Wednesday 27 August 2014

Solusi Kekerasan dalam Pendidikan




Oleh Dian Marta Wijayanti, SPd
Guru SDN Sampangan 01 Semarang, Tim Assesor USAID Prioritas Jawa Tengah
Dimuat Koran Barometer 17 Mei 2014
Kekerasan di sekolah/kampus semakin meprihatinkan. Anak-anak sudah merasa jagoan seperti yang ada di dalam film dan ponsel mereka. Kekerasan paling rentan, selama ini adalah kekerasan di sekolah atau kampus, seperti kekerasan pada masa orientasi siswa (MOS) dan orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek). Meskipun MOS dan Ospek bersifat tahunan, namun sampai detik ini belum ada solusi cerdas menuntaskan kekerasan dalam pendidikan. Padahal, kekerasan dalam pendidikan hukumnya haram dan sangat dilarang tegas.

Kekerasan di dunia pendidikan harus dihentikan. Pemicu kekerasan bukan karena kegagalan pendidikan karakter saja, namun banyak faktor pemicu kekerasan. Arif Rohman (2005) menjelaskan kekerasan merupakan tindakan merugikan, seperti pembunuhan, penjarahan dan pemukulan. Kekerasan di sekolah/kampus biasanya musiman, seperti saat MOS dan Ospek.

Inti dari kekerasan adalah kerusakan bahkan kematian. Karena itu, semua sekolah dan kampus sangat mewanti-wanti para pelajar agar tidak bertindak anarkis. Pasalnya, sampai detik ini masih banyak kekerasan pelajar yang terjadi dengan berbagai bentuk dan modus.

Kekerasan dalam Pendidikan
Secara umum, kekerasan dibagi tiga macam, yakni kekerasan fisik, psikis, dan simbolik, baik terjadi secara kultural maupun struktural. Kekerasan di kampus tergolong kekerasan struktural. Artinya, dalam hal ini sekolah/kampus memberi kesempatan dan wewenang resmi kepada senior/panitia melakukan kekerasan kepada yunior. Maka, tak ayal jika senior melakukan kekerasan kepada yuniornya sebagai wujud eksistensi mereka.
Thomas Hobbes mengartikan kekerasan sebagai sesuatu alamiah yang dialami manusia. Menurutnya, manusia merupakan makhluk yang dikuasai dorongan irasional, anarkis, iri, serta benci, sehingga ia menjadi jahat, kasar, dan berpikir pendek. Jika kita lihat pemicu kekerasan di dunia pendidikan, Elmore dan Fuhrman (2001) menjelaskan karena tidak adanya sinergi antara lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat, maka terjadilah kekerasan. Padahal, tri pusat pendidikan ada tiga, yaitu pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga entitas itu harus bersinergi dalam mendidik, membangun karakter anak, dan mencegah kekerasan.
Kekerasan di sekolah ternyata tak hanya terjadi ketika masa orientasi, namun sepanjang tahun dengan beragam modus, intensitas, dan pelaku. Data yang dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukkan bahwa dari 1.026 responden, 87,6 persen anak mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah. Dari data itu, 29,9 persen kekerasan dilakukan guru, 42,1 persen teman sekelas, dan 28,0 persen oleh teman lain kelas (Kompas, 11/8/2012). Karena itu, kurang bijak jika hanya menghimpun problema tanpa menawarkan solusi atas kekerasan di dunia pendidikan.
Solusi
Azyumardi Azra (2002) menjelaskan bahwa lembaga pendidikan telah gagal membentuk karakter anak bangsa. Faktanya, banyak pelajar mengalami “demoralisasi” perilaku. Nilai-nilai moral kemanusiaan dialpakan dalam kehidupan. Tak mengherankan, jika kekerasan pelajar, pergaulan bebas, ketidakjujuran, makin marak terjadi. Di luar sekolah, banyak pemuda terlibat kekerasan, kerusuhan, tawuran antar-pelajar, kriminalitas dan aksi-aksi anarkis lainnya. Fenomena ini harus segera diselesaikan.
Menurut penelitian yang dilakukan Rahmad H (2010), menjelaskan 67,9 persen pelajar SMA terlibat aksi kekerasan. Dari 100 remaja usia sekolah, 8 di antaranya menggunakan narkoba dan obat-obat terlarang. Sedangkan 32 persen remaja usia 14-18 tahun di tiga kota besar di Indonesia sudah terlibat hubungan seks di luar nikah.
Untuk itu, ada beberapa solusi yang perlu dilakukan. Pertama, sinergi antara keluarga, sekolah dan masyarakat. Selama ini, banyak orang tua yang “apatis” terhadap pendidikan anaknya, mereka hanya pasrah kepada lembaga pendidikan. Padahal, peran orang tua dan masyarakat sangat vital dalam pembentukan karakter anak.
Kini kahadiran keluarga sangat dibutuhkan. Ketika lembaga pendidikan tak lagi kondusif bagi penanaman nilai moral pelajar, maka keluarga harus segera mengambil peran. Derasnya arus demoralisasi akibat gerak dinamika sosial budaya, teknologi komunikasi dan informasi membawa efek negatif bagi pelajar. Karena itu, keluarga harus agen untuk mencipakan kondisi ramah bagi penanaman nilai-nilai moral anak.
Kedua, maksimalisasi sistem dan implementasi pendidikan karakter. Pasalnya, selama ini banyak lembaga pendidikan yang “magel(setengah matang) dalam menerapkan pendidikan karakter. Prasetyo dalam buku Guru: Mendidik Itu Melawan (2005), menjelaskan kesuksesan pendidikan karakter tergantung pada maksimalisasi pembelajaran di kelas, serta peran guru dalam membangun pendidikan karakter.
Ketiga, pengendalin media massa atas tontonan yang berbau “kekerasan”, seperti tawuran, demo anarkis, dan tayangan kekerasan lainnya. Karena itu, komisi penyiaran Indonesia (KPI) harus bersinergi dengan kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud)
Selain itu, pihak sekolah harus melakukan sosialisasi tentang bentuk kekerasan, dampak, dan penanganannya pada orang tua dan siswa. Pemerintah juga harus mendorong sekolah berperan aktif mencegah, menangani, dan membuang kekerasan. Karena sesungguhnya, kekerasan, kekejaman, anarkisme bukanlah budaya bangsa Indonesia.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More