Dimuat di Koran Muri 15 Agustus 2014
Reformasi Kurikulum Pendidikan Pancasila
Oleh Dian Marta
Wijayanti, S.Pd
Tim Asesor USAID
Prioritas Jawa Tengah, Direktur Eksekutif SMARTA School Semarang
Dewasa ini kekerasan
di kalangan pelajar sangat memprihatinkan. Pemerintah seakan “lepas tangan” untuk
menuntaskannya. Karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah seribu. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang selama ini selalu lepas tangan
dengan alasan otonomi daerah harus segera turun tangan. Pemerintah harus mereformasi kurikulum pendidikan
Pancasila agar menjadi benteng bagi pelajar.
Sebenarnya, apa yang terjadi dalam dunia
pendidikan saat ini? Begitu mudahnya pelajar melakukan kekerasan pada temannya. Dalam
sudut pandang sosiologi, perilaku tawuran termasuk konformitas perilaku
agresivitas kelompok. Para pelajar menjadikan tawuran ini sebagai kegiatan
normatif dan dilakukan dengan sadar serta menganggapnya sebagai kebenaran
kelompok. Pelajar yang awalnya penakut pun akan ikut tawuran untuk menunjukkan solidaritas
ke temannya.
Budaya
Buruk
Patut
dicatat dalam hati kita bahwa perilaku kekerasan bukan cerminan budaya manusia
Indonesia, apalagi yang melibatkan kelompok intelektual terdidik seperti
pelajar dan mahasiswa. Dalam situasi saat ini, fungsi logika dan hati nurani
perlu diaktualisasikan agar jangan sampai perilaku kekerasan di dunia pelajar
jangan sampai dianggap wajar. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan
Anak (Komnas PA), jumlah tawuran pelajar tahun ini sebanyak 339 kasus dan
memakan korban jiwa 82 orang.
Data itu jangan hanya dibiarkan berlarut
pada selembar kertas, namun harus ada upaya preventif dan represif untuk
mengurangi tindak kekerasan dan tawuran antarpelajar. Menurut Thomas Lickona
(Sutawi, 2010) ada 10 tanda-tanda
degradasi moral yang merupakan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa.
Di antaranya makin meningkatnya kekerasan pada remaja, penggunaan kata-kata yang memburuk,
pengaruh peer group yang kuat dalam
tindak kekerasan, meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas,
kaburnya batasan moral baik-buruk, menurunnya etos kerja,rendahnya rasa hormat
kepada orang tua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga
negara,membudayanya ketidakjujuran,serta ada saling curiga dan kebencian di
antara sesama.
Reformasi
Lantas, mengapa degradasi moral yang
ditandai dengan kekerasan pada remaja muncul? Jawabnya adalah “keringnya
pendidikan Pancasila” mengalir dalam diri siswa-siswa TanahAir saat ini.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas),
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Pada peraturan perundangan ini pula
tersurat pendidikan nasional adalah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Keduanya saling mendukung untuk mewujudkan pendidikan karakter yang baik untuk
pelajar, karena Pancasila tak akan berkibar tanpa sarana pendidikan dan
pendidikan pun tidak akan berjalan tanpa diarahkan pedoman luhur Pancasila.
Intisari dari pengembangan diri pelajar yang sesuai dengan UU Sisdiknas itu
terjawab dalam kelima sila dalam Pancasila. Melalui dunia pendidikan yang
sangat efektif untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan, maka dijamin mampu
melahirkan generasi penerus bangsa berjiwa Pancasila.
Dengan begitu, lengkapnya pedoman dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam lima sendi penyusun itu mengapa
pendidikan masih diwarnai dengan kekerasan? Kemungkinan yang terjadi adalah
mata pelajaran Pancasila diajarkan dengan metode yang membosankan. Siswa
mengenal Pancasila secara teoritis dan menghafalnya untuk menjawab soal-soal
pilihan ganda dalam ujian. Semestinya pelajaran Pancasila tidak diujikan dengan
tebak-tebak buah manggis, namun siswa harus dapat mengekspresikan implementasi
Pancasila di lapangan.
Akibatnya, Pancasila hanya dikenal
secara selintas dan dianggap sebagai mata pelajaran pelengkap yang dapat
dimengerti dengan cara menghafal dan bukan memahami apa isinya. Tidak heran
bila pelajar saatinibegituhafalseluruhlirik lagu Smash dan menyanyikannya
dengan penuh emosi, sementara untuk menyebut kelima sila ini saja mereka
terbata-bata.
Maka dari itu, diperlukan reformasi
pendidikan, di mana kurikulum Pancasila harus ada sejak pendidikan dasar hingga
pendidikan tinggi. Silabusnya harus direvisi untuk menanggapi situasi kekinian
di mana arus informasi mempermudah siswa untuk mengakses informasi tentang
kekerasan, seks bebas dan anarkisme.
Meskipun pada
Kurikulum 2013 banyak perubahan, namun substansi dan ruh Pancasila harus tetap
diajarkan pada anak. Guru juga harus pandai merencanakan kegiatan belajar yang
mampu berinteraksi dengan muridnya. Murid pun harus merumuskan pertanyaan,
mencari sumber informasi,dan mengumpulkan informasi dari sumber, mengolah
informasi yang sudah dimiliki, merekonstruksi data, fakta, atau nilai,
menyajikan hasil rekonstruksi atau proses pengembangan nilai,menumbuhkan
nilai-nilai budaya dan karakter pada diri mereka melalui kegiatan belajar yang
terjadi di kelas, sekolah,dan luar sekolah.
Selain itu, penanaman nilai-nilai Pancasila
juga dapat dilakukan melalui jalur pendidikan informal dan atau nonformal
seperti Gerakan Pramuka, KarangTaruna, serta berbagai unit aktivitas minat,
bakat, dan olahraga. Dengan mengamalkan pendidikan Pancasila, diharapkan akan “membumihanguskan
budaya kekerasan” di dunia pendidikan, namun juga dapat mengembalikan jati diri
pendidikan bangsa Indonesia.
0 comments:
Post a Comment