Wednesday 27 August 2014

Reformasi Kurikulum Pendidikan Pancasila



Dimuat di Koran Muri 15 Agustus 2014

Reformasi Kurikulum Pendidikan Pancasila
Oleh Dian Marta Wijayanti, S.Pd
Tim Asesor USAID Prioritas Jawa Tengah, Direktur Eksekutif SMARTA School Semarang

Dewasa ini kekerasan di kalangan pelajar sangat memprihatinkan. Pemerintah seakan “lepas tangan” untuk menuntaskannya. Karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah seribu. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang selama ini selalu lepas tangan dengan alasan otonomi daerah harus segera turun tangan. Pemerintah harus mereformasi kurikulum pendidikan Pancasila agar menjadi benteng bagi pelajar.
Sebenarnya, apa yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini? Begitu mudahnya pelajar melakukan kekerasan pada temannya. Dalam sudut pandang sosiologi, perilaku tawuran termasuk konformitas perilaku agresivitas kelompok. Para pelajar menjadikan tawuran ini sebagai kegiatan normatif dan dilakukan dengan sadar serta menganggapnya sebagai kebenaran kelompok. Pelajar yang awalnya penakut pun akan ikut tawuran untuk menunjukkan solidaritas ke temannya.
Budaya Buruk
Patut dicatat dalam hati kita bahwa perilaku kekerasan bukan cerminan budaya manusia Indonesia, apalagi yang melibatkan kelompok intelektual terdidik seperti pelajar dan mahasiswa. Dalam situasi saat ini, fungsi logika dan hati nurani perlu diaktualisasikan agar jangan sampai perilaku kekerasan di dunia pelajar jangan sampai dianggap wajar. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), jumlah tawuran pelajar tahun ini sebanyak 339 kasus dan memakan korban jiwa 82 orang.
Data itu jangan hanya dibiarkan berlarut pada selembar kertas, namun harus ada upaya preventif dan represif untuk mengurangi tindak kekerasan dan tawuran antarpelajar. Menurut Thomas Lickona (Sutawi, 2010) ada 10 tanda-tanda degradasi moral yang merupakan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa.
Di antaranya makin meningkatnya kekerasan pada remaja, penggunaan kata-kata yang memburuk, pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan, meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas, kaburnya batasan moral baik-buruk, menurunnya etos kerja,rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara,membudayanya ketidakjujuran,serta ada saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Reformasi
Lantas, mengapa degradasi moral yang ditandai dengan kekerasan pada remaja muncul? Jawabnya adalah “keringnya pendidikan Pancasila” mengalir dalam diri siswa-siswa TanahAir saat ini. Menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pada peraturan perundangan ini pula tersurat pendidikan nasional adalah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Keduanya saling mendukung untuk mewujudkan pendidikan karakter yang baik untuk pelajar, karena Pancasila tak akan berkibar tanpa sarana pendidikan dan pendidikan pun tidak akan berjalan tanpa diarahkan pedoman luhur Pancasila. Intisari dari pengembangan diri pelajar yang sesuai dengan UU Sisdiknas itu terjawab dalam kelima sila dalam Pancasila. Melalui dunia pendidikan yang sangat efektif untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan, maka dijamin mampu melahirkan generasi penerus bangsa berjiwa Pancasila.
Dengan begitu, lengkapnya pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam lima sendi penyusun itu mengapa pendidikan masih diwarnai dengan kekerasan? Kemungkinan yang terjadi adalah mata pelajaran Pancasila diajarkan dengan metode yang membosankan. Siswa mengenal Pancasila secara teoritis dan menghafalnya untuk menjawab soal-soal pilihan ganda dalam ujian. Semestinya pelajaran Pancasila tidak diujikan dengan tebak-tebak buah manggis, namun siswa harus dapat mengekspresikan implementasi Pancasila di lapangan.
Akibatnya, Pancasila hanya dikenal secara selintas dan dianggap sebagai mata pelajaran pelengkap yang dapat dimengerti dengan cara menghafal dan bukan memahami apa isinya. Tidak heran bila pelajar saatinibegituhafalseluruhlirik lagu Smash dan menyanyikannya dengan penuh emosi, sementara untuk menyebut kelima sila ini saja mereka terbata-bata.
Maka dari itu, diperlukan reformasi pendidikan, di mana kurikulum Pancasila harus ada sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Silabusnya harus direvisi untuk menanggapi situasi kekinian di mana arus informasi mempermudah siswa untuk mengakses informasi tentang kekerasan, seks bebas dan anarkisme.
Meskipun pada Kurikulum 2013 banyak perubahan, namun substansi dan ruh Pancasila harus tetap diajarkan pada anak. Guru juga harus pandai merencanakan kegiatan belajar yang mampu berinteraksi dengan muridnya. Murid pun harus merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi,dan mengumpulkan informasi dari sumber, mengolah informasi yang sudah dimiliki, merekonstruksi data, fakta, atau nilai, menyajikan hasil rekonstruksi atau proses pengembangan nilai,menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri mereka melalui kegiatan belajar yang terjadi di kelas, sekolah,dan luar sekolah.
Selain itu, penanaman nilai-nilai Pancasila juga dapat dilakukan melalui jalur pendidikan informal dan atau nonformal seperti Gerakan Pramuka, KarangTaruna, serta berbagai unit aktivitas minat, bakat, dan olahraga. Dengan mengamalkan pendidikan Pancasila, diharapkan akan “membumihanguskan budaya kekerasan” di dunia pendidikan, namun juga dapat mengembalikan jati diri pendidikan bangsa Indonesia.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More