Dimuat di Koran Muria 27 Agustus 2014
Darurat
Pendidikan Moral
Oleh Dian Marta Wijayanti,
SPd
Lulusan Terbaik PGSD Unnes
2013, Tim Asesor USAID Prioritas Jawa Tengah
Pendidikan adalah sebuah proses dan moralitas adalah target
utamanya. Pendidikan bukan masalah politik, agama, dan hukum, melainkan
persoalan moralitas. Karena itu, ada banyak alasan bagi kita untuk
mempersoalkan bagaimana nasib pendidikan moral dan budi pekerti dikembangkan
dan diajarkan kepada anak-anak kita di sekolah. Para penggiat dan pemikir
pendidikan sejak lama gundah tentang suasana pendidikan yang berlangsung di
sekolah.
Orang seperti Ivan Illich dan Paolo Freire bahkan mengkritik
dengan pedas sekali bahwa sekolah telah menjadikan para siswa seperti robot
karena kurangnya mereka dilatih untuk memberi respons kreatif. Lebih hebat lagi
bahkan keduanya juga menuduh sekolah telah memasung kebebasan dan kreativitas
serta membunuh daya pikir anak. Sejak lama sistem sekolah lebih banyak
menggunakan pendekatan kognitif, tetapi abai dalam menumbuhkan dan melatih
aspek afektif dan psikomotorik siswa secara tajam.
Soal di sekolah lebih banyak menuntut siswa hanya untuk menjawab
benar dan salah, tetapi lalai dalam melakukan autokritik terhadap pelembagaan
ujian. Meskipun saat ini, katanya, pemerintah telah memberlakukan kurikulum
tingkat satuan pendidikan yang seharusnya memberi ruang yang lebih banyak bagi
guru dan siswa untuk mendesain pola pembelajarannya. Kenyataannya? Kurikulum
masih sentralistis, terlalu banyak mengatur ini boleh dan itu tidak boleh
sehingga antara guru dan birokrasi pendidikan kita menjadi setali tiga uang:
saling memengaruhi untuk menumbuhkan budaya kepatuhan tanpa inovasi yang
berarti.
Di sekolah, pendekatan pembelajaran lebih banyak berorientasi pada
aspek competitive: sebuah budaya untuk mengalahkan dan menyisihkan
orang lain, sehingga menimbulkan banyak sekali labeling seperti murid pandai
dan murid bodoh, kelas biasa dan kelas khusus, sekolah nasional dan sekolah
internasional, serta atribut lain yang sungguh menyiksa perasaan siswa dan
orangtua karena tingginya diskriminasi. Dalam konteks ini, wajar jika sekarang
kita disibukkan dengan rencana dan wacana untuk membuat dan mengubah orientasi
kurikulum pendidikan moral dan budi pekerti.
Saya tak memiliki kapasitas dan pretensi untuk menjawab model
kurikulum pendidikan moral dan budi pekerti yang seharusnya. Namun, saya ingin
mencoba merekonstruksi ulang pertanyaan tersebut dengan kalimat, “Dari manakah
kesadaran dan tanggung jawab para guru terhadap pendidikan moral dan budi
pekerti harus dimulai?” Isu soal moral dan budi pekerti sesungguhnya hampir
menjadi barang usang karena perdebatan tentangnya selalu hanya sampai pada
tingkat wacana. Karena itu, penting mengidentifi kasi tentang siapa sebenarnya
yang paling bertanggung jawab memproses penanaman moral dan budi pekerti di
sekolah.
Hasil studi di banyak negara yang pendidikannya maju menyebutkan
bahwa keberhasilan proses pendidikan yang bermakna lebih banyak ditentukan oleh
segitiga emas pendidikan, yaitu guru, orangtua, dan pemerintah. Dalam sebuah
survei yang dilakukan oleh Phi Delta Kappa/Gallup study pada 2004
menyebutkan bahwa 73% responden setuju tentang kelemahan mendasar pendidikan,
yaitu bertumpu pada ketiadaan guru yang baik hati. Survei tersebut juga
menunjukkan bahwa jika karena kondisi terpaksa/mendesak seseorang harus
berhenti dari profesinya sebagai seorang guru, jawaban yang paling banyak
dipilih adalah karena alasan rendahnya gaji dan fasilitas (67%), kekakuan
birokrasi (21%), kesulitan dalam menghadapi orangtua siswa (8%), dan alasan
kondisi siswa (4%).
Artinya, hanya 4% saja sebenarnya guru yang selalu memiliki
keterikatan secara emosional terhadap siswa mereka (Rosanne Liesveld dan Jo
Ann Miller, 2005). Namun, ketika ditanya kepada para orangtua dan guru
tentang apa yang menyebabkan mereka kurang peduli terhadap siswa, 76% menjawab
karena rata-rata siswa malas, tidak disiplin, dan bodoh.
Peran Masyarakat
Selain guru, masyarakat juga menjadi penentu moralitas pendidikan
kita. Jika pendidikan diartikan secara sederhana dalam bentuk kelembagaan,
sekolah adalah penjelasannya. Karena itu, sekolah menjadi tempat bergantung
setiap anggota masyarakat untuk mempersiapkan masa depan anak-anak mereka. Jika
sekolah-sekolah kita memperoleh dukungan dari masyarakat yang berkehendak untuk
berubah, sesungguhnya pendidikan telah bergerak ke arah yang benar.
Masalahnya adalah sikap mental masyarakat kita yang saat ini
sangat permisif dari segi budaya dan mudah mengambil kesimpulan karena
masyarakat kita belum terbiasa dengan perbedaan pendapat. Kedua jenis
mentalitas masyarakat ini perlu dibangun ulang melalui serangkaian socio-therapy yang
merupakan tugas utama dari moral pendidikan. Sekolah dengan struktur manajemen
yang sehat dan dukungan masyarakat yang kuat merupakan kata kunci yang tepat
untuk mengatasi masalah maraknya perilaku menyimpang siswa di sekitar kita.
Pilar moral ketiga adalah negara atau pemerintah. Ada
ungkapan, ‘What you want in the state, you must put into the school’ (apa
yang Anda inginkan dalam negara, harus Anda masukkan ke sekolah). Karena
itu, peran negara bisa sangat amat kuat terhadap arah dan visi pendidikan suatu
bangsa, sehingga implikasi praktisnya akan menjadikan semua bangunan kebutuhan
pembelajarannya menjadi sangat formal.
Padahal totalitas pendidikan harus meliputi semua jenis dan
pendekatan pengajaran, baik formal, informal maupun nonformal. Peran negara
untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana mewujudkan masyarakat yang cerdas
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa masih kurang maksimal. Pendekatan yang
digunakan negara dalam merumuskan kebijakan tentang sistem pendidikan nasional
kita terlihat sekali masih sangat formalistis, dan efektivitas kebijakan
pendidikan selama ini berlangsung tanpa evaluasi dan monitoring yang
memadai.
0 comments:
Post a Comment