Kedua; guru dapat
menyampaikan materi pada buku teks melalui media yang relevan. Walaupun
siswa belum memiliki buku personal, guru bisa berijtihad lewat media apa
saja yang relevan dengan materi pembelajaran. Ketiga; karena sistem
pembelajaran berbasis tema, khususnya di SD maka guru bisa mencari
buku-buku yang relevan pada materi sebagai bahan ajar. Ini menjadi
penting karena ketiadaan buku pokok, yaitu buku kurikulum terkini dari
pemerintah. Keempat; guru harus memacu intelektualitas dan mendalami
kurikulum baru secara detail. (10)
Dimuat di Suara Merdeka 14 Agustus 2014
Dimuat di Suara Merdeka 14 Agustus 2014
0 comments:
Post a Comment